webnovel

Syarat Sialan!

Naraya memandangi kardus berukuran besar yang ada di lantai kamarnya cukup lama. Kardus itu baru terisi setengah, tapi dia sudah berhenti melakukan apa yang sejak setengah jam yang lalu dia lakukan.

Satu embusan napas berat keluar dari mulut gadis itu saat dia kembali meyakinkan hatinya untuk melanjutkan kegiatannya sebelumnya, yakni menghilangkan semua hal yang berhubungan dengan The Heal dari kamarnya.

Gara-gara Aksa kemarin, Naraya harus mengambil keputusan ini. Obatnya selama dua tahun belakangan ini harus disingkirkan dengan berat hati.

Awalnya keputusan ini tidak ingin dia lakukan hanya karena Aksa. Tetapi, setiap malam saat dia terbangun dari tidurnya, wajah Aksa yang ada di setiap poster The Heal di dinding kamarnya seketika menghadirkan ketakutan dalam dirinya. Alhasil, dia harus kabur ke kamar orang tuanya untuk bisa kembali tidur dengan nyenyak.

Dan hari ini, dengan dua kardus sedang yang tadi diberikan ayahnya, Naraya mulai mencabuti poster-poster The Heal dari dinding kamarnya. Belum ada setengah poster yang dia berhasil hilangkan karena sebenarnya hatinya sangat berat.

"Maafin gue, ya, guys. Gue nggak bakal buang kalian, kok. Gue mau sembuh dulu. Nanti kalo waktu itu tiba, gue bakal ambil lo semua lagi. Baik-baik di gudang dulu, ya," ucap Naraya kepada semua benda-benda kesayangannya yang sudah masuk ke dalam kardus.

Melihat betapa penuhnya kardus-kardus tersebut, membuat Naraya sadar bahwa dia sangat-sangat mencintai The Heal. Banyaknya barang-barang berbau The Heal menjadi bukti bahwa band tersebut adalah dunia lainnya Naraya.

Sekarang, dia dengan berat hati menyingkirkan dunianya yang sudah terlanjur membuatnya ketakutan. Tapi, itu tidak akan selamanya, mungkin. Naraya akan kembali lagi jika dirasa waktunya sudah tepat.

***

Dengan langkah buru-buru, Naraya keluar dari kamar mandi saat ponselnya berdering tanpa henti. Padahal ini masih pagi. Tidak mungkin orang kantor merecokinya sepagi ini, kan?

"Astaga," gumam Naraya begitu membaca nama si pemanggil.

"Mas, ini masih pagi, lho. Bikin orang kaget aja ditelpon berkali-kali kayak tadi," sembur Naraya begitu panggilannya tersambung.

"Gue takut lo udah berangkat duluan," balas Mas Tirta di seberang.

"Kenapa, nih, nelpon pagi-pagi gini? Ada hal mendesak?" tanya Naraya sambil memilih baju yang akan dia kenakan nanti ke kantor.

"Gue cuman mau ngasih tahu kalo gue bakal jemput dan anterin lo ke kantor hari ini."

"Lah, kok tumben?"

"Lagi mimpi baek gue semalem," kekeh Mas Tirta.

***

"Mas udah sarapan?" tanya Naraya begitu dia masuk ke dalam mobil Mas Tirta.

Mas Tirta hanya mengangguk dan mulai menjalankan mobilnya meninggalkan komplek rumah Naraya.

"Nar," panggil Mas Tirta setelah mereka diam untuk beberapa saat.

Naraya menoleh. "Ya?"

"Lo beneran udah singkirin semua hal yang berhubungan dengan The Heal dari kamar lo?"

Mas Tirta kembali bertanya akan hal itu karena merasa hal itu bukan seperti keputusan yang akan diambil Naraya hanya dalam waktu dua hari. Saat mendapat kabar dari Naraya kemarin pun membuat Mas Tirta terkejut.

Naraya yang dia kenal adalah Naraya yang begitu jatuh cinta kepada The Heal. Bahkan, dia masih ingat kalo gadis itu memasukan The Heal dalam unsur penting hidupnya.

Mas Tirta masih tidak menyangka perlakuan Aksa kepada Naraya bisa memberi dampak yang sebesar ini. Mungkin dia harus memberi pelajaran kepada adiknya itu nanti.

"Dengan berat hati … iya," jawab Naraya.

"Sampai kapan?"

Naraya tidak langsung menjawab. Dia melempar pandangannya ke luar jendela.

"Gue nggak tahu," jawab Naraya.

"Gue bakal buat perhitungan ke Aksa," desis Mas Tirta.

"Udahlah, Mas. Gue nggak bakal ketemu dia juga kok setelah ini."

"Tapi gue nggak bisa biarin dia gitu aja, Nar. Dia udah buat lo jadi kayak gini. The Heal itu unsur penting dalam hidup lo, sekarang Lo singkirin mereka gara-gara tuh anak? Gue nggak terima, lah," gerutu Mas Tirta.

Naraya sontak tertawa mendengar gerutuan Mas Tirta itu. Melihat bagaimana dia geram dengan kelakuan adiknya sendiri sedikit membuat Naraya lupa akan hal-hal tidak mengenakkan yang sudah dilakukan Aksa kepadanya.

Kalau Naraya bisa jujur, dia memang lebih suka kalau Aksa akan mendapatkan karma dari apa yang sudah dia perbuat. Atau mungkin Naraya akan dengan senang hati mengiyakan keinginan Mas Tirta untuk memberi pelajaran kepada adiknya sendiri.

Namun, setelah Naraya pikir lagi, rasanya hal itu tidak ada gunanya. Malah, mungkin keputusan itu akan memberi jalan lain untuknya bertemu lagi dengan Aksa. Lebih baik Naraya memilih melupakan saja dan menghindari segala bentuk hal yang memunculkan interaksi dengan Aksa nantinya.

"Udahlah, Mas. Gue rasa Lo paling tahu kalo memberi pelajaran ke Aksa adalah hal yang sia-sia. Gue hanya pengen nggak ada interaksi aja sama itu orang," balas Naraya.

***

Dahayi dengan ekspresi senang memerintahkan ke semua staff yang ada di departemennya untuk rapat sekarang juga. Rupanya dia membawa berita besar yang mungkin akan merubah kesehariannya nanti.

Para staf dibuat sedikit bertanya-tanya dengan diadakannya rapat dadakan ini. Rapat dadakan akan digelar jika ada hal yang tidak baik terjadi sebelumnya. Tetapi, melihat dari ekspresi sang manager, membuat mereka menyangkal kalau sudah terjadi hal tidak baik.

"Kira-kira kita bakal rapat soal apa, ya?" tanya Wanodya kepada Naraya saat mereka sedang menuju ke ruang rapat.

Naraya hanya menyediakan bahu tanda dia pun tidak tahu alasan dari digelarnya rapat hari ini. Setelah semua staf sudah berada di ruang rapat, mulailah Dahayu memaparkan alasan kenapa dia harus menggelar rapat saat ini juga.

"Jadi, kita ada tawaran kerja sama dengan Star Entertainment untuk projek dokumenter band The Heal nantinya."

Naraya dan Wanodya saling pandang. Ada apa lagi ini? Perusahaan tersebut sebelumnya tidak pernah menjalin kerjasama dengan perusahaan tempat mereka bekerja. Bahkan, The Heal kali pertama hadir di acara mereka. Tetapi, sekarang mereka menjalin kerja sama?

"Dan yang akan menjadi penanggung jawab projek ini adalah Naraya," lanjut sang manajer.

Naraya sontak melotot. Begitu pun dengan Wanodya, Kak Sita dan Kak Dede. Mereka bertiga yakin kalau Naraya akan menolak tawaran itu.

"Nggak, Bu. Saya nggak mau."

Tuh, kan. Kejadian di toilet kemarin hanya mereka bertiga yang tahu kalau ada Aksa di sana. Mereka sudah pasti setuju dengan keputusan Naraya itu.

"Lho, kenapa? Ini permintaan mereka, lho," ujar Dahayu.

"Saya nggak bisa. Saya banyak kerjaan," balas Naraya beralasan.

"Bodoh," desis Wanodya.

Bisa-bisanya temannya itu memberi alasan yang tidak kuat seperti itu. Memangnya manajer mereka tidak tahu pekerjaan apa saja yang sedang ditangani bawahannya?

"Kamu nggak lagi banyak kerjaan, Naraya. Projek kamu hanya satu doang, kan? Saya udah setuju permintaan mereka buat jadiin kamu penanggung jawab dokumenter itu."

"Bu …," rengek Naraya.

Dahayu menggeleng. Kerja sama ini tidak bisa batal karena syarat mereka menjalin kerja sama adalah Naraya sebagai penanggung jawab projek tersebut.

"Ini syarat utama buat kerja sama sama mereka. Kalo kamu nggak mau, kerja sama ini nggak bakal jadi juga. Saya tentu saja nggak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Jadi, kamu harus mau," Keukeuh Dahayu.

Naraya diam. Dia sudah tidak tahu lagi harus beralasan apa untuk bisa menolak perintah manajernya itu.

"Kamu akan saya pindahkan langsung ke divisi yang kamu mau kalau sampe dokumenter itu sukses. Gimana?" tawar Dahayu.

Naraya menoleh ke arah Wanodya. Dia meminta tanggapan dari temannya itu. Menurutnya, ini tawaran yang sangat-sangat menggiurkan. Pindah tanpa ada jangka waktu.

Untuk membuat suatu acara yang berkualitas bukanlah hal yang sulit untuk Naraya. Tapi, untuk bekerja sama dengan The Heal rasanya akan berat untuk Naraya.

"Gimana?" tanya Dahayu lagi.

Naraya berpikir sejenak. Lalu setelah itu akhirnya dia mengangguk. "Baik, Bu."

Dahayu tersenyum puas dengan jawaban pegawai kebanggaannya itu. Akhirnya, rencananya berhasil juga.

"Baiklah. Ayo kita buat timnya sekarang dan lusa kita rapat dengan perwakilan perusahaan mereka," lanjut Dahayu.