webnovel

Bukan Salah Rasa

Kisah anak-anak remaja yang beranjak dewasa, dimana masing-masing dari mereka memiliki masalah hidupnya masing-masing. Refan, Reisya, Ruri, Simon, Miko, Zahra, Nando, Nindy, Lucy, dan Gavin. Mereka semua memiliki kisah hidupnya masing-masing, dimana ego dan perasaan menjadi landasan dari sebuah perubahan besar dalam hidup mereka. Di saat hati sudah menguasai, apakah logika bisa melawannya? Baik sadar atau tidak, nyatanya perasaan lah yang selalu menang atas perdebatannya dengan ego. Anak muda adalah awal dari kisah mereka, setelah beranjak dewasa barulah mereka mengerti arti perasaan yang sebenarnya. Lalu jika masalah terjadi di antara kehidupan mereka, apakah rasa itu ikut bersalah? Hati seseorang tidak bisa di tentukan oleh kehendak orang lain, karna kekuasaan sepenuhnya ada pada si pemilik hati sendiri. Apakah ia menerima perasaan itu, atau malah membuang. ( Mengandung beberapa part 21+)

SA_20 · Teenager
Zu wenig Bewertungen
280 Chs

Janjian

Bel pulang sekolah berbunyi, semua siswa membubarkan diri dan kembali ke rumah masing-masing. Begitu juga dengan Reisya dan Ruri, mereka sudah merapikan peralatan belajar mereka dan memasukannya ke dalam tas. Setelah itu mereka melangkah keluar dari kelas, menuju pintu keluar.

Di halaman sekolah, Refan, Nando, dan Simon sudah berada di masing-masing mobil mereka. Namun sebelum masuk ke mobil, Refan lebih dulu berkata.

"Malam ini gw ikutan, kita bertemu seperti biasa." Ucap Refan memberitahu.

"Siap kawan, bakal seru nih." Balas Nando semangat.

"Tentu, ada Refan." Jawab Simon langsung menyanjung temannya itu.

Refan hanya menampilkan seringainya, lalu setelah itu ia membuka pintu mobil akan masuk. Tapi ia langsung menghentikan gerakannya, karna netra gelapnya menatap Reisya yang melangkah keluar dari gedung sekolah.

"Guys, gw duluan deh. Dari pada jadi nyamuk, mending gw cabut." Pamit Nando pada Refan dan Simon.

"Ok, ketemu nanti malam ya!" Balas Simon.

"Sip" jawab Nando pasti.

Mobil mewah Nando mulai bergerak meninggalkan halaman sekolah, tepat setelah itu Reisya dan Ruri menghampiri Refan dan Simon.

"Kita jalan?" Ajak Simon pada Ruri.

"Tentu" jawab Ruri dengan semangat.

"Guys, gw dan pacar gw duluan ya." Pamit Simon juga mewakili Ruri.

"Ya udah sono, dasar bucin." Balas Refan dengan kesal.

"Jomblo jangan iri, bye!" Ledek Simon pada Refan.

Mobil Simon mulai bergerak meninggalkan halaman sekolah, setelah kepergian mereka kini hanya tersisa Refan dan Reisya saja di sana.

"Siapa juga yang jomblo, dasar bucin." Gumam Refan.

Mendengar hal itu, Reisya pun tersenyum pedih. Ia kembali mengingat jika saat ini Refan adalah kekasih dari Lucy, tentu saja dia masih mengakuinya walau secara tidak sengaja.

"Iya deh yang sudah punya pacar mah" tukas Reisya dengan wajah tenangnya.

Refan menatap Reisya dengan bingung, padahal ia tidak bermaksud mengakui statusnya saat ini. Tapi ternyata perkataannya menunjukkan hal itu, dan Reisya mengingatkan kembali akan kesalahannya.

"Tau ah, ayo kita pulang." Balas Refan malas berdebat.

Reisya hanya mengangkat bahunya acuh, setelah itu mereka sama-sama masuk ke dalam mobil dan mobil itu melaju keluar dari area sekolah.

"Mau langsung pulang atau makan dulu?" Tanya Refan pada Reisya.

"Langsung pulang aja" jawab Reisya langsung.

Refan mengangguk paham, lalu mobil itu melaju membelah jalan menuju ke mansion Aliandra. 30 menit kemudian, mobil Refan memasuki halaman mansion. Setelah mobil masuk ke dalam garasi, barulah Refan dan Reisya keluar dari mobil. Mereka melangkah masuk ke dalam mansion, di sana sudah ada Monalisa yang sedang duduk di ruang tengah.

"Refan pulang." ucap Refan saat memasuki mansion.

Monalisa langsung menoleh.dan tersenyum, akhirnya putra dan putrinya sudah pulang dari sekolah.

"Kalian sudah pulang? Sini duduk dulu!" Titah Monalisa pada Refan dan Reisya.

Mendengar perintah sang ibu, Refan dan Reisya pun menurut untuk duduk di dekat Monalisa.

"Bagaimana sekolah kalian? Aman?" Tanya Monalisa dengan santai.

"Aman kok bu, semua baik." Jawab Reisya dengan tenang.

"Kok tumben sih ibu nanya-nanya tentang sekolah?" Tukas Refan dengan heran.

"Memang kenapa kalau ibu bertanya? Salah gitu?" Balas Monalisa dengan tegas.

Refan terdiam, sebenarnya tidak salah juga jika sang ibu bertanya tentang sekolah anak-anaknya. Tapi Refan merasa aneh saja, mengingat ini pertama kalinya Monalisa bertanya hal itu pada Refan sejak terakhir kali saat Refan kelas 4 Sekolah Dasar dulu.

"Ya tidak salah si, tapi aneh aja." Jawab Refan dengan tidak yakin.

"Kamu kali yang aneh, orang pertanyaan ibu normal saja kok." Balas Monalisa dengan yakin.

Mendengar hal itu Refan pun menghela nafas panjang, dari pada perdebatan makin panjang lebih baik Refan mengalah. Karna ia tau, jika terus melawan perkataan ibunya itu sudah pasti ujung-ujungnya ia kalah juga. Ditambah dengan wajah kecut, dan juga kata-kata ketus. Jadi sebelum semua keburukan itu terjadi, Refan lebih memilih untuk mengalah.

"Ya sudah iya, terserah ibu saja." Pasrah Refan.

"Nah gitu dong, itu baru anak ibu." Balas Monalisa.

"Ya sudah Refan mau ke kamar dulu, ingin mandi." Pamit Refan pada Monalisa.

"Iya, nanti kalau lapar turun saja ya? Di meja makan masih ada lauk, sengaja ibu pisahkan untuk kamu." Balas Monalisa mengingatkan.

"Siap bu." jawab Refan, lalu ia melangkah menaiki tangga menuju ke kamarnya.

Reisya tersenyum melihat hal itu, rasanya Refan begitu beruntung memiliki ibu yang sangat menyayanginya. Jujur saja Reisya merasa ingin juga, sudah lama ia tidak merasakan perhatian dari sosok ibu.

"Maaf ya Reisya jadi mengabaikan kamu, kamu sudah makan?" Ucap Monalisa dengan lembut.

"Tidak apa-apa bu, tadi sih di jam istirahat sudah tapi kalau sekarang belum." Jawab Reisya apa adanya.

"Ya sudah, sekarang kamu mandi dulu baru setelah itu makan ya?" Balas Monalisa mengarahkan.

"Iya bu, kalau gitu Reisya ke kamar dulu ya." Pamit Reisya pada Monalisa.

Monalisa mengangguk setuju, lalu Reisya pun melangkah menaiki tangga dan masuk ke dalam kamarnya. Ada senyum di wajahnya saat ia mendapatkan perhatian dari Monalisa, Reisya sangat suka di perhatikan seperti itu.

Setelah puas tersenyum, Reisya meletakan tasnya di ranjang. Lalu ia melangkah masuk ke dalam kamar mandi, dan membersihkan dirinya. Setelah beberapa saat, Reisya keluar dengan handuk yang melilit sebagian tubuhnya. Reisya melangkah mengambil bajunya di dalam lemari, lalu ia memakainya. Selesai dengan pakaian, Reisya merapikan rambutnya yang berantakan karna ia basahi.

Reisya tersenyum melihat pantulan dirinya di cermin, sepertinya memang benar jika ia memiliki kemiripan yang cukup banyak dengan ibu kandungnya Raisya. Mulai dari wajah, bentuk tubuh, bahkan tingginya pun sama. Hanya saja matanya berbeda, netra coklat itu milik ayahnya. Mengingat hal itu, senyum di bibir Reisya pun luntur.

"Ayah? Pria tidak tau diri itu ayahku? Lucu sekali, tidak akan ada seorang ayah yang tidak peduli pada anaknya. Apalagi menganggap anak orang lain sebagai anaknya, sedangkan anak kandungnya sendiri di telantarkan. Apa pria seperti itu pantas di sebut ayah? Mimpi saja, dia bukan ayahku." Gumam Reisya dengan rasa marah yang bergemuruh hebat dalam dirinya.

Merasa dirinya tidak baik jika terus berada di dalam kamar, akhirnya Reisya pun melangkah keluar dari kamar dan menuruni tangga. Sebenarnya ia mencari keberadaan Monalisa, tapi tidak ada siapapun di sana. Lalu Reisya melangkah ke ruang makan, ada Refan di sana yang asik menikmati makan siangnya.

Tanpa berkata lagi Reisya duduk di salah satu kursi yang kosong, lalu ia membalik piring dan menyendok nasi cukup banyak. Lalu ia mengambil lauk tanpa pikir lagi, hal itu membuat Refan menatapnya aneh.