"Yang... Makasih ya.. Kamu... Udah mau masuk dalam hidupku. Seumur hidupku, masa-masa seminggu sama Kamu, adalah moment terindah buat Aku.", Aku menaruh tanganku di paha Rangga dan kemudian tangan kirinya, kembali memegang tanganku.
"Aku akan buat sisa hidupmu menjadi hari-hari bahagia untuk Kamu, Sayang.. Setiap harinya! Kamu jangan khawatir.. Suamimu ini, paling bisa, diandalkan!"
"Hemmmmm... Gombal!",
"Oh, jadi ga percaya?"
"Hihi.. Gimana Aku mau percaya.. Tadi aja Aku lihat Suami Aku nangis, gimana bisa bikin Aku bahagia, kalau Suamiku nangis tiap hari, hehe..."
"Mana ada Aku nangis. Kelilipan, sayang.. Kelilipan... Banyak debu..."
"Tuh.. Tuh.. Kan.. Suami Aku bodohnya kambuh.. Mana ada debu, kan Kita naik mobil, yang.. Bukan supra. Hehe..!"
"Kamu tuh ya, sayang.. Ngeledekin Aku terus.. Awas nanti ada hukuman buat Kamu!!", Rangga terlihat lucu kalau sedang seperti ini..
"Nih, Aku kasih hukuman buat Suamiku yang tukang ngibul!!", Aku mendaratkan ciuman di pipi kanan Rangga.. "Aku sayaaaaang banget sama Kamu, yang!!", Sambil membisikkan kata-kata itu ke telinganya.
Dan..
Hening..
Tik Tuk Tik Tuk Tik Tuk
"Yang?"
"Eh..ehmmm...."
"Kamu jangan bengong kalau nyetir.. Kita kan di puncak lho.. Belok belok jalannya.. Hehe!!", Aku menggodanya.
"Ya.. Abisan, Kamu sih..."
"Aku apa? Hihi..."
"Awas Kamu nanti, ya!!! Tunggu Aku berenti.. Jangan harap dikasih ampun!", Rangga mulai mencair lagi dan tak larut dengan suasana sedihnya.
Aku senang akhirnya Rangga kembali tersenyum dan tertawa.. Sepanjang jalan, Kami terus bercanda, bercerita tentang masa depan, dan sangat menikmati waktu berdua Kami.
Sampai akhirnya, Rangga berhenti di warung pinggir jalan dekat puncak pass. Warung itu ada dipinggir jurang, kalau datang siang-siang, pasti pemandangannya sangat indah. Tapi, karena masih sedikit gelap, jadi belum ada yang bisa dilihat kecuali bintang di langit.
"Mau turun atau minum disini?"
"Hmm.. Di mobil aja yang.. Biar ga malu-maluin, hihi.. ", Aku tersenyum pada Rangga.
"Malu-maluin gimana, sayang?", Rangga tampak bingung.
"Ih, Kamu nih, yang.. Liat ni, kepalaku botak, mana ada cantik-cantiknya.. Belum lagi Aku ga pake bra atau underwear.. Hufffff! Gimana ga malu-maluin!!", Aku menjelaskan sedikit jengkel. Masa kaya gitu aja mesti dijelasin, sih..
"Tapi.. Aku ga pernah malu sama Kamu, sayang.. Aku bangga Kamu jadi Istriku!", Wajah Rangga terlihat lebih serius dan bodoh.. Hufff...
"Duuuh.. Kamu ga peka perasaan cewek, ah yang!! Udah sana cepet beliin sekoteng...", Aku mendorong Rangga agar cepet keluar dari mobil.
Sejujurnya, kepalaku sudah sangat sakit ditempat operasiku dan sangat lelah. Tapi, Aku berusaha untuk menikmati hari ini.. Aku juga ingin merayakan hari ini dengan menikmatinya bersama Rangga. Hari dimana Aku terbebas dari semua rasa dendam yang mengikatku selama sepuluh tahun.
Rangga kembali membawa dua mangkuk sekoteng. Membuka pintu, dan memberiku satu mangkuk. Untuknya satu mangkuk.
"Makasih, yang..", Senyumku udah merekah waktu Rangga memberikan sekotengnya.
"Makannya pelan-pelan, ya sayang. Masih panas!"
Aku ga menjawab hanya mengangguk. Aku suka makanan panas, seperti Ramen atau steamboat. Jadi, panas sekoteng untukku sudah biasa.
Kurang dari 3 menit, Aku sudah menghabiskan bagianku.
"Yang, Aku mau lagi..", sambil memberikan mangkuk kosongku.
Rangga menaruh mangkuknya, lalu mengambil mangkuk ditanganku, membuka pintu, kembali ke kedai dan kembali ke mobil dengan semangkuk sekoteng masih hangat.
"Yeaaaay.... Makasiiih, yang!!", Aku tersenyum, segera mengambil mangkuknya, dan meminum sekotengku.
"Hmm.. Kenapa kamu liatin Aku yang?", Tanyaku ke Rangga yang belum menutup pintu mobilnya malahan menatapku seperti itu.
"Enggak, Kamu lucu, sayang.. Hehe!! Habiskan makannya!", Rangga sudah melabuhkan cubitannya di pipiku.
Dan.. Mangkuk kedua.. Juga sudah habis..
"Yang.. ", Panggilku ke Rangga
"Mau lagi?", Tanya Rangga sambil tersenyum yang langsung Aku jawab dengan anggukan dan senyum yang merekah lebar.
Rangga melangkah keluar mobil lagi, dan mengisi mangkokku.. Begitu seterusnya, dengan sangat sabar sampai lima kali balik. tak tada rasa keberatan dalam wajahnya dan Dia terlihat sangat bahagia.
"Yang.. Maafin Aku ya, Kamu jadi bolak balik, hehe.."
"Buat Istriku, apapun akan Aku lakukan, sayang.. Asal bisa bikin Kamu tersenyum.. "
"Mmm.. Kamu tahu ga sih, yang.. Sekarang.. Justru Aku bersyukur Kamu salah sangka dan mengira Aku PSK.. Kalau enggak.. Aku ga mungkin dapet suami sebaik dan seganteng Kamu!", Aku menatap Rangga dan memang itu yang Aku rasakan dalam hatiku. Kebahagiaan telah menemukannya. Bisa menjadi wanitanya, dan mendapatkan cinta dan perhatiannya..
"Kamu.. Jangan goda-goda Aku terus, dong sayang...", Rangga langsung mendekat dan melumat bibirku. Cukup lama Rangga menciumku, hingga bibirku menjadi panas dan basah, dan napas kami berdua terengah-engah..
"Hukuman buat Istriku yang udah ngegoda Suaminya!", Rangga membisikkan kata-katanya sambil mencubit hidungku..
"Iiih.. Siapa juga yang ngegodain Kamu, yang.. Aku serius, deh...!"
"Mulai lagi?", Rangga melirikku.
"Enggak.. Enggak.. Aku mau liat sunrise aja, hehe..", Rangga berjalan keluar dan membayar sekoteng, lalu Kami melanjutkan perjalanan ke puncak pas. Jam sudah menunjukkan pukul lima lewat empat puluh lima menit. Warna langit sudah berubah. Kami duduk dalam mobil dengan menghadap ke arah matahari terbit, dan Rangga membuka jendela mobil, sebagai sirkulasi udara, karena sudah mematikan AC mobil.
"Dulu, Kakek dan Nenek sering ngajak Aku olahraga jalan-jalan pagi dan pasti Kami melihat matahari terbit seperti ini.", Aku menceritakan sedikit masa-masa kecilku dulu pada Rangga.
"Kalau Kamu mau, Aku bisa temenin Kamu olahraga pagi sambil kita nikmatin indahnya matahari terbit seperti ini!", Rangga memegang tanganku.
"Beneran?", Aku sangat antusias! Karena selama ini Aku hanya tinggal di apartemen dan hanya menikmati matahari pagi dari balik jendela sehabis melakukan yoga.
"Iya sayang.. Setiap hari!"
"Aku mauuuu...", Jawabku sangat senang.
Yah, Aku sangat senang bisa mengisi hari-hari kedepanku dengan Rangga. Aku ga tahu, apa racun dalam tubuhku bisa keluar atau enggak, tapi.. Aku akan lakukan semua aktivitas bersamanya dan akan berusaha membuatnya tetap tersenyum. Itulah tujuan hidupku sekarang.. Membahagiakan suamiku.
"Sayang, yuk foto bareng!", Rangga mengambil handphonenya di saku celana.
"Aku ga mauuuu, yang.. Akunya jelek banget.. !!", Aku protes..
"Udah, siniiiii!"
Klik
"Haaah.. Coba liat!", Pintaku, memaksa Rangga menunjukkan fotonya. "Jeleeeeek yang.. Ulang ulang!!"
Klik
"Liat... Yang..", Pintaku lagi.. "Jeleeek ulaaang!!"
"Ini bagus, sayang.. Akunya udah ganteng!"
"Ga. Masa Akunya begitu.. Ulaaaang!"
Klik - Klik - Klik - Klik - Klik
Entah berapa kali Kami sudah mengambil foto dengan berbagai gaya.. Adu argumen, bercanda, dan menikmati waktu Kami berdua memilih foto. Seperti menikmati masa-masa pacaran, tapi sudah halal.. Satu lagi memori indah tentang Kami.. Yang nanti akan menjadi kenangan.. Sesuatu yang sederhana, kadang konyol, tapi memberikan kenangan tersendiri untuk suatu saat nanti. Aku tetap berdoa yang terbaik untuk hubungan Kami. Tapi, Aku akan tetap mempersiapkan seandainya takdir memaksa untuk yang terburuk.
Dreeeet Dreeeet Dreeeeet
Handphone Rangga berdering saat Kami masih berfoto selfie.
"Iya Kak?"
(Diam)
"Di puncak."
(Diam)
"Iyaaa, cerewet! Sebentar lagi balik!"
Klik
Rangga mematikan teleponnya.
"Ayok, pulang yang.. Kasihan Airin udah nungguin Kita!", Aku membenarkan posisi dudukku bersiap pulang.
"Kamu udahan liat matahari terbitnya?"
"Udah... Udah cukup, sayang.. Yuk, pulang!"
Rangga mengangguk, dan Kami kembali ke hiruk pikuk kota Jakarta. Sebelumnya, sempat dua kali Aku minta berhenti di rest area untuk pipis. Rangga menemaniku ke toilet. Tapi.. Namanya juga Indonesia.. Cari toilet umum yang bersih sulit. Jadi, pakai toilet di rumah makan siap saji dan Aku dapet jackpot se-basket ayam kriuk yang sudah Aku rindukan. Biasanya, seminggu tiga kali, tiap pulang kerja, Aku sama Metha pasti mampir ke restoran fastfood ini. Tapi sejak sama Rangga, sudah seminggu ini Aku ga bisa makan makanan favoritku ini!
"Jangan dihabiskan semua, sayang! Itukan ga sehat!", Rangga protes melihatku melahap satu basket ayam kriuk.
"Ini sehat banget, yang.. Tuh, gemuk-gemuk ayamnya. Kamu sendiri Aku tawarin ga mau! Ya udah Aku abisin aja semua! Sayang udah dibeli!", Kataku sekenanya..
"Iiih, sini!!", Rangga mencomot ayam kriuk dari keranjangku dan memakannya.
"Tadi katanya ga mau.. Ga sehat.. Tapi seka.."
"Daripada Istriku mau makan makanan ga sehat begini, mending Aku aja yang habiskan!", Katanya sambil melirikku dan Aku membalasnya dengan ketawa puas!
Butuh waktu lima jam untuk sampai ke Rumah Sakit dari puncak pas. Jam sebelas siang. Akhirnya kami tiba dan Rangga langsung membawaku ke kamar perawatanku. Disana sudah berjaga para bodyguardnya tapi wajahnya berbeda dari yang kemarin. Sepertinya Rangga membuat shift untuk para bodyguardnya.
Klek
Kami memasuki ruang perawatan.
"Yang, Aku mau pipis.."
Rangga langsung membawaku ke kamar mandi, mendudukkanku ditoilet duduk dan melakukan seperti biasa yang dilakukannya.
"Kamu keluar dulu, yang.. Aku mules!"
Rangga menatapku
"Ga mau! Kalau Kamu jatuh gimana?", Matanya sudah melotot sekarang.
"Enggak akan, yang.. Aku janji.. Yaaah.. Ayo dooong..", Untuk yang satu ini, Aku agak ngotot! Aku ga bisa kalau Rangga disini.. Maluuuu. Tapi namanya Rangga.. Susah banget kalau udah mau-nya.. Hufff.. Untunglah...
Dreeet Dreeet Dreeet
"Handphone Kamu bunyi, tuh! Keluar dulu sana!",
Yah, untungnya handphone Rangga berbunyi. Sandy menelponnya. Jadi, Rangga keluar. Walaupun masih membuka pintu toilet. Tapi Aku bisa berusaha membuang hajat secepatnya, sebelum Dia kembali!
"Sayang, Kamu mau apa???", Tanya Rangga ketika Aku berdiri untuk mandi.
Rangga mematikan teleponnya dan berlari ke arahku.
"Aku mau.. Mandi yang..", Aku tersenyum
"Kamu jangan khawatir, yang... Aku hati-hati, kok!", berusaha meyakinkan Suamiku yang super duper protektif.
"Tunggu disini dulu!", Rangga melarangku berdiri, dan menutup pintu kamar mandi. Seperti biasa, Aku udah kayak bayi besar harus dimandikan. Semarah apapun, sekencang apapun Aku protes, tetap Dia ga mau denger Aku. Hufff..
Rangga menyuruh Airin membawakan Aku baju ganti. Aku senang Dia inisiatif membawakan bajuku, sehingga aku ga harus memakai baju rumah sakit. Termasuk underwear dan wig.. Yeaayyyy! Akhirnya Dia mengerti kebutuhan Aku. Hihi..
"Tapi ga boleh dipake wig-nya!", Larangan Rangga sewaktu aku mau memakainya.
"Terus ngapain dibawain kalau ga boleh di pakai?", Aku menggerutu.
"Bukan permintaanku! Itu inisiatif Airin?", sambil Rangga menunjuk ke arah Airin yang sedang duduk di meja makan memandangi layar handphonenya.
"Vina, Kau siap? Kita akan lakukan terapi khelasi! satu kali terapi tiga jam. Kita akan lakukan tiga puluh kali seminggu.", Airin seakan ga peduli keberatan Rangga soal wig.
"Hmm.. Sebelumnya.. Ada satu syarat!", Aku menatap Rangga.
"Kamu mau apa, sayang?", Dia terlihat tegang sekarang.
"Izinkan Aku mengunjungi Doni.. Aku.. Aku harus berterima kasih padanya..", Aku menatap Rangga, karena Aku adalah miliknya, cuma Dia yang bisa memberikanku izin.
"Baiklah.. kamu bisa menemuinya!", Wajah Rangga menegang.
"Dan apapun yang akan kukatakan, Kamu.. ga boleh meragukan perasaanku sama Kamu, yang.. Karena Aku mencintaimu dan sudah memilihmu sebagai yang terakhir!", Aku mengumpulkan seluruh kekuatanku untuku mengatakan ini pada Rangga.. Aku harus menyelesaikan dan mendamaikan hatiku.. Seberat dan sesakit apapun rasanya..
Beberapa saat.. Rangga terdiam hanya menatapku. Aku juga terdiam karena tak ada lagi yang ingin Aku katakan.
"Dimana Dia, Airin? Aku akan mengantar Vina kesana!", Rangga tidak menatap Airin...masih dengan mimik wajah yang sama dan menatapku
"Kau ingin memakai wig mu?", Rangga menawarkan.
Aku menggeleng dan tersenyum.
"Aku ga butuh terlihat cantik di mata pria lain, yang.. Aku tadi mau pakai wig karena ingin terlihat cantik didepanmu! Aku.. Cuma ga mau Kamu merasa bosan melihat istrimu sangat jelek!", Kali ini Aku menunduk.. Karena memang Aku sangat malu dengan keadaanku sekarang didepan Rangga!
Rangga berjalan cepat ke arahku,
"Bodoh! Sejak kapan Aku bilang Kamu jelek??? Aku sudah bilang, bagiku Kamu sempurna.. Kamu cantik!", Dia menggendongku, dan melangkah keluar, diikuti Airin dibelakang Kami.
"Gombal!",
"Aaaw!", Rangga meringis, karena cubitanku.
Rangga memang tidak pernah mengatakannya. Aku.. hanya khawatir jika Dia berpikir seperti itu. Bagiku saat ini, bayi besarku inilah yang terpenting. Aku ga peduli dengan pendapat yang lainnya.
Aku mengajukan untuk menggunakan kursi roda saja, karena badanku cukup berat kalau Rangga terus-terusan mengangkatku seperti ini. Tapi Dia tak menghiraukanku. Jadi Aku memilih Diam. Airin memandu Kami menuju kamar perawatan Doni, yang tak jauh dari kamarku. Karena Dia meminta untuk dirawat satu ruangan dengan Vido.
"Rangga...", Airin berhenti dan menatap adiknya.
"Doni terluka cukup parah, Aku mohon Kau jangan berbuat macam-macam. Tujuh tusukan pisau tersebar di lengan, paha, dan perutnya. Untungnya, tusukan itu tidak mengenai organ vitalnya. Kondisinya masih lemah, Aku mohon, jaga sikapmu! Lelaki itu hampir mengorbankan nyawanya untuk istrimu! Didalam sana juga ada anaknya yang masih butuh istirahat karena penyakitnya!", Airin terlihat begitu serius dengan kata-katanya.
Rangga tidak menjawab apapun. Dia juga tidak mengangguk. Tapi raut wajahnya terlihat penuh tekanan.