Di waktu yang sama, Raymond tengah menunggu di lokasi bimbel. Sambil menunggu jam masuk, dia mengerjakan tugas sekolahnya. Tampak dia berfikir keras mengerjakan tugas bahasa inggris.
"Uhm, kalau kalimat ini mau di buat masa lampau, gimana caranya ya? Aduh, payah nih. Mana udah mau ujian lagi, tapi gue masih bontot juga," katanya dalam hati sambil memikirkan tugas sekolahnya itu.
Raymond beberapa kali membuka kamus dan buku pelajarannya. Ketika tengah mengerjakan tugas itu, dia kembali teringat Chika. "Andai Chika disini …."
Namun, secepat kilat dia berusaha sadar. "Ah, gue gak boleh larut. Toh Chika bahagia dengan dia." Kembali dia berusaha mengerjakan soal itu. Dan setelah agak lama, rupanya dia tak sanggup. Dilihatnya jam masuk kelas masih lama.
"Yah, masih lama. Mending gue tidur aja dulu," katanya dalam hati sambil menguap.
Dia langsung mengemasi buku pelajarannya dan masuk ke dalam kelas, lalu bersiap tidur. Baru sebentar dia tidur, Uji membangunkannya.
"Bro, kita ngopi yuk," katanya sambil mencoba membangunkan Raymond.
Raymond yang baru saja memejamkan matanya akhirnya mencoba membukanya. Dipandanginya Uji. Dalam hati, dia ingin menolaknya, namun setelah dia fikir, mungkin lebih baik dia mengikutinya. Raymond akhirnya bangkit dari tidurnya. Dia duduk sejenak sambil mengucek matanya.
"Oke, gue cuci muka dulu ya," katanya sambil beranjak dari duduknya.
"Oke, gue tunggu," balas Uji.
Uji menunggunya di depan. Tak lama kemudian, Raymond menemuinya. Mereka langsung berjalan ke warung di sebelah ruang bimbel. Setelah memesan kopi, Uji membuka percakapan.
"Ray, akhir-akhir ini gue lihat lo jadi lebih rajin. Setelah lulus dari SMA, lo mau kuliah di mana?" tanya Uji.
Raymond berfikir sejenak. "Gue belum tahu, Ji. Juju raja, lo kan tahu reputasi sekolah gue gimana. Mau kuliah di Universitas Negeri juga entah bisa atau gak."
Uji manggut-manggut. Percakapan mereka terputus ketika pelayan mengantarkan kopi pesanan mereka berdua. Setelah pelayan pergi, Raymond balik bertanya, "Nah kalau lo sendiri gimana?"
"Uhm, gue sih maunya kuliah di Universitas Indonesia. Tapi, gue juga gak yakin apabakal tercapai atau gak. Tapi, kalau gagal mungkin gue merantau ke Universitas Brawijaya Malang aja," kata Uji sambil menyeruput kopinya.
Raymond melakukan hal yang sama. Dia ambil sebatang rokok dan menyalakannya. Dia hisap rokok itu dalam-dalam san menghembuskannya.
"Yah, semoga lo sukses, Ji," kata Raymond sambil kembali menyeruput kopinya.
"Thanks. Lo juga jangan nyerah, Ray." Balasnya.
Mereka kembali berbincang-bincang sambil menikmati kopinya. Sesekali, canda tawa muncul dari obrolan mereka. Waktu terus berjalan, dan tanpa terasa hari telah sore. Mereka segera kembali ke tempat bimbel dan bersiap untuk belajar.
Waktu terus berjalan, dan tanpa terasa hari telah petang. Sebelum pulang, Pak Imam memberikan sepatah kata perpisahan sebelum pulang.
"Anak-anak, semoga kalian berhasil menghadapi ujian akhir semester. Walau ini hari terakhir kalian belajar disini, saya siap membantu kalian yang kesulitan menghadapi ujian. Dan, ini nomor saya jika ada pertanyan," kata Pak Imam sambil mencatatkan nomor handphonenya.
Semua peserta mencatat nomor handphone itu, tak terkecuali Raymond. Pak Imam kembali melanjutkan perkataanya, "Oke, ini saatnya kalian pulang. Jika ada yang salah dari perkataan saya, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya."
Setelah itu, kelas pun bubar. Para siswa segera berhamburan keluar. Raymond sempat berpamitan pada mentor yang telah mengajarnya selama dua tahun.
"Pak, terima kasih sudah sabar mengajari saya," katanya sambil berjabat tangan.
Pak Imam tersenyum. "Iya, Ray. Semoga kamu berhasil."
Setelah berpamitan, Raymond langsung pergi ke parkiran motor. Di sana dia bertemu Windy yang tengah menunggu Uji.
"Ray, semoga lo berhasil ya," kata Windy sebelum berpisah.
"Oh iya, Win. Lo juga," balas Raymond.
Raymond hendak beranjak., namun Windy memegangi tangannya. Raymond terkejut memandangnya.
"Win, ada apa?" tanyanya keheranan.
Windy diam sejenak. Dia menatap Raymond dengan wajah serius.
"Ray, lo gak bener-bener jauhin Chika kan?" katanya dengan wajah serius.
Raymond mengernyitkan dahinya. "Win, kok lo bicarain itu? Emang, apa yang salah kalau gue begini?"
Windy terdiam. Dia menghela nafasnya. "Ray, gue sebenarnya sedih ngeliat Chika yang sering ngelamun. Dia memang punya rasa gengsi dan ego yang tinggi, tapi gue lihat dia masih mengharap kehadiran lo di dekatnya.
Raymond tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Dengan tegas, dia berkata, "Maaf, Win. Gue gak bisa."
Raymond terdiam. Wajahnya tampak sedih. "Lo tahu waktu itu kan bagaimana dia marah? Lo ingat kan waktu di depan gerbang sekolahnya dia bilang apa. Jujur, Win. Gue ngerasa sakit hati. Gue ngerasa dianggap sampah. Padahal, maksud gue baik. Gue hanya gak mau pertemanan gue harus berakhir tanpa gue tahu apa salah gue sebenarnya."
Windy mengangguk. "Ray, Chika itu gak suka sama perokok. Dia begitu karena dia sayang sama kamu."
Raymond tersenyum sinis. "Owh, begitu. Oke, inilah gue. Gue memang perokok. Tapi lo harus tahu, walau gue perokok, gue gak pernah malak orang. Gue beli rokok juga dari hasil keringat gue. Kalau dia keberatan berteman am ague karena itu, okelah. Gue ngerti. Toh sekolah gue juga begini."
Windy hanya diam mendengar ucapan Raymond. Sejenak, Raymond diam. Dia tumpahkan kekecewaannya pada Chika.
"Win, coba deh kalau Chika gak terlalu gengsi dan egois, gue gak bakal ngejauhin dia. Emang, gue ini anak berandalan. Anak band. Tapi selama ini gue gak pernah ngeganggu dia. Gue udah turuin semua maunya dia, tapi apa? Hanya karena ini dia semarah itu?!" lanjutnya dengan nada tinggi.
Wajahnya tampak kecewa. Windy hanya diam mendengarkan ucapan Raymond.
"Win, maaf kalau gue agak marah. lo tetap teman gue," kata Raymond.
"Iya, Ray. Gak apa-apa. Gue juga minta maaf karena ngebicarain ini," balasnya.
Tak lama kemudian, Uji muncul. Raymond langsung pamit untuk pulang. Dia pacu motornya meninggalkan tempat itu.
Di waktu yang sama, Chika berusaha menikmati kebersamaannya dengan Dandy. Setelah selesai bimbel, mereka mampir ke sebuah café.
"Chika, sebelum pisah sebenarnya ada yang mau gue omongin ke lo," kata Dandy.
"Oke, apa yang mau lo bicarain, Dan?" tanya Chika sambil menatap wajah Dandy.
Dandy menghela nafasnya. Wajahnya begitu serius. "Chik, selama jadi teman lo, gue ngerasa begitu enjoy. Dan jujur, gue begitu senang kita bisa berteman. Selama beberapa bulan kedekatan kita, gue ngerasa nyaman, Chik."
Sambil meminum minuman di depannya, Chika medengarkan perkataan Dandy. Dandy kembali melanjutkan perkataannya, "Chika, gue mencintai lo. Gue sayang sama lo."
Deg! Chika tersentak. Matanya terbelalak seolah tak percaya dengan apa yang dia dengar. Karena terkejut, dia tersedak. Sejenak, wajahnya memerah menahan sakit di tenggorokannya. Chika langsung batuk-batuk.
"Chik, lo gak kenapa-kenapa kan?" tanya Dandy dengan wajah khawatir.
Chika yang masih tersedak hanya memberi isyarat bahwa dia baik-baik saja. Tak lama kemudian, dia sudah kembali lega.
"Uhm, maaf, Dan. Gue kesedak," kata Chika yang baru saja lega.
"Tapi lo baik-baik aja kan?" tanyanya dengan wajah khawatir.
Chika hanya tersenyum dan mengangguk. Dandy kembali berkata, "Chika, gue sayang sama lo. Gimana dengan lo?"
Chika tertegun. Dia memandang Dandy dengan wajah keheranan. "Dandy, lo serius cinta sama gue?
Dandy hanya tersenyum manis dan menganggukkan kepalanya. "Chik, gue serius suka sama lo. Gue sayang sama lo."
Chika begitu gugup. Dalam hatinya, dia masih mengharap pada Raymond.
"Waduh! Gue bingung kali ini. Jujur, perasaan gue ke dia masih sama, tapi gue bingung bagaimana cara menolak Dandy? Dia sudah baik dan buat gue nyaman, tapi di hati terdalamku aku masih mencintai Raymond. Apa yang harus gue lakuin?"
Chika hanya diam. Dia seolah tak sanggup menjawab pertanyaan Dandy. Rupanya, Dandy mengerti kegalauan yang dirasakan Chika. Dengan lembut, dia kembali berkata, "Chika, kalau masih belum siap lo gak usah jawab sekarang. Gue akan beri lo waktu."
"Maaf, Dandy. Mungkin gue gak sebaik yang lo pikir," kata Chika dengan wajah sedih.
Dengan lembut, Dandy memegang tangannya, dan berkata, "Chika, tak ada yang sempurna di dunia ini. Apapun adanya lo, gue tetap sayang."
"T—Tapi, Dan …." Kata Chika dengan nada gugup.
Dandy tersenyum. Dia langsung berusaha menenangkan Chika.
"Chika, sudah. Lo gak usah terlalu pikirin itu dulu. Daripada gabut mulu," kata Dandy berusaha menenangkan Chika.
Dilihatnya hari makin malam. Dandy langsung mengajak Chika pulang. Setelah menghabiskan minumannya, dia membayar minuman itu dan langsung mengantar Chika pulang.
Selama dalam perjalanan, Chika hanya diam. Dia merasa bersalah pada Dandy. Dan, tak lama kemudian mereka sampai di rumah Chika. Chika langsung turun dari motor.
"Chika, semoga lo sukses menghadapi UAS nanti," katanya dengan senyum manis.
Chika berusaha tersenyum. "Iya, lo juga moga sukses. Thanks udah beri gue tumpangan."
Dandy hannya tersenyum dan mengangguk, lalu dia pamit untuk pulang. Setelah Dandy pergi, Chika segera masuk ke kamarnya. Di dalam kamarnya, dia langsung berbaring. Wajahnya begitu sedih sekaligus bingung.
"Dandy, lo begitu baik dan pengertian. Mungkin lo terlalu baik buat gue, Dan. Jujur, gue gak bisa terima cinta lo karena gue masih berharap pada Raymond," katanya dalam hati.
Chika menghela nafasnya. Dia ambil handphonenya, dan dia buka pesan whats appnya. Dia melihat pesan yang dia kirim ke Raymond.
"Ray, gue masih sayang sama lo. Please, bales pesan gue, Ray," katanya dalam hati.
Agak lama dia pandangi hpnya. Setelah sekian lama tak ada balasan, dia taruh hp itu.
"Mending gue belajar aja deh," katanya sambil beranjak ke meja belajarnya, dan mulai membuka buku pelajarannya.