webnovel

BTS; About You

Banyak hal yang ingin ku kenang bersama mereka dalam sebuah cerita, cerita yang menyampaikan kepada mereka bahwa aku mencintainya.

Bluebusy · Prominente
Zu wenig Bewertungen
4 Chs

Enough (End)

"Kita tau tak sanggup, tapi kita tetap memaksa."

.

.

Hari terus berganti, banyak baik dan buruk yang tak terkira oleh akal. Ada bulan baik, juga bulan pilu. Semuanya mengalir seolah kita tau, bahwa mereka ada, tanpa pernah diduga.

Semua berjalan, seolah menyuruh kita untuk tidak berhenti. Karena itu adalah sebuah keharusan, karena hidup harus terus berjalan. Terlepas dari baik buruknya hari.

"Kamu masih akan tetap disana, Jim?" ucapku pelan.

Aku begitu merindukanya, senyum yang dulu tak pernah lepas ku tatap. Tawa renyah yang mengisi hampanya hariku dengannya.

"Aku masih di korea sampai salju tiba," Balasnya.

Aku tercekat, yang tadinya duduk sambil menikmati kopi hangat, urung meminumnya kembali.

Batinku terkoyak, mulutku bungkam. Apa yang harus aku katakan untuk mengusir gundah?

Winter saja masih lama, aku bahkan tak tau harus menyelesaikan Juni dengan apa selain bekerja.

"Pekerjaanmu baik-baik saja, Ann?"

Pertanyaannya membuatku sadar dengan sekitar, bahwa semua terlihat baik, tapi tidak denganku.

"Semuanya terkendali."

Ya, aku bohong. Kenyataannya, diriku tak bisa mengendalikan rindu yang sudah ku tumpuk dari Desember tahun lalu.

"Syukurlah. Jangan terlalu banyak mengonsumsi kopi."

Kamu benar, Jim. Tapi tanpanya, aku benar-benar akan gila.

Karena aku hanya punya kamu yang jauh di sana, dan kafein adalah pembalasan dendam yang bukan apa-apa.

"Kamu tau aku adalah seorang maniak kopi, Jim. Setelah satu cup habis aku akan l mengambil kembali, walaupun baru ku habiskan 10 menit lalu."

"Aku tahu, kamu tak pernah lepas darinya. Berkat dia, aku bertemu denganmu. Walaupun harus menodai bajuku terlebih dahulu."

Dia benar, pertemuan yang tanpa sengaja membuatku kesal.

"Aku menghabiskan banyak uang untuk secangkir kopi, dan memang pertemuan itu membuatku semakin menyayangi dia."

"Hah...Annette. Jadi kau lebih menyayangi kopimu?"

Aku tak yakin dengan nadanya, aku rasa ia hanya sedang memprotes atas sikapku yang ke kanak-kanakkan.

"Hmm. Kamu tau jawabannya, jangan bertanya jika itu hanya akan membuatmu kesal, atau mungkin cemburu."

Dia tertawa di seberang sana, tawa yang kuyakin diiringi dengan matanya yang semakin menyipit, juga senyum lebar yang menunjukkan deretan gigi rapih miliknya. Manis, sangat manis.

"Hahaha, kamu bercanda. Untuk apa aku cemburu dengan kopi."

"Kamu cemburu dengan apapun." Tawanya terhenti, hening tergantikan di pendengaranku.

Ia tak mengucap satu katapun untuk mengusir hening yang kami ciptakan.

"Kamu benar-benar takkan kembali menemuiku?"

Ada suara hembusan nafas yang menurutku cukup berat, memang tak seharusnya aku bertanya dengan nada seperti memohonnya kembali ke sediakala.

Aku lupa bahwa Jimin dan aku sudah bukan mahasiswa yang hanya berkutat pada tugas juga teman-temannya, tanggung jawab kami lebih besar sekarang.

"Maafkan aku," ucapnya pelan.

Aku tersenyum menanggapi ucapannya, suara yang selalu membuatku jatuh cinta. Suara yang selalu membuatku nyaman di manapun aku berada.

"Tak apa, kita bisa bertemu jika memang ada waktu luang."

Aku benar-benar lupa, bahwa hubungan kami hanya mengandalkan kepercayaan.

Sejak bertemu dengannya di Seoul, aku rasa aku akan sangat jatuh hati padanya.

Sepertinya sekarang pun begitu, walaupun aku tau, dirinya tak pernah bisa aku jangkau dengan mudah.

"Kau tau, aku selalu membuatmu merasa bersalah atas ucapanku."

Aku menundukkan pandanganku yang mulai berbayang, ada rasa bersalah juga rindu yang menggelitik.

Membuat dadaku sesak dalam sekejap, tapi apa yang bisa aku lakukan selain sabar?

Aku juga tak mau ia menanggung beban atas pedihnya perasaanku padanya, karena pasti ia juga menahan semua demi kebaikanku.

"Aku tau itu," jawabnya.

Aku selalu terbebani karena ia sangat jauh, tapi semuanya seakan ringan karena kepercayaanku padanya.

"Tapi kau tak pernah mengeluh."

Ia tertawa kecil, "Untuk apa mengeluh?"

"Ann, bagiku kejujuranmu adalah hal yang cukup."

Begitulah kami kembali menikmati waktu luang masing-masing, bercengkrama sederhana dalam telpon yang selalu ku bawa.

Bagaimana jika hubungan kami, ponsel pintar ini belum ada?

Mungkin aku akan langsung menyusulnya ke negeri sana, membuatnya terkejut atau mungkin kecewa. Entahlah.

Aku tak mau berpikir yang tidak ada, setidaknya kami baik-baik saja.

Ya, begitu sudah cukup.

"Jangan biarkan rindumu menumpuk, ungkapkan, meski ia tak pernah tau bahwa ia dirindukan. Dengan sangat."

Bluebusycreators' thoughts