Aku serius menanggapi obrolan singkat dengan Mama Winda. Serius memutuskan melamar pekerjaan karena tak ingin diam di rumah terlalu lama. Beberapa dokumen data diri sudah aku masukkan ke map cokelat.
Mas Dion yang sudah selesai membasuh diri akhirnya memasuki kamar. Dia tertegun selama beberapa saat sampai akhirnya berani bertanya, "Buat apa itu?"
"Melamar kerja." Jawaban polos. Tanpa perlu bertanya juga suamiku sudah tahu kalau ini untuk melamar pekerjaan.
"Iya, buat apa?" tanyanya lebih mendesak penjelasan sungguhan.
"Buat aku, Mas. Aku mau kerja lagi, ah!" Aku beralih ke aktivitas selanjutnya. Berniat membasuh diri sekarang, supaya nanti bisa berangkat bersama Mas Dion.
"Kerja di mana? Memangnya suda diterima? Umurmu 25 tahun, lho, Va. Susah cari kerja di umur segitu," cerocosnya dengan mata terbelalak.
"Memang belum diterima, namanya juga mau ikutan walk in interview. Kalau udah keterima, aku gak bakalan bawa CV ke sana," balasku sambil mengapungkan map cokelat itu.
"Udahlah diam di rumah, aja." Mas Dion sampai menahan lenganku yang hendak mengambil handuk.
"Buat apa, Mas? Kita udah gak ada anak. Gak ada alasan lagi buat aku diam di rumah setiap hari."
"Apa gak bisa gitu kamu jadikan aku alasan?" Matanya berubah jadi meratap penuh luka. "Tolong diam di rumah. Cukup aku yang kerja. Tunggu aku pulang. Sudah segitu."
Aku terdiam. Bujuk rayu itu memang terdengar lembut dan mengenakan. Dari awal pernikahan, dia memang ingin istrinya diam di rumah dan menghabiskan uang hasil jerih payahnya.
"Sudah, simpan lagi handuknya. Mending temani aku sarapan sekarang."
Kami keluar sambil bergandengan tangan. Mas Dion yang sampai lebih dulu lantas mengambil alih posisi bangku. Aku masih perlu mengerjakan tugas lain, semacam mengambil peralatan makan dan meletakan masakan di hadapan Mas Suami.
"Wih." Matanya begitu berbinar saat melihat sajian makanan hari ini. "Nanti aku bekal ini juga, kan?"
"Iya, dong." Aku tahu dia senang sekali dengan ayam panggang. Sengaja menyiapkan beberapa porsi supaya Mas Dion bisa membawa bekal ke kantor nanti.
Keasyikan kami di ruang makan pun terhenti karena kedatangan Mama Winda yang tiba-tiba. "Kamu gak jadi cari kerja, Va?"
Pertanyaan itu, tentu saja menarik perhatian Mas Dion dari atas piring. Dia sampai berhenti mengunyah karena ingin melihat wajah ibunya. Sayangnya, incaran tatap tajam Mama Wanda bukan anak semata wayangnya.
"Mas Dion gak kasih izin buat cari kerja." Ya, mau tak mau aku menggunakan nama anaknya untuk membela diri.
"Ya, harusnya, sih, bisa sadar diri. Anakku gak kasih izin karena merasa gak enak sama kamu. Iya, kan, Nak?" Beliau mencolek lengan suamiku guna mendapat anggukan.
Hah, sudah aku duga dia akan begini. Dia selalu diam ketika sang ibunda mengambil alih perundungan di rumah. Terbukti, efek dari colekan itu Mas Dion mengangguk tanpa ragu. Dia yang awalnya tidak mengizinkan tiba-tiba menyetujui saran dari Mama supaya aku bekerja.
Baik. Aku juga tidak sepenuhnya rugi, jika memang harus bekerja lagi. Sebagian besar, ini juga termasuk dalam keinginanku. Tidak mau Mas Dion menarik anggukannya, aku bergegas meninggalkan ruang makan. Waktunya bersiap-siap mencari pekerjaan.
***
Mas Dion mengantarku sampai depan gerbang PT. Sishwa. Tiada basa-basi, dia juga langsung pergi karena takut terlambat ke kantor jurnalistik.
Perlu menguatkan mental selama beberapa saat untuk mengambil langkah mendekati pos satpam. Terhitung lima tahun aku berhenti bekerja dan tanpa diduga hari ini aku harus kembali ke perusahaan yang sama untuk melamar pekerjaan. Setengah sadar, kakiku memasuki pos satpam, menyapa salah satu karyawan yang tidak ingat wajah dan namaku.
"Bulan ini lagi gak ada walk in interview, Bu. Coba balik lagi, aja, bulan depan." Begitu jawaban dari orang yang kusapa barusan.
Langkah gontai aku keluar gerbang. Sontak mengembuskan napas berat karena niat menghindar dari rumah mertua terancam gagal. Kepalaku menengok jam digital dari layar ponsel. Masih terlalu pagi untuk mencetak luka dalam hati.
Secepat kilat aku memutar otak, hingga terpikir satu cara yang bisa kuambil sekarang. Jika tidak bisa pulang ke rumah mertua, maka aku akan pulang ke rumah orang tua. Teramat mantap dengan niat tersebut, aku bergegas menghentikan mobil angkutan kota yang berlalu-lalang depan mata.
Bersyukur karena rumah kedua orang tuaku terbilang dekat dari PT. Sishwa. Cukup naik dua kali mobil angkutan, aku sudah sampai di tujuan. Orang pertama yang membuka pintu tampak terkejut hingga akhirnya memeluk tubuhku erat. Ibu yang begitu merindukanku sampai melupakan fakta umur anaknya, sehingga ia tidak malu memberi bertubi-tubi kecupan di pipi.
"Ayah ke mana?" tanyaku karena pria paling disegani di rumah kami tidak terlihat batang hidungnya.
"Pergi dulu. Antar pesanan. Ayo, masuk, Va."
Ibu sudah merangkul lenganku, mengajak berjalan masuk ke ruang keluarga. Setidaknya, ini yang paling menyenangkan ketika aku kembali ke rumah lama. Diperlakukan bagai ratu, dihargai bagai esok aku akan mati. Lebih indah ketimbang di rumah mertua 'kan?
"Kamu mau minum apa?" tanya Ibu yang berniat beranjak dari ruangan ini.
"Bu, udahlah. Kayak ke siapa, aja. Soal minum, aku bisa ambil sendiri." Tanganku menepuk karpet bulu yang belum diisi siapa pun. "Mending Ibu duduk di sini."
Ibu tidak membantah. Setelah beliau duduk, gerak cepat aku mengubah posisi duduk jadi terlentang. Tak lupa, aku juga menyimpan kepala di pangkuan beliau.
"Kamu habis dari mana?" tanya Ibu sambil menekan tombol remote control televisi.
"Dari Sishwa." Tidak perlu menjelaskan lebih rinci karena aku yakin Ibu sudah paham arah pikirku sekarang.
"Iya, ya. Mending kerja lagi." Ucapan itu terdengar berat dan menyayat. Ibu pasti sama terlukanya denganku. Terlebih karena Iriana juga cucu pertama di keluarga ini.
"Hm, tapi tadi katanya harus tunggu bulan depan karena Sishwa belum buka lowongan kerja."
"Ya, udah kamu kirim lamaran ke perusahaan lain, aja. Hitung-hitung sambil tunggu Sishwa buka lowongan."
Ah, dia memang ibuku. Tahu saja jalan pikirku yang begitu.
"Va, memangnya Dion sudah kasih izin?"
Ibu bertanya begitu pasti karena tahu Mas Dion tidak pernah mengizinkanku bekerja setelah kami menikah.
"Kasih, kok."
Ingin menceritakan semuanya kepada Ibu, tetapi masa, iya, aku bongkar aib suami sendiri? Jadi, mau tak mau aku hanya menjawab garis besarnya saja. Mas Dion sudah kasih izin. Itu pun atas dorongan mamanya.
"Dia tahu kamu ke sini?"
Aku terdiam. Kalau itu, sih, Mas Dion belum tahu. Toh, aku ke sini juga karena Sishwa tidak buka lowongan kerja. Sebut saja aku takut berhadapan dengan mertua kalau pulang tidak membawa kabar baik.
"Coba kirim pesan. Kamu udah terlanjur ke sini juga, kan?"
Tidak mau mendengar Ibu memerintah dua kali, aku bergerak mengambil ponsel dalam saku celana. Mengetik beberapa kata untuk dikirim kepada Mas Dion. Tidak membutuhkan waktu lama, Mas Dion pun langsung mengirimiku balasan pesan.
Dari : Mas Dion
Kenapa gak izin dulu kalau mau ke rumah ibu?
Masih bernada santai, aku mulai mengetik beberapa kata balasan.
Untuk : Mas Dion
Iya. Tadi coba ke Sishwa, terus disuruh pulang lagi karena mereka belum buka lowongan.
Dari : Mas Dion
Harusnya, kamu langsung pulang. Jangan kelayapan.
Dari sini aku mulai tak enak perasaan. Ada rasa takut karena aku membalas pesan dihadapan Ibu. Terpaksa meskipun sedang enak-enaknya, aku bangkit dari pangkuan beliau. Sengaja meminta diambilkan air minum supaya Ibu berjauhan dengan layar ponselku. Setelah memastikan Ibu tidak menaruh kecurigaan, buru-buru aku mengetik balasan pesan.
Untuk : Mas Dion
Aku gak kelayapan Mas. Aku main ke rumah ibu. Orang tuaku.
Dari : Mas Dion
Kalau gak ada izin dari suami, artinya tetap kelayapan. Ya, udah kamu diam, aja, di sana. Aku gak mau jemput.
Sebuah rasa sakit kembali merongrong relung hati. Bisa-bisanya dia berkata kelayapan, padahal jelas-jelas aku sedang bertandang ke rumah orang tua. Pakai acara tidak mau menjemput pula, bagaimana reaksi orang tuaku kalau tahu tentang hal ini?
Untuk : Mas Dion
Mas, seenggaknya nanti sore kamu harus jemput aku. Kalau aku pulang sendiri, gimana tanggapan ibu dan ayah nanti?
Dari : Mas Dion
Ya, itu urusan kamu. Kamu yang cari masalah sendiri, kok, seenaknya minta jemput. Sekiranya, kamu masih anggap aku suami. Pulang sekarang. Sendiri.
***