Bu Mirna mengusap ujung matanya yang basah karena tangisan. Di ruang dapur sana, Bu Mirna baru saja mengamati Endra yang sedang menyiapkan sarapan sambil berleleran air mata.
Sudah lebih dari satu minggu sejak Endra dan Sarah pulang ke rumah ini. Tapi justru selama mereka pulang ke rumah ini, bukan kebahagiaan yang menghiasi, melainkan pemandangan menyayat hati yang membuat Bu Mirna seringkali termenung lama.
Endra tidak menceritakan apapun pada Bu Mirna terkait apa yang terjadi pada Sarah. Tapi hari demi hari, Sarah tidak pernah sekalipun keluar dari kamar. Bahkan sesekali, Bu Mirna mendengar suara teriakan dan rintihan dari Sarah yang terdengar begitu memilukan.
Bu Mirna dan suaminya tentu saja ikut merasakan kekhawatiran mendalam melihat tingkah laku Endra yang justru lebih pendiam dari biasanya, apalagi wajahnya juga selalu tampak murung. Bahkan adik-adik Endra juga tidak berani menanyakan apapun pada kakaknya. Mereka seolah paham bahwa yang terjadi pada kakaknya jauh lebih berat dari apa yang bisa mereka bayangkan.
Tapi ... melihat pagi ini Endra diam-diam keluar mengendarai motor dan pulang dalam keadaan pucat pasi, orang tua manapun pasti tidak akan sanggup lagi membiarkan kepedihan ini berlama-lama.
Akhirnya, Bu Mirna mengambil satu keputusan penting. Meski Endra melarangnya, tapi tidak ada pilihan lain yang bisa dia lakukan selain ini. Dia harus berbicara dengan Sarah!
Dengan gerakan pelan, Bu Mirna menyentuh kenop pintu dan membukanya dengan perlahan. Saat akhirnya pintu terbuka, dia melihat seorang perempuan sedang duduk sambil memeluk lututnya dengan tatapan kosong.
Ah, setidaknya sekarang Bu Mirna sudah melihat keadaan menantunya. Dan rupanya, itu sama buruknya seperti keadaan anaknya.
Dengan hati-hati, Bu Mirna melangkahkan kakinya masuk. Begitu keberadaan Bu Mirna sudah semakin dekat dengan Sarah, rupanya sekarang dia paham, kenapa Endra bisa terlihat semenderita itu. Karena yang dia lihat sekarang, keadaan Sarah bahkan jauh lebih mengenaskan dibanding Endra. Karena lihatlah, bahkan meskipun Bu Mirna sudah ikut duduk di atas kasur, tapi Sarah sama sekali tidak mengubah posisi dan pandangannya. Seolah kehadiran Bu Mirna hanyalah angin lalu yang tidak memiliki hawa keberadaan. Sarah tak ubahnya seperti patung berbentuk manusia yang tidak memiliki jiwa. Mungkin seperti itulah yang Bu Mirna lihat dari Sarah.
"Sekarang ... Ibu tau kenapa Endra jadi seperti itu," ucap Bu Mirna pelan setelah sebelumnya sempat membuang napas berat.
Tidak ada respon apapun yang terlihat dari Sarah saat Bu Mirna mengatakan kalimatnya. Dan kali ini Bu Mirna sudah memutuskan untuk ikut campur dalam urusan anaknya. Biarlah, meskipun Sarah tidak meresponnya, Bu Mirna hanya merasa perlu untuk melakukan tugasnya.
"Kali ini ... Ibu mau cerita sedikit tentang Endra sama kamu," kata Bu Mirna setelah memantapkan niatnya untuk setidaknya berharap bisa mengubah suasana menyedihkan yang selalu saja mengganggu hatinya beberapa hari terakhir.
"Sejak kecil dulu, Endra selalu saja menjadi sosok anak yang ceria dan dekat dengan semua orang." Bu Mirna menatap kosong ke depan seolah sedang mengingat lagi masa-masa kecil Endra.
Dengan menceritakan ini, Bu Mirna merasa, Sarah harus tahu siapa Endra sebenarnya. Agar setidaknya Sarah bisa mengerti akan semenderita apa Endra saat melihat orang yang disayanginya menderita.
"Endra ... tumbuh menjadi anak yang disukai semua orang. Bukan cuma disukai keluarga saja, tapi Endra sudah menjadi bagian dari keluarga untuk semua orang yang ditemuinya. Endra sangat suka bersosialisasi dengan semuanya, dia juga suka menolong siapapun yang terlihat membutuhkan bantuan. Dan kamu tau, Sarah, sifat Endra itu terus terbawa bahkan sampai Endra menginjak usia dewasa." Bu Mirna membuang napas pendek dan tersenyum tipis mengingat kenangan itu.
Sementara Sarah masih dalam posisinya, bahkan tidak bergerak sedikit pun meskipun Bu Mirna mulai menceritakan masa lalu Endra.
"Saat Endra kelas tiga SMP, Ibu masih ingat sekali, saat itu ... sepulang sekolah ... Endra langsung mencari Ibu dan menceritakan tentang seorang gadis yang tiba-tiba mengajaknya pacaran. Gadis itu bilang ... kalau sudah lama dia memiliki perasaan pada Endra. Dan kamu tau apa yang Endra katakan saat itu?" Bu Mirna tersenyum tipis dan melihat kearah Sarah berharap mendapat sedikit respon. Tapi rupanya sia-sia saja.
Bu Mirna mengambil napas berat dan tetap berniat melanjutkan ceritanya. "Saat itu ... Endra berkata seperti ini pada Ibu, "Tiara menunggu jawabannya besok, Bu, dia terlihat kebingungan dan langsung lari gitu aja walaupun Endra belum ngomong apa-apa. Padahal kan ... saat Tiara bilang dia suka sama Endra dan minta Endra jadi pacarnya, Endra pikir itu nggak masalah. Selama ini, bukannya sudah banyak yang bilang suka sama Endra karena Endra anak yang baik." Bu Mirna tertawa saat sedang mengulang kembali ucapan Endra saat itu yang diakhirinya dengan tawa lebar.
"Hari demi hari pun berlalu, hari itu Endra pulang sekolah dengan wajah yang terlihat sedih. Ibu tanya sama Endra ada apa? Dan Endra bilang ... kalau dia sudah membuat Tiara sedih. Tiara bilang, kalau Endra yang tetap dekat dengan gadis-gadis lain membuat Tiara cemburu. Endra bingung harus melakukan apa saat melihat Tiara menangis dan memutuskan untuk tidak mau melihat Endra lagi."
Bu Mirna menerawang ke atas, seolah sedang merasakan kesedihan yang baru saja diceritakannya. "Oya, kamu pasti tau soal ini kan Sarah, saat Endra bilang kalau dia ingin punya istri yang berasal dari kota." Bu Mirna sudah mengubah raut wajahnya menjadi sedikit lebih ceria dan mengarahkan pandangannya menatap Sarah.
"Sebenarnya ... alasan utama Endra memiliki impian seperti itu adalah karena kejadian saat bersama Tiara itu. Karena pada dasarnya, Endra sudah terlahir menjadi anak yang baik. Dia tidak pernah senang melihat orang lain terluka. Bahkan meskipun itu akan melukainya, Endra akan tetap berusaha menyenangkan orang lain. Sifatnya yang lebih mementingkan orang lain itu terus saja dimilikinya bahkan sampai dalam urusan cinta. Sebenarnya ... saat bersama Tiara itu ... Endra menerima Tiara sebagai pacarnya bukan atas dasar cinta, tapi karena Endra tidak mau melihat Tiara terluka jika Endra menolaknya. Tapi ... meskipun begitu, Endra tetap tidak bisa menghilangkan sifat lebih mementingkan orang lain meskipun sudah bersama Tiara. Endra tetap bersikap baik pada semuanya. Bahkan pada teman-teman perempuannya di sekolah, dan rupanya tanpa Endra sadari, hal itu justru menyakiti Tiara."
Bu Mirna mengambil napas sebentar guna melanjutkan ceritanya yang masih belum selesai.
"Saat itu, Endra bertekad untuk tidak akan menyakiti perasaan perempuan yang menyukainya lagi dengan berpura-pura menjadi pacarnya. Endra sudah tau akibatnya berpura-pura seperti itu yang justru akan semakin menyakiti orang lain. Akhirnya, Endra mulai mengutarakan keinginan itu pada semuanya, untuk memiliki pacar yang berasal dari kota. Endra terus mengatakan kalau dia akan menjomblo sampai berhasil menemukan gadis impiannya dari kota." Bu Mirna tersenyum tipis mengingat kenangan itu. Sifat altruis yang dimiliki Endra, yang sangat berkebalikan dengan sifat egois yang dimiliki banyak orang, nyatanya sering kali membuat Endra harus mengorbankan banyak hal.