webnovel

Naraya Takut, Aksa Panik

"Mau masuk lagi?" bisik Aksa dengan nada menggoda.

Laki-laki itu tidak tahu saja kalau gadis yang sedang dia usilin sekarang sudah ketakutan setengah mati. Naraya tidak bisa mendengar dengan jelas suara Aksa karena indera pendengarannya malah mendengar suara lain. Dadanya bergemuruh bukan karena godaan Aksa, melainkan ketakutan itu datang lagi.

Aksa menarik tubuhnya sedikit menjauh dari Naraya untuk melihat reaksi gadis itu. Dan betapa terkejutnya dia dengan Naraya saat ini. Dahi gadis itu sudah dipenuhi keringat. Dia juga terlihat memejamkan matanya kuat-kuat.

Tangan Aksa terulur menyentuh kedua pundak Naraya untuk mengecek apa yang terjadi pada gadis itu. "Na, lo kena--hey!"

Tubuh Naraya langsung luruh begitu saja. Bahkan, Aksa tidak bisa menahan Naraya karena terkejut dengan kondisi Naraya saat ini.

"Hey, lo kenapa?" tanya Aksa panik sambil menepuk-nepuk pelan pipi Naraya.

Gadis itu tidak memberi respon. Tubuhnya terlalu lemah untuk merespon kepanikan laki-laki yang sudah membuatnya seperti sekarang. Naraya saat ini sedang berusaha mengendalikan dirinya sendiri. Dia berusaha keras menghilangkan segala bayang-bayang yang membuatnya trauma juga suara-suara menjijikan yang terus mengganggunya.

"Na, apa yang terja--"

"Argh!!!"

Aksa terkejut bukan main saat Naraya menjerit tiba-tiba. Kebingungannya semakin bertambah. Kepanikannya pun tidak bisa dia sembunyikan.

Dia tidak tahu harus menangani Naraya dengan cara apa karena dia pun tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada gadis itu saat ini. Bahkan, dia baru pertama kali mendapati orang yang berperilaku aneh seperti Naraya sekarang ini.

"Astaga, Naraya!" pekik Wanodya begitu mendapati temannya tersungkur di lantai dengan Aksa yang berada di depannya.

Wanodya ikut berlutut di depan Naraya dan berusaha menenangkan temannya itu. Dia yakin kalo trauma Naraya datang lagi.

"Nar, tenang, ya? Jangan takut. Nggak ada dia di sini. Tenang," ucap Wanodya yang sudah memeluk Naraya erat.

Tangisan Naraya pecah begitu Wanodya datang. Dia seperti mendapatkan tempat nyaman untuknya bersembunyi.

"Dya … to-tolong, mereka a-ada lagi," ucap Naraya di tengah tangisannya.

Wanodya semakin mempererat pelukannya. Tangannya sesekali mengelus pundak Naraya agar temannya itu cepat merasa tenang.

"Nggak ada mereka di sini. Cuman ada gue. Jadi, lo nggak perlu takut."

Aksa yang melihat interaksi dua orang itu semakin dibuat kebingungan. Apa yang ditakutkan Naraya? Mereka siapa yang maksud Naraya? Pertanyaan-pertanyaan itu yang saat ini tengah memenuhi kepala Aksa. Dia sampai tidak beranjak dari tempatnya karena masih sedikit terkejut dengan yang terjadi saat ini.

Terlihat Wanodya merogoh ponselnya dari saku blazer nya dan langsung menelpon seseorang. "Kak Sita, tolong ke toilet sekarang, trauma Naraya kambuh."

Alis Aksa saling bertaut setelah mendengar ucapan teman Naraya tadi. Trauma? Naraya punya trauma?

"Naraya punya trauma?" tanya Aksa akhirnya.

Wanodya langsung menoleh dan mendelik ke arah Aksa. "Iya. Dan buat dia kayak gini pasti lo, kan? Lo apain teman gue, hah?!"

Aksa tidak menjawab. Dia merasa tidak melakukan hal yang melebihi batas kepada Naraya tadi karena dia memang berniat hanya ingin menggoda gadis itu. Dia juga merasa kalau apa yang dia lakukan kepada Naraya tadi tidak akan sampai membuat trauma yang diderita Naraya kambuh.

Tidak perlu waktu lama untuk menunggu orang yang ditelpon Wanodya tadi. Bukan hanya Kak Sita yang datang, tapi Kak Dede juga ikut. Dan reaksi mereka sama kagetnya seperti Wanodya tadi.

"Astaga, Nar!"

"Bantuin, Kak. Bawa ke mobil aja," pinta Wanodya yang langsung diangguki Kak Sita.

Tiga teman Naraya langsung membawa Naraya pergi dari lorong toilet itu tanpa mempedulikan lagi keberadaan Aksa yang masih kebingungan di tempatnya. Dia tidak berani bertanya lebih lanjut mengenai Naraya karena terlihat ketiganya panik mendapati Naraya.

"Ngapain lo bengong di depan toilet cewek?"

Lamunan Aksa tiba-tiba buyar karena pertanyaan Bang Arnan yang saat ini sudah berada di depannya. Dengan segera dia merubah ekspresinya jadi sebiasa mungkin.

"Nyari mangsa," jawab Aksa asal yang sukses membuat Bang Arnan melotot.

"Lo jangan sembarang gini, dong, Sa."

Bang Arnan langsung mengejar Aksa yang pergi begitu saja. Dia sudah panik dengan hal yang mungkin sudah Aksa lakukan di toilet itu, makanya sekarang dia harus mencari tahu apa saja yang sudah diperbuat Aksa barusan.

"Sa, jangan buat masalah lagi, deh," desis Bang Arnan saat dia sudah berjalan di samping Aksa.

Aksa menghentikan langkahnya secara tiba-tiba dan menatap tidak suka ke arah manajernya. "Apaan, sih, Bang. Gue nggak buat masalah apapun."

"Terus ngapain lo di situ?"

Aksa mendengus kasar. "Salah masuk," jawab Aksa cepat agar Bang Arnan tidak lagi merecokinya.

"Beneran?"

Aksa hanya melempar tatapan tajam untuk menghentikan ocehan Bang Arnan. Sang manajer yang langsung paham pun berhenti bertanya karena tidak ingin membuat mood Aksa rusak dan pesta mereka jadi tidak enak suasananya.

***

Aksa menghempaskan tubuhnya ke sofa ruang tamu apartemennya. Pesta ulang tahun Senandika tadi berjalan lancar untuk teman-temannya, tapi tidak untuk dirinya.

Kepalanya masih dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan soal Naraya. Keinginan untuk menelpon gadis itu dan bertanya mengenai keadaannya begitu besar, tapi rasanya waktunya belum tepat.

Rasa penasaran Aksa begitu besar terhadap trauma yang diderita Naraya. Ini kali pertama dia bertemu dengan orang yang memiliki trauma di masa lalu dan kambuh tepat di depan matanya. Apalagi, kemungkinan besar trauma itu bisa datang lagi diakibatkan dirinya.

Tidak. Aksa tidak bisa bertanya-tanya dengan dirinya sendiri. Jawaban dari semua pertanyaannya tidak akan mendapatkan jawaban kalau dia tidak cari tahu sendiri. Tetapi, harus bagaimana dia mencari jawaban itu?

Untuk beberapa saat Aksa memandangi kolom pesannya dengan Naraya yang sampai sekarang pesannya tidak dijawab oleh gadis itu. Ini sudah lewat 4 jam sejak kejadian tadi di restoran dan dia penasaran apakah kondisi Naraya sudah membaik.

"Astaga, Aksa … lo kok jadi kepo sama urusan orang, sih?" gerutu Aksa pada dirinya sendiri.

Namun, beberapa menit kemudian, dia akhirnya memberanikan diri untuk menelpon Naraya. Seperti ada rasa bersalah yang perlahan mengganggunya karena sampai sekarang dia masih belum tahu kondisi gadis itu. Tapi, panggilannya tidak mendapat jawaban.

"Mas Tirta. Benar. Mas Tirta pernah datang bareng dia pas konser. Pasti Mas Tirta dekat sama anak itu."

Tanpa buang-buang waktu lagi, Aksa langsung menghubungi Mas Tirta untuk cari tahu mengenai Naraya. Bahkan, dia tidak peduli lagi dengan waktu sekarang yang sudah menunjukkan hampir jam 12 malam.

"Kenapa, Sa?" tanya Mas Tirta di seberang.

"Lo temen dekatnya Naraya, kan?"

"Iya. Kenapa emang?"

"Dia punya trauma, ya? Trauma sama apa? Parah, nggak?" berondong Aksa.

"Lo kok tanya soal trauma dia, sih?"

"Ck. Tinggal jawab aja pertanyaan gue tadi, Mas. Bukan nanya balik," decak Aksa.

"Kenapa lo bisa tahu dia punya trauma?" Mas Tirta tidak mau kalah. Pertanyaan Aksa yang membahas trauma Naraya sudah membuatnya penasaran.

Pasalnya, Aksa dan Naraya tidak dekat. Jadi, hal yang tidak mungkin kalau Naraya kasih tahu tentang traumanya itu ke orang yang tidak begitu dekat dengannya.

"Gue liat dia tadi pas trauma kambuh. Kayaknya itu bukan hal yang sepele. Dia aja sampe ketakutan kayak gitu tadi," jawab Aksa akhirnya.

"Apa?! Trauma Naraya kambuh?!" pekik Mas Tirta di seberang.

"Kenapa bisa? Lo tau apa yang terjadi sama dia tadi? Ada siapa aja pas dia kambuh?" Nada bicara Mas Tirta sangat jelas menggambarkan kepanikan.

"Tadi pas dia sama gue doang di toilet. Gue cuman mau main-main sama dia, eh, dianya malah ketakutan dan kayak mau pingsan tadi. Emang tra--"

"Brengsek lo, Sa! Lo kenapa harus gangguin dia juga, sih? Awas aja kalo dia sampe kenapa-napa."

Tut … tut … tut ….

Setelah memaki Aksa, Mas Tirta langsung memutus panggilan mereka secara sepihak. Aksa pun kembali dibuat kebingungan dengan reaksi Mas Tirta.

Namun, dengan mengamati respon dari orang-orang yang dekat Naraya, juga melihat bagaimana Naraya yang sangat ketakutan tadi, Aksa bisa mengambil kesimpulan sementara bahwa trauma yang dialami Naraya bukanlah hal yang sepele. Sepertinya dia harus cari tahu lebih lanjut Naraya trauma akan hal apa.