Dalam perjalanan menuju panti asuhan, Sarah tak henti-hentinya memikirkan apa yang telah Endra ucapkan beberapa waktu lalu. Tentang semua hal yang membuat perasaannya mulai tergoyahkan.
Entah kenapa Sarah bisa merasakan ketulusan di setiap kata yang Endra ucapkan. Itulah kenapa akhirnya Sarah membiarkan Endra masuk ke kamarnya. Apalagi melihat sorot mata Endra saat Sarah mengatakan soal dirinya yang sudah terbiasa mengalami mimpi buruk. Saat itu, Endra benar-benar terlihat sangat khawatir padanya.
Diam-diam Sarah jadi mensyukuri permintaan Bu Diyah untuk mempertahan Endra menjadi suaminya. Karena rasanya baru kali ini Sarah dihujani oleh banyaknya perhatian dan ketulusan oleh laki-laki yang selama ini selalu dibencinya.
"Lagi ada hal yang menyenangkan ya?" tanya Bu Diyah saat Sarah sudah sampai di panti asuhan dan langsung menemui Bu Diyah untuk memberi salam.
Sarah langsung tersadar oleh pertanyaan itu. "Nggak kok, Bu." Sarah tersenyum tipis.
"Kamu nggak biasanya jadi ngelamun gini. Trus tatapan mata kamu kayak beda dari biasanya, kelihatan kayak lagi seneng."
Sarah jadi salah tingkah. "Emangnya tadi Sarah ngelamun ya Bu?"
Bu Diyah mengangguk. "Ada apa? Cerita dong sama Ibu."
Sarah terdiam. Dia merasa aneh sendiri kalau sampai menceritakan apa yang dialaminya bersama Endra beberapa saat lalu. Tentang semua perkataan Endra yang membuat hatinya terasa nyaman. Sarah merasa, itu terlalu konyol jika diceritakan.
"Pasti gara-gara Endra ya?" tebak Bu Diyah akhirnya yang melihat Sarah tak juga bersedia membuka mulut.
Sarah sedikit gelagapan. Dia tidak menyangka kalau Bu Diyah akan menebaknya dengan tepat seperti itu.
Mendapat reaksi lucu dari Sarah, Bu Diyah pun jadi mengulum senyum. "Kamu tau, Sarah. Anak-anak di sini ... mereka sangat menyukai Endra loh."
Sarah mengernyit tidak percaya. Rasanya itu hampir mustahil. Apalagi Endra adalah laki-laki dewasa yang notabene dilarang masuk ke dalam panti asuhan. Seharusnya anak-anak itu merasa takut dengan keberadaan Endra bukan?
"Endra sangat mudah sekali mengambil hati anak-anak. Bahkan para pengasuh di sini pun dibuat keheranan dengan sikap anak-anak yang langsung membiarkan Endra bermain bersama mereka," Bu Diyah tersenyum mengingat soal itu. "Kamu tau, Sarah. Anak-anak itu sebaik-baiknya penilai sifat manusia loh. Kalau menurut mereka manusia itu baik, pada kenyataannya dia pasti orang yang baik. Jadi Ibu sangat bersyukur orang sebaik Endra bisa menjadi pendamping hidup kamu." Bu Diyah mengakhirinya dengan senyuman lembut.
Sarah tidak bisa berkata-kata mendengar ucapan Bu Diyah yang rupanya sangat berpihak pada Endra.
"Sarah," panggil Bu Diyah sembari menyentuh tangan anak asuhnya itu dengan penuh kelembutan. "Kalau kamu sudah bisa merasakan kebaikan Endra, seharusnya tidak sulit untuk kamu mengucap syukur. Karena Tuhan sudah mengirimkan orang sebaik Endra untuk mengganti semua penderitaan kamu selama ini. Dan nyatanya, orang baik itu juga sudah menjadi suami kamu."
***
Endra baru saja mendapat balasan pesan dari Sarah yang mengabarkan kalau Sarah akan pulang sebentar lagi.
Pukul 08.57 PM. Sejak Sarah pergi beberapa jam lalu, Endra hanya dibuat bolak balik saja tidak tenang. Dia terus saja mengirimi Sarah pesan. Dan meskipun tidak ada yang dibalasnya, Endra tetap tidak berhenti mengirimi Sarah pesan. Hingga akhirnya beberapa saat lalu, Sarah pun bersedia membalas pesannya.
'Gue lagi dalam perjalanan pulang, dan berhenti mengirimi gue pesan. Berisik tau!'
Endra langsung merasa lega saat Sarah bersedia membalas. Dia bergegas menuju teras menunggu Sarah kembali. Sebelumnya, Endra bahkan berusaha menonton acara televisi komedi, tapi sama sekali tidak bisa membantunya tertawa atau sekadar mengalihkan perhatiannya agar tidak melulu teringat soal Sarah.
Akhirnya, setelah cukup lama menunggu, mobil Sarah pun mulai terlihat memasuki halaman rumahnya. Endra sudah memasang ekspresi semringah melihat kedatangan Sarah.
Sementara Sarah sendiri yang melihat Endra sudah menunggunya di teras kembali diingatkan oleh kata-kata Bu Diyah. "Karena Tuhan sudah mengirimkan orang sebaik Endra untuk mengganti semua penderitaan kamu selama ini. Dan nyatanya, orang baik itu juga sudah menjadi suami kamu."
Meski mobil Sarah belum sepenuhnya berhenti tapi kali ini Sarah tersenyum melihat raut wajah Endra yang tampak antusias menunggu kepulangannya.
Baiklah, Sarah akan mencoba untuk mensyukurinya seperti yang Bu Diyah katakan.
"Gimana kabar anak-anak?" sapa Endra begitu Sarah keluar dari dalam mobil.
Sarah sempat melirik sebentar kemudian melewati Endra untuk masuk ke dalam rumahnya, sembari menjawab, "Baik."
Endra tersenyum senang mendengarnya. Dia jadi mengikuti langkah kaki Sarah untuk ikut masuk ke dalam rumah. "Lo juga dapet salam dari Bu Diyah," kata Sarah lagi dengan suara yang terdengar cuek.
Tapi bagi Endra justru terdengar indah. "Oya, emangnya Bu Diyah cerita apa aja tentang aku?"
Sarah tertawa mengejek. "Nggak penting banget sih nyeritain soal lo."
"Dih curang! Padahal kalau sama aku Bu Diyah suka nyeritain banyak hal soal kamu loh, kenapa ke kamu enggak sih." Endra terdengar seperti sedang merajuk. Yang membuat Sarah diam-diam tersenyum tipis.
Sekarang, keduanya sudah berada di dalam kamar. Sarah akhirnya berhenti melangkah dan menatap Endra yang sejak tadi memang mengikutinya.
"Jadi, apa mau lo sekarang?" tanya Sarah sembari bersedekap.
Endra mengernyit bingung. Dia sempat melirik ke jam digital yang tersedia di samping ranjang. "Udah malem kan sekarang, jadi ya tidur dong," jawab Endra ringan.
"Lo mau tidur kayak kemarin? Sambil duduk gitu?" tanya Sarah lagi.
Endra kali ini melirik ke arah ranjang milik Sarah. "Kasurnya muat kok buat diisi dua orang. Kalau aku tidur kayak kemarin yang ada malah badanku jadi pegel semua."
"Lo ... mau tidur satu ranjang sama gue?" Sarah menatap tajam mata Endra dengan ekspresi mengintimidasi.
Endra sampai harus mundur satu langkah ke belakang saat Sarah menatapnya penuh sorot tajam seperti itu. Dia jadi menyadari maksud tersembunyi ucapan Sarah tadi.
"Tenang aja kok, kalau kamu khawatir aku bakal macem-macem, kamu boleh gebukin aku sesuka kamu. Karena jujur aku nggak punya keinginan buat ngelakuin hal macem-macem sama kamu."
Sarah mengernyit kaget mendengar itu.
"Maksud aku ... bukan begitu," Endra tertawa, menyadari Sarah menatapnya aneh. "Aku cuma nggak mau ngelakuin sesuatu tanpa seijin orangnya. Jadi ... selagi aku tau kamu nggak bakal ngijinin aku buat nyentuh kamu, aku juga nggak bakal nyentuh kamu kok."
"Kalau nanti lo ketahuan macem-macem sama gue, gue janji gue nggak bakal segan-segan buat kasih pelajaran sama lo," ancam Sarah serius dengan mata melotot tajam.
Endra tersenyum. "Oke, siap, aku nggak bakal macem-macem kok."
Sarah akhirnya membuang napas pelan. "Ya udah, gue mau bersihin diri dulu sebelum tidur," kata Sarah kemudian lantas melangkah menuju kamar mandi.
Endra mengangguk menyilahkan. Dia mulai berjalan menuju ranjang dan membaginya menjadi dua tempat untuknya tidur dan untuk Sarah tidur.