*****
Warna jingga mulai memenuhi langit tapi Danica masih belum beranjak dari tempatnya saat ini. Menikmati hembusan angin sore, menatap bagaimana setiap orang dapat tertawa bebas tanpa beban membuat dadanya seakan sesak.
Lama Danica terdiam menatap beberapa pemuda bermain basket dengan sesekali bercanda hingga suara ponsel membuyarkan lamunannya, tak lama Danica langsung berdecak kesal kala melihat nama yang tertera.
"Hallo Paman."
"Kau dimana?"
"Aku masih di sekolah Paman."
"Setelah itu langsung pulang jangan keluyuran terus, belajarlah untuk ujian akhirmu."
"Iya Paman, sebentar lagi aku akan pulang."
"Dan jangan lupa temani adikmu."
"Iya."
Danica langsung mematikan sambungannya sembari menghembuskan nafas lelah lalu memasukkan ponselnya kedalam saku dan langsung berjalan masuk kedalam sekolah menuju ke ruang latihan.
Danica hanya sedang tidak ingin di ganggu, ia benar benar butuh waktu untuk sendiri.
****
"Waktu kalian hanya dua minggu jadi gunakan semuanya dengan baik, aku tahu kalian bisa melakukannya." Ervin dan Bara hanya mengangguk paham sedangkan pelatih Han hanya tersenyum hangat.
"Dan jangan lupa beritahu Danica, anak itu harus ikut andil bersama Dalton yang akan membantu kalian selama pembuatan video."
"Baik Pak, serahkan pada kami." Pelatih Han tersenyum bangga pada anak didiknya itu, lalu ia pamit undur diri untuk segera pulang kerumah sedangkan Bara dan Ervin sempat terdiam beberapa saat.
"Apa kau pikir Danica mau melakukannya Vin?"
"Itu pasti, inikan untuk lomba antar Provinsi ku pikir terlalu naif jika Danica menolaknya."
Ervin benar tidak mungkin Danica akan menolak dengan mentah mentah sedangkan Clubnya sudah di percaya oleh pihak sekolah. Pihak sekolah memang mendaftarkan beberapa Club di sekolah untuk ikut lomba antar provinsi.
"Aku yang akan beritahu Danica nanti." Ucapan Bara sukses membuat Ervin menatap sahabatnya itu bingung.
"Kenapa harus kau? Aku pikir rumahku lebih dekat dengan Danica." Ervin menatap selidik pada sahabatnya itu.
"Aku hanya sedang ada perlu jadi sekalian saja, sudahlah ayo aku masih ada urusan lain." Bara langsung bangkit meninggalkan Ervin yang masih berdecak sebal pada sahabatnya itu.
*****
Waktu berlalu dengan cepat, bintang bintang pun sudah bersinar dengan terang tapi Danica seakan enggan untuk kembali ke rumah.
Tubuhnya masih bergerak bebas mengikuti ketukan dan ritme di setiap nadanya, mengalun dengan indah namun terasa begitu berat akan beban.
Danica menyalurkan semua emosinya pada setiap gerakan yang dia ciptakan, matanya masih terpejam, tubuhnya masih mengalun dengan indah namun hatinya memberontak akan sakit. Hingga akhirnya ia menyerah akan setiap nada dan tubuh itu meluruh perlahan.
Danica terduduk lalu matanya terbuka perlahan, menatap lurus kearah cermin. Bibir tipis itu tersenyum smirk ketika melihat betapa menyedihkannya tatapan yang ia tunjukkan pada cermin itu.
"Kau memang tidak berguna Nic."
*****
"Bara…."
Dina langsung tersenyum senang dan langsung berhambur kepelukan Bara sedangkan sang empu hanya tersenyum senang.
"Ada apa sayang?"
Bara melepas pelukan Dina dan menatapnya dengan lembut sedangkan Ervin hanya menggelengkan kepalanya menatap sahabatnya dengan kekasihnya itu.
"Aku rindu."
"Kekasih ku yang manis ini ternyata rindu, sekarang kan aku sudah disini jadi sudah yah. Ah dan besok setelah pulang sekolah aku akan menjemputmu."
"Benarkah?"
Dina langsung menatap Bara dengan berbinar sedangkan Bara hanya menganggukkan kepalanya tapi Ervin justru terdiam, ada sedikit rasa marah pada dirinya. Ia hanya merasa temannya itu sedang tidak beres, ada perasaan aneh yang hinggap saat instingnya mengatakan Bara sedang butuh pelampiasan.
"Danica…." Lirih Ervin sembari bergerak gelisah ketika melihat sosok yang tak asing berdiri tak jauh darinya dan Bara begitu juga Dina.
"Jangan…."
Ucapan Ervin membuat Dina dan Bara mengalihkan atensinya padanya dan menatap dengan bingung.
"Apanya yang jangan?"
Ervin langsung menatap Bara dengan terkejut saat tersadar dari lamunannya, ia langsung tersenyum dan menggelengkan kepalanya menatap sepasang kekasih itu.
"Tidak ada, ah aku harus pergi sebentar kau bisa masuk kedalam rumah Dina dulu nanti aku akan menjemputmu."
Ervin langsung berlari mengejar Danica tapi sepertinya langkahnya kalah dengan langkah Danica yang melebar. Sosok itu tak terlihat, masih teringat dengan jelas sosok yang berdiri tak jauh itu tampak memprihatinkan.
Ervin tahu jika Danica sedang tidak baik baik saja, tatapan penuh luka itu, bibir pucat itu, dan wajah penuh peluh menandakan Danica sedang tidak baik.
"Kau kemana Ni…"
*****
Malam semakin larut tapi Danica masih enggan untuk melangkahkan kakinya menuju rumah, ia memutar balik arah dan memilih untuk ke gedung besar itu.
Tempat latihan yang sangat ia sayangi, ia melangkah memasuki gedung itu perlahan. Setelah ia meletakkan tasnya di loker dan mengganti bajunya semua mata menatap ia tak percaya.
"Danica?"
Danica hanya acuh tak acuh dengan tatapan itu, ia pun menghiraukan Rehal yang mencoba mendekatinya.
"Berhenti mengacau Hal, aku sedang ingin sendiri."
"Kau ini kenapa? Ini sudah malam, tidak biasanya kau kesini malam malam. Bukankah hari ini kau tidak ada latihan?" Danica langsung mendengus kesal lalu ia menatap Rehal dengan tajam.
"Aku sedang ingin latihan jadi tinggalkan aku sendiri, aku akan bersama pelatih Jim."
Rehal menatap Danica dengan bingung, itu terlihat wajar saat mengingat jika Danica tidak pernah datang latihan semalam ini. Danica latihan begitu keras bahkan hanya untuk bernafas pun rasanya sangat sulit tapi ia tak ingin berhenti, pelatih Jim sendiri sudah mencoba menghentikan Danica tapi tidak membuahkan hasil.
"Danica masih latihan?"
Pelatiha Jim hanya menganggukkan kepalanya dan menatap Rehal dengan penuh harap.
"Aku akan menghentikannya, pelatih tak perlu khawatir."
"Aku hanya tak tahu bagaimana untuk menghentikannya supaya tak menyiksa dirinya, Danica sepertinya sedang ada masalah."
Rehal mengangguk paham lalu mulai melangkah mendekati Danica namun saat sudah sampai didekatnya ia langsung menyerang Rehal yang ingin menghentikannya, terlibat perkelahian kecil biasa diantara mereka hingga akhirnya Danica terjatuh dengan nafas yang memberat.
"Kau baik baik saja?"
Rehal masih menatap Danica yang tampak menyedihkan, ia masih mengatur nafasnya sembari menutup matanya bahkan peluh sudah membanjiri wajahnya.
"Aku akan mengantarmu pulang."
Rehal langsung melangkah pergi untuk mengganti bajunya dan akan membawa Danica pulang.
Danica hanya diam, ia masih tertidur terlentang dengan nafas yang sedikit tersenggal. Dadanya berdenyut dan berdetak begitu sakit, Danica hanya tak tahu harus bersikap seperti apa pada takdir yang seakan terus menyakitinya.
"Aku hanya ingin istirahat sebentar saja tapi kenapa semakin sakit."
Danica hanya bisa mengatakannya dalam hati tanpa bisa mengungkap dari bibirnya, ia hanya tidak ingin orang lain tahu betapa menyedihkan hidupnya.
Tanpa disadari pun setetes air mata jatuh dari pelupuk matanya yang masih tertutup rapat itu. Danica hanya terlalu lelah untuk menghadapi semuanya sendirian.
"Kau terlalu memaksakan dirimu sendiri untuk jatuh dalam semua rasa sakit itu Nic."
*****