Niken belum tidur ketika pintu kamar yang sedang ditempatinya terdengar diketuk. Ia segera membukanya. Terlihat Soraya sedang berdiri di depan pintu kamar tapi wanita itu tak sendiri. Ia bersama seorang lelaki muda tapi bukan lelaki yang dilihatnya di dapur beberapa saat yang lalu.
"Nah, ini Niken-nya, Za. Ayo kenalan," kata Raya sumringah.
Reza tersenyum lantas melihat Niken yang tertunduk lagi. Wajahnya nampak lebam. Reza jadi tahu bahwa seseorang yang dikira pembantu baru dalam racauan adiknya itu adalah gadis bernama Niken ini.
"Aku Reza." Reza mengulurkan jemari. Ragu, Niken membalas jabatan tangan itu, lalu mengangkat wajahnya perlahan. Reza bisa melihat kecantikan yang begitu alami dari wajah yang masih dipenuhi lebam itu.
"Aku Niken." balas Niken sambil tersenyum kecil, "Niken Senja." sambungnya menyebutkan nama lengkap.
"Pasti lahirnya sore hari ya?" tebak Reza. Niken mengangguk pelan. Wajah lebamnya tertunduk lagi, tampak malu.
"Kamu istirahat aja, Nak. Mama masih pengen ngobrol sama Niken," kata Rosalinda, memutus perkenalan singkat antara Reza dan Niken.
"Yah, Reza gak boleh ikut nih?"
"Ini urusan perempuan, laki-laki gak boleh ikutan," canda Soraya kepada anak pertamanya. Reza tertawa akhirnya ia mengangguk lalu pergi setelah sebelumnya memberi kecupan ringan di pipi mamanya.
"Tante kira, kamu sudah tidur,"
Selepas kepergian Reza, Raya membawa Niken masuk kembali ke kamarnya. Niken menggeleng lalu tersenyum kecil.
"Aku nungguin Tante," jawab Niken jujur. Raya tersenyum mendengarnya. Tebaknya, gadis itu pasti masih penasaran tentang cerita antara dia dan ibunya.
"Tante akan ceritakan semuanya sama kamu malam ini." Tatapan Raya tampak menerawang, ke beberapa tahun silam. Bayangan pertama memulai cerita itu bermula di sebuah ruangan persalinan rumah sakit.
Dua puluh delapan tahun yang lalu ...
Derit ranjang persalinan itu bersahutan. Raya sedang bertaruh nyawa, mempertaruhkan kehidupannya saat ini, melahirkan anak keduanya. Persalinan kedua ini tidak semudah saat ia melahirkan Reza, anaknya yang sudah berusia dua tahun.
Entah mengapa persalinan kedua ini menjadi lebih susah, perjuangannya melahirkan anak kedua membuatnya hampir kehilangan nyawa. Benar saja setelah anaknya lahir, masalah baru datang. Pendarahan hebat terjadi sebab Raya sempat mengalami Atonia Uteri dimana rahim tidak bisa berkontraksi dengan baik dan mengakibatkan pendarahan hebat setelah melahirkan. Nafasnya sesak dan pendek. Tidak ada cara selain harus segera tranfusi darah.
"Pasien butuh darah secepatnya!" dokter kandungan memerintahkan para asistennya untuk mencari darah yang cocok. Kebetulan yang tersisa tak cukup memenuhi kebutuhan darahnya.
Saat itulah suami Raya, Tuan Rafi mulai bergerak mencari pendonor. Saat itu, seorang perempuan mendekatinya.
"Saya Risma, Tuan. Saya tadi kebetulan di depan sedang menunggu obat, saya dengar dari perawat, istri Tuan butuh darah setelah melahirkan. Darah kami sama dan saya bersedia mendonorkan darah saya."
Tuan Rafi segera bersyukur dan membawa Risma menuju beberapa dokter yang kini menangani kasus Raya. Risma segera dites dan dalam keadaan gawat darurat itu ternyata Risma cocok dan sehat menjadi pendonor.
Akhirnya karena darah dari Risma, nyawa Raya terselamatkan. Beberapa hari kemudian Raya berhasil melewati masa kritisnya.
"Syukurlah, Mama sudah sadar," kata tuan Rafi dengan mata berkaca-kaca.
"Dimana Bian, Pa?"
Bian, nama yang memang sudah disiapkan Raya untuk putera keduanya sejak ada dalam kandungan.
"Bian sehat, Ma. Sekarang sedang diurus sama perawat. Mama harus berterima kasih sama orang yang sudah menyelamatkan Mama."
"Menyelamatkan Mama, Pa?" tanya Raya tak mengerti.
"Benar, Ma. Berkat darah yang didonorkannya, Mama bisa selamat. Dia bahkan menolak uang yang Papa berikan kemarin. Dia hanya mengatakan namanya Risma dan dia tinggal di alamat ini." Papa menunjukkan sebuah kertas yang terpaksa diberikan Risma kepada tuan Rafi. Tadinya Risma tak mau identitasnya diketahui, sebagai orang yang sudah menyelamatkan Raya. Risma hanya mengatakan kepada Rafi, semoga itu menjadi ladang pahala untuknya kelak. Tapi Rafi memaksa agar Risma mau memberikan alamatnya bila tak ingin menerima uang banyak yang ia berikan.
"Mama akan menemuinya kelak, Pa. Terima kasih banyak, Risma," gumam Raya sambil menitikkan airmata setelah mendengar cerita suaminya.
Dan sekian tahun berlalu, ternyata Risma tak lagi tinggal di rumah lamanya. Ia pindah entah kemana sedangkan saat itu, Ia sekeluarga harus pindah ke Jerman untuk suatu hal.
Kehilangan jejak Risma bertahun-tahun tak membuat Raya berhenti mencari keberadaan perempuan yang sudah menyelamatkan hidupnya itu. Suaminya juga mengerahkan para bawahannya mencari sosok Risma bermodalkan informasi dari tetangga Risma dahulu.
Kemudian delapan tahun kemudian mereka mendapatkan kabar bahwa Risma tinggal di sebuah rumah sederhana di dalam gang sempit dan ia sudah melahirkan seorang bayi perempuan bernama Niken.
Sayangnya ketika kembali ke Indonesia saat itu ketika anak-anak sudah tumbuh besar dan dewasa, tuan Rafi sakit keras. Raya menghabiskan banyak waktunya untuk merawat sang suami tercinta. Namun, ada satu pesan sang suami yang harus ditunaikannya sebab itulah amanah terakhir dari suaminya tentang Risma dan Niken.
"Mama janji, Pa. Mama akan segera menemui Risma dan anaknya Niken, Mama tidak akan mengingkari janji Mama untuk menyampaikan keinginan terakhir Papa," bisik Raya sesaat sebelum tuan Rafi menutup mata selamanya.
Dan kini, saat Raya telah kembali ke alam sadarnya, ia menatap Niken hangat. Ada airmata menetes.
"Niken, Ibumu adalah perempuan yang sangat baik. Maafkan Tante tidak sempat berjumpa dengannya dan mengucapkan terima kasih karena Tante terlambat menemui kalian." Soraya menunduk dalam sementara jemarinya dan Niken saling terpaut.
Niken juga sedari tadi sudah menghapus airmatanya yang jatuh begitu saja setelah mendengar kisah kebaikan ibunya. Risma, sang ibu yang punya kisah pahit, dihamili kekasih lalu melahirkan anak seorang diri dan membesarkannya dengan segenap hati nurani. Tak pernah terbersit di pikiran Risma untuk membunuh janinnya hanya karena sang ayah tak mau bertanggungjawab. Bertahun-tahun dijalani Risma dan Niken dengan cemooh orang-orang, namun mereka bergeming, menerima dengan lapang dada tanpa ada niat membalas.
"Niken, ada satu pesan dari almarhum suami Tante untuk kamu. Tante mohon, kamu mau mewujudkannya untuk beliau juga untuk menebus kebaikan Ibumu yang sudah tiada. Tante gak mau kamu sendiri menjalani kehidupan setelah ini, biarkan Tante menjadikan Niken sebagai keluarga juga. Tolong, terima amanah suami Tante ya." Raya memandang Niken dengan linangan airmata yang masih keluar.
Niken balas menatap mata yang memancarkan ketulusan, yang tak pernah menjadikan kasta sebagai pembeda sebagai sesama manusia. Ia tersenyum lantas mengangguk. Tante Raya benar, Niken memang sudah sendirian kini. Ia sebatang kara dan kini menemukan sosok ibu di diri Soraya yang sudah begitu baik padanya.
"Apa permintaan suami Tante?" tanya Niken.
Dengan mantap dan genggaman itu semakin erat.
"Menikah dengan Bian, menjadi istri putera kedua kami."
Niken bergetar dalam hati tak tahu harus menjawab apa saat ini. Batinnya dipenuhi satu nama. Bian?