Entah berapa menit kemudian, Bu Mirna sampai di rumah dan bergegas masuk ke dalam kamar Endra. Ekspresi wajahnya terlihat cemas, meski tidak separah Sarah, dan buru-buru mendekati Endra yang terbaring di ranjang dengan selimut menggunung.
Endra sedang tidur. Saat Bu Mirna mengamati dan menyentuh wajah anaknya dengan saksama, kelegaan langsung terpancar dari wajahnya.
Saat Sarah meneleponnya beberapa saat yang lalu dan mengatakan bahwa Endra sakit, Bu Mirna serta merta meninggalkan kegiatannya dan meminta salah satu pekerja laki-lakinya untuk mengantarkannya ke rumah.
Tadi pagi, Bu Mirna sudah sangat khawatir melihat anaknya yang kembali entah dari mana dengan wajah sepucat mayat. Ditambah lagi, saat Bu Mirna hendak menanyakan keadaan Endra yang sedang berada di dapur untuk menyiapkan makanan yang akan dibawanya ke kamar, Bu Mirna justru melihat anaknya sedang menangis tanpa suara.
Jadi, saat menantunya tiba-tiba menelepon dan memberitahukan bahwa anaknya sakit, sekelebat pikiran buruk menerpa jantungnya dan mungkin saja sakit yang dibilang Sarah adalah bukti nyata bahwa kondisi anaknya memang sudah mencapai batasannya.
Saat akhirnya Bu Mirna sampai di kamar Endra, tatapannya tak bisa dia lepaskan dari sosok yang terbaring dengan banyak kain yang mengerubungi, Bu Mirna langsung sadar jenis 'sakit' apa yang diderita Endra ini.
Untunglah kecemasan itu perlahan mereda saat menyaksikan kondisi anaknya tidak separah yang Bu Mirna perkirakan. Setelah memastikan anaknya baik-baik saja, Bu Mirna lantas bertanya pada dua orang yang sudah berada di kamar ini lebih dulu. "Kenapa Endra bisa kedinginan begini?"
Ada keheningan selama beberapa detik setelah pertanyaan Bu Mirna meluncur. "Ayah juga kurang tahu, tapi yang penting kondisi tubuh Endra sekarang sudah mulai membaik, jadi sudah tidak apa-apa," yang menjawab rupanya Pak Yadi. Karena menduga Sarah tidak berani mengucapkan sepatah kata pun, jadi Pak Yadi berinisiatif menjawab pertanyaan istrinya.
"Syukurlah kalo begitu," kata Bu Mirna dengan ekspresi penuh kelegaan.
"Sepertinya Endra sama Sarah mau jalan-jalan keluar, tapi mungkin saat di jalan Endra merasa kedinginan, jadi Rahmat mengantarnya pulang dan memanggil Ayah," jelas Pak Yadi dengan intonasi suara yang teratur.
Bu Mirna terdiam sebentar. Lantas berkata, "Pantas saja tadi Ibu sempat melihat motor kita di parkir di sebelah gubuk di jalan masuk mau ke kebun," sahut Bu Mirna memberitahu. Kemudian tatapannya beralih menatap Sarah yang berdiri di samping ranjang sambil menjaga arah pandangannya tetap ke bawah. "Kamu sama Endra tadi mau ke tempat Ibu ya?" tanya Bu Mirna, dengan suara yang dibuat sesantai mungkin.
Baru beberapa jam yang lalu saat Bu Mirna menceritakan masa lalu Endra pada Sarah, dan meminta Sarah untuk lebih memikirkan tentang perasaan Endra. Namun kini, Bu Mirna bisa menangkap perubahan raut wajah Sarah yang sebelumnya seperti patung, sudah berganti dengan raut bersalah yang membuat Sarah terus menerus menundukkan wajah.
Perlahan-lahan, Sarah akhirnya mengangkat wajah. "Saya benar-benar minta maaf," ucap Sarah pelan hampir menyerupai bisikan.
Bu Mirna jadi tertegun. Dia yakin karena ucapannya tadi pagi, menantu yang dilihatnya sekarang benar-benar sudah berbeda. Sarah seperti sudah tersadar atas kesalahannya yang terlalu larut dalam kesedihan sehingga mengabaikan semua orang, termasuk Endra. Dan kini Sarah seperti sedang menimpakan semua kesalahan itu pada dirinya sendiri.
"Kenapa minta maaf?" Bu Mirna memutuskan untuk menghampiri Sarah yang kembali menundukkan wajah. "Kalau saja Ibu tahu kalian akan datang, Ibu pasti akan ke kebun bersama kalian saja." Bu Mirna mengulas senyuman lembut. Sangat lembut hanya untuk meyakinkan menantunya kalau semua ini bukanlah kesalahan menantunya.
Bu Mirna memang egois mengatakan semuanya pada Sarah, meski tujuannya baik. Dia tahu, Sarah mengalami masalah yang berat, dan Endra menyuruhnya untuk menjaga jarak. Tapi hari demi hari terlewat, Bu Mirna sama sekali tidak mendapatkan penjelasan apapun. Justru yang ada Endra seolah ikut menanggung semua masalah yang dihadapi Sarah. Sehingga Bu Mirna jadi berpikir untuk sedikit menegur Sarah agar tidak terlalu melimpahkan masalahnya pada Endra seorang. Meskipun Bu Mirna sendiri tahu, kalau Sarah tidak melakukannya dengan sengaja. Tapi sebagai ibunya, Bu Mirna lebih dari sekadar mengenal Endra bahwa Endra pasti akan melakukan itu, memanggul semua beban yang mengapit pundak Sarah.
"Ibu yang harus minta maaf kalau perkataan Ibu sebelumnya sudah menyakiti kamu," kata Bu Mirna tulus. "Ibu sama sekali tidak bermaksud begitu, hanya saja ... Ibu merasa kalau kamu sudah seharusnya tahu bagaimana sifat Endra yang selalu mementingkan kebahagiaan orang lain. Jadi..."
"Ibu sama sekali nggak salah," ralat Sarah cepat. Dia tidak menemukan sedikitpun celah yang bisa menghubungkan kesalahan yang dimaksudkan ibu mertuanya itu. Tidak, sepenuhnya adalah murni kesalahan Sarah. "Saya justru sangat berterima kasih karena Ibu menceritakan semua itu pada saya, sehingga saya akhirnya sadar bahwa selama ini saya tidak pernah menderita sendirian."
Bu Mirna tersenyum tipis. "Mungkin Ibu bisa menduga apa yang terjadi antara kamu dan Endra sebelum akhirnya Endra terbaring di sini."
"Itu semua terjadi karena kesalahan saya." Sarah masih terus mengulang kalimat penuh rasa bersalah itu.
"Tidak, bukan begitu." Bu Mirna mengusap-usap lengan Sarah lembut. Tidak ingin mendengar Sarah menyalahkan diri lagi. "Kamu pasti terkejut setelah mendengar Ibu menceritakan soal Endra kan, makanya kamu berusaha memperbaikinya. Jadi, kalian berniat pergi ke kebun untuk menemui Ibu. Tapi saat dalam perjalanan, ternyata Endra yang dari awal sudah tidak enak badan akhirnya tumbang juga. Dan kemudian Rahmat mengantarkan kalian ke rumah." Bu Mirna menyatukan semua informasi yang didapatnya untuk menyimpulkan kemungkinan itu. "Jadi ... sekarang kamu tahu kan, Endra jenis orang yang seperti apa?"
Sarah akhirnya mengangguk. Tapi tetap tidak berani menatap mata ibu mertuanya.
"Kalau begitu, jangan merasa bersalah lagi. Karena semakin kamu merasa bersalah, Endra juga akan terbebani perasaan bersalah itu."
"Tapi ... seharusnya tidak seperti ini. Saya ini bukan orang yang baik. Saya orang yang sangat jahat. Mungkin Ibu juga sudah mendengar soal hubungan kami yang sebenarnya. Saya itu orang yang benar-benar jahat, selalu memperlakukan Endra dengan buruk. Jadi... jadi saya tidak pantas menerima semua kebaikan ini."
"Memangnya ... siapa yang pantas menilai kamu orang yang baik atau bukan? Kecuali orang itu memang tidak pernah melakukan satu pun keburukan. Bahkan Endra sekalipun, saya juga tidak bisa menjamin kalau semua yang Endra lakukan adalah hal yang baik. Endra itu manusia, dia juga pasti pernah melakukan kesalahan. Begitu pun juga kamu, jadi tidak perlu merasa seperti itu."
"Tapi..."
"Tidak apa-apa. Kamu justru satu-satunya orang yang paling pantas menerima semua kebaikan Endra. Ingat? Kamu itu istrinya. Jadi jangan merasa bersalah lagi. Karena bagaimana pun, Endra tidak akan bisa mengerti. Dia hanya mengerti bahwa membahagiakan orang-orang di sekelilingnya adalah tugasnya. Terlebih karena kamu itu istrinya."
Akhirnya, Sarah tidak bisa menahan perasaannya lagi. Air mata yang sejak tadi ditahannya kuat-kuat, tumpah ruah begitu saja. Bu Mirna tidak mengatakan apa-apa lagi, hanya menarik tubuh menantunya untuk didekapnya dengan penuh kasih sayang.
Pak Yadi yang melihat pemandangan istri dan menantunya itu hanya bisa mengulas senyuman lega. Dia tahu, keluarganya pasti akan baik-baik saja.
Siapa yang bisa menjelaskan perasaan Sarah itu, kenapa Sarah bisa ngerasa sebersalah itu. Pasti tau dong kalo baca cerita ini dari awal? Ya kan? Hehe...