webnovel

-4-

"Aku sudah tahu siapa nama orang yang memerankan peran Bimasena." Kata Saka saat ia duduk di bangkunya.

"Tidak. Tidak mau tahu. Aku tidak mau tahu." Kata Sinta sambil menutup kedua telinganya dengan tangannya. Ia menggeleng-gelengkan kepala sedemikian rupa guna mempertegas jika memang dirinya tak ingin tahu.

"Yakin tidak mau tahu?" Goda Ruri.

"Yakin. Lelaki angkuh tidak pantas untuk berkenalan denganku yang lemah lembut ini." Ruri dan Saka mengeluarkan gestur tak setuju dengan berpura-pura tidak mendengar.

Ruri dan Saka tak pernah berhenti menggoda Sinta akan hal tersebut. Sebab baru kali itu Sinta mengeluarkan ekspresi terkejut dan malu sampai mukanya memerah. Namun, semua candaan tersebut berhenti saat di suatu hari ada seseorang yang berdiri di depan pintu kelas mereka.

Seperti biasa, Sinta dan Ruri berangkat bersama menggunakan kendaraan umum. Pada hari itu, mereka berdua berangkat lebih lambat dari biasanya, sebab kendaraan umum yang mereka tumpangi mengalami kebocoran ban. Mau tak mau, mereka pun harus mencari kendaraan lain hingga memakan waktu yang cukup lama. Saat mereka sampai di gerbang sekolah, mereka bertemu dengan Saka yang juga baru sampai di sekolah.

"Kok kalian baru sampai? Kenapa?" Tanya Saka.

"Bannya bocor." Jawab Sinta.

Mereka pun berjalan beriringan menuju kelas, sesekali mereka mengobrol tentang sesuatu hal yang membuat mereka tertawa. Namun semua tawa itu berhenti ketika mereka melihat seseorang berdiri di depan kelas mereka. Ia adalah kakak kelas yang dahulu menjadi salah satu kakak panitia kedisiplinan, seseorang yang berdebat dengan Sinta di masa orientasi.

"Jadilah aku kemarin lembur sampai malam gara-gara PR yang lupa aku kerjakan. Beruntung sekali Saka mengingatkan sebelum aku tidur." Sinta terus bercerita tanpa menyadari keberadaan Tama yang saat ini sedang memandangi dirinya.

"Sepertinya setiap hari aku harus bertanya padamu, apakah besok ada pekerjaan rumah atau tidak." Sinta hendak memasuki ruang kelas dan belum juga menyadari keberadaan Tama.

"Aku harus sebesar apa hingga kamu menyadari keberadaanku?" Tanya Tama kepada Sinta.

Sinta pun menoleh dan berkata, "Eh, ada kakak." Ia mengeluarkan cengiran sebab dirinya benar-benar tidak menyadari keberadaan Tama di sana. Sinta mengira jika yang berdiri di depan kelas itu adalah temen sekelasnya.

"Mau cari siapa?" Sinta bertanya kepada Tama sebelum kedua sahabatnya masuk ke dalam kelas.

Mereka menghentikan niat mereka untuk duduk di bangku masing-masing ketika mendengar jawaban dari Tama.

"Cari kamu. Aku sudah menunggumu lebih dari lima belas menit di sini."

Ruri dan Saka masuk ke dalam kelas namun mereka bersembunyi di balik tembok tempat Sinta dan Tama berdiri. Mereka berjongkok sehingga tubuh mereka tidak terlihat dari luar untuk menguping pembicaraan Sinta dengan Tama.

"Ada apa?"

"Sangat sulit menemuimu di kantin sekolah. Lalu setelah bertanya kepada teman sekelasmu, mereka bilang jika kamu membawa bekal untuk dimakan saat istirahat. Pantas saja aku jarang melihatmu di kantin."

"Aku ke kantin, kok."

"Lalu kenapa aku tak bisa menemuimu di sana?"

"Karena aku sengaja pergi ke kantin saat Kakak tidak ada di sana."

Tama terkekeh, "Memang benar kata mereka, sulit untuk bisa mendapat perhatianmu."

Sinta tersenyum menanggapi perkataan Tama.

"Baiklah, sampai ketemu besok." Tama pergi meninggalkan Sinta setelah berkata demikian.

Sinta pun masuk ke dalam ruang kelas dan mendapati dua sahabatnya berjongkok di balik tembok.

"Semangat banget kalian. Mata pelajaran Bu Tini besok, kalian udah latihan jongkok mulai sekarang."

"Kita tidak berlatih untuk di hukum Bu Tini, ya!" Seru Ruri.

"Ngomong-ngomong, Kak Tama ngapain mau ketemu kamu?" Pertanyaan Saka membuat Ruri khawatir. Ia tahu jika Saka menyukai Sinta dan akan gawat jika sampai Sinta menjelaskan maksud Tama yang sebenarnya, sebab hal itu bisa jadi akan membuat Saka sakit hati.

"Dia mau minta nomor teleponku, beberapa hari belakangan dia menghubungiku lewat media sosial. Karena aku tak mau memberikan nomor teleponku, jadilah dia berkata kalau mau menemuiku di sekolah secara langsung."

Sesuai dugaan Ruri, jawaban Sinta merupakan jawaban yang polos. Ia sudah berkali-kali Ruri peringatkan untuk berhati-hati dalam berbicara. Sebab Saka adalah sahabat yang baik bagi mereka, khususnya Sinta. Ia rela melalukan banyak hal demi dirinya seperti menjemputnya saat ia pulang terlalu sore, mengingatkan PR, membelikan makanan atau minuman saat Sinta sedang sakit. Hal-hal kecil yang dilakukan Saka begitu manis kepada Sinta, hanya saja ia tak menyadarinya.

Karena kedua sahabatnya ini, Ruri menjadi kerepotan. Ia bingung hendak berpihak ke siapa. Di satu sisi, Sinta salah jika ia terus-menerus menganggap jika perlakuan Saka hanya sebatas teman baik dan menganggap remeh perasaan itu. Tapi di sisi yang lainnya, Saka juga tak mau terus terang terhadap Sinta. Namun sepertinya ia harus melakukan sesuatu agar persahabatan mereka tidak renggang. Ia akan mulai untuk bicara lebih serius dengan Sinta dan juga berbicara dengan Saka.

"Ngomong-ngomong soal Bu Tini. Besok jadi ada ulangan harian?"

Pertanyaan Ruri membuat kedua sahabatnya menatap dirinya dengan tatapan horor. Mereka tak tahu soal ulangan harian yang akan dilaksanakan besok. Jadilah mereka berdua panik menanyakan hal tersebut kepada teman sekelas mereka yang lain dan suasana canggung berhasil ditepis.

Setelah kejadian itu, Sinta dan Saka bertindak seperti biasa. Mereka mengobrol layaknya tidak terjadi apa-apa sebelumnya. Tapi Ruri tahu jika cepat atau lambat, Tama akan kembali membuat persahabatan mereka canggung. Mungkin saja Saka saat ini terlihat baik-baik saja, namun tidak ada yang tahu tentang apa yang sebenarnya ia pikirkan atau rasakan. Sebenarnya hal ini bukan sekali saja terjadi, banyak juga lelaki yang melakukan hal sama. Mereka mendekati Sinta, bahkan yang lebih parahnya lagi, mereka memanfaatkan Saka untuk mengenalkan mereka pada Sinta. Tentu sebagai lelaki yang baik, Saka membantu mereka walaupun rasa tersaingi pasti ia rasakan.

"Ta, malam ini aku ke rumahmu ya." Kataku pada Sinta saat kami berada di perjalanan pulang ke rumah.

"Iya. Ajak Saka juga?" Tanya Sinta.

"Justru aku ke rumahmu untuk berbicara mengenai Saka." Sinta mengangguk tanda ia paham tentang arah pembicaraan mereka.

Sekitar pukul tujuh, Ruri datang ke rumah Sinta dan tanpa basa-basi langsung membicarakan maksud kedatangannya malam itu.

"Ini serius ya. Aku mau tanya, perasaanmu ke Saka itu bagaimana, Ta?"

"Biasa saja. Dia sahabatku."

"Aku tahu, tapi kamu juga tahu kan jika dia menyukaimu lebih dari sekedar teman atau sahabat?"

"Aku tak bisa mengiyakan ucapanmu, Ri. Kan kamu paham bagaimana sikapku terhadap orang lain. Jika memang dia menyukaiku, berterus terang saja kepadaku. Jika mereka melakukan itu, akan menjadi lebih mudah." Kata Sinta.

"Justru itu, Ta. Saka itu sahabatmu, dan meski kepribadian kalian hampir mirip, dia berbeda denganmu untuk urusan perasaan." Ruri menjelaskan secara perlahan supaya sahabatnya ini tahu.

"Dia tahu jika kamu menganggapnya sebagai sahabat. Dan coba tebak, saat seorang sahabat memiliki rasa lebih kepada sahabatnya, apakah dia mau mengesampingkan persahabatannya hanya untuk perasaannya? Saka yang kita tahu, dia lelaki yang sangat baik. Kamu ingat saat kamu sedang ada acara jurnalistik yang mengharuskan kamu pulang malam? Dia menjemputmu meskipun cuaca sedang hujan dan dia sedang sakit, Ta. Masih banyak hal yang ia lakukan untukmu, hal-hal seperti perhatian kecilnya untukmu. Dan ya, dia tak mungkin akan mengorbankan persahabatan ini."

Sinta terdiam dengan penjelasan Ruri, memang benar jika Saka orang yang baik. Ia sahabat yang sangat baik bagi dirinya dan juga Ruri. Dan Ruri mengatakan hal yang benar, mana mungkin orang sebaik Saka akan egois jika menyangkut persoalan tentang sahabat-sahabatnya.

"Begini saja, setelah ini aku juga akan berbicara dengan Saka. Aku akan membuat dia berbicara, setidaknya aku tahu tentang apa yang ia rasakan selama ini. Lalu seperti biasa, kita akan selesaikan masalah ini dengan berdiskusi seperti biasa. Kita akan menyelesaikan masalah ini supaya tidak ada dari kalian yang sakit hati, karena aku tak mau jika sampai itu terjadi."

Belum sempat Ruri berbicara dengan Saka, satu masalah timbul. Waktu itu mereka sedang mengobrol tentang film aksi yang sebentar lagi akan tayang di bioskop.

Seseorang berdiri di ambang pintu kelas, yang tak lain dan tak bukan dialah Tama. Sepertinya ia menepati perkataannya untuk menemui Sinta di kemudian hari. Ia berkata kepada juniornya di paskibra yang merupakan teman sekelas Sinta. Mereka berbincang entah apa sebelum akhirnya Tama melangkahkan kakinya masuk ke kelas Sinta.

"Boleh aku duduk?" Tanya Tama kepada siswa perempuan yang duduk di depan tempat duduk Sinta.

"Boleh, Kak. Saya juga mau keluar, kok."

Tama memutar bangku menghadap belakang, gerak-geriknya itu diawasi oleh Ruri dan juga Saka namun tidak berlaku dengan Sinta yang tetap asyik memakan bekal miliknya. Mereka bertanya-tanya tujuan Tama duduk di kursi itu, lalu pertanyaan mereka terjawab saat Tama meletakkan kotak di atas meja Sinta dan kotak itu adalah kotak makan.

"Ini adalah pertama kalinya aku membawa bekal." Kata Tama.

"Aku harus memujimu untuk itu?" Tanya Sinta.

Tama tertawa, "Tidak perlu. Ngomong-ngomong, kalau tak salah lihat, kemarin aku melihatmu di salah satu pusat perbelanjaan, atau memang itu benar kamu?" Saka menoleh ke arah Tama saat dirinya mengatakan hal tersebut.

Memang kemarin Sinta pergi ke salah satu pusat perbelanjaan, ia tahu sebab dirinya ada di sana juga. Sinta, Ruri, serta Saka menghabiskan waktu bersama di tempat itu untuk menghilangkan penat dan sekedar mencuci mata melihat banyak sekali barang-barang yang dipajang di sana.

"Sepertinya Kakak terlalu banyak memikirkanku sehingga terbayang-bayang kehadiranku."

"Oh, jadi aku salah lihat?"

"Tidak, itu memang aku." Kata Sinta datar.

Tama menatap heran ke arah Sinta, "Kalau pulang sekolah? Apa kamu juga naik kendaraan umum?"

"Ya."

"Aku bisa mengantarmu, tapi aku tahu jika kamu akan menolak. Jadi nanti aku akan mengikutimu dari belakang."

"Tidak perlu repot-repot. Aku tidak punya uang untuk membayarmu sebagai pengawalku." Kata Sinta.

"Tenang saja, seorang kekasih tidak dibayar dengan uang." Perkataan Tama membuat Saka dan Ruri tersedak makanan masing-masing.

"Lihat, sahabatku saja tidak setuju akan perkataanmu."

Tama tertawa, "Mereka akan terbiasa."

Sepertinya Tama adalah tipe orang yang menepati ucapannya. Saka dan Ruri akan terbiasa dengan kehadirannya di keseharian mereka. Membawa bekal, mengobrol di depan kelas, menunggu di gerbang sekolah sebelum akhirnya berjalan menuju kelas, dan banyak hal gila yang Tama lakukan seperti saat itu.

"Aku tak akan pulang terlebih dulu hari ini." Kata Tama pada Sinta.

"Berhentilah melakukan hal-hal yang merepotkan."

Saat ini Tama menunggu di atas motornya yang terparkir di dekat halte bus. Ia berniat untuk mengikuti Sinta menuju rumahnya hari ini. Sebenarnya hal itu sudah berkali-kali ingin ia lakukan beberapa hari belakangan, namun dirinya selalu mengalami kendala. Seperti tak menemui Sinta sepulang sekolah sebab Sinta yang sengaja menghindarinya, salah mengikuti bus, lalu saat ia berhasil mengikuti bus yang benar, ia tak menemukan Sinta di dalamnya sebab Sinta meminta agar Saka mengantarnya pulang, dan banyak lagi kejadian lucu lainnya.

Hari ini Tama berhasil mengikuti Sinta sebab dirinya bersembunyi di dekat halte bus. Sinta yang mengira jika Tama sudah terlebih dulu pulang tak menyangka jika ia melihat Tama justru menunggunya di halte bus. Setelah terjadi banyak percakapan tidak penting, Tama berhasil mengetahui rumah Sinta dan berbicara jika esok hari ia akan menjemput Sinta untuk pergi ke sekolah.

Namun keesokan harinya, bukannya berhasil menjemput Sinta, ia justru menjemput kejadian lucu lainnya. Tama datang ke rumah yang kemarin Sinta datangi saat pulang sekolah dan menemukan fakta jika rumah tersebut adalah rumah saudara Sinta. Ia pun diberitahu lokasi yang sesungguhnya dari rumah Sinta dan menemukan jika Sinta sudah berangkat ke sekolah beberapa menit yang lalu.

"Aku tadi pagi ke rumahmu untuk menjemputmu. Tapi bukannya dirimu atau ibumu yang kutemui, justru tantemu." Gerutu Tama.

Ruri dan Saka menahan tawanya, sedangkan Sinta tertawa keras.

"Lalu Kakak menjemput tanteku hari ini?"

"Tidak. Dia menunjukkanku rumahmu yang sebenarnya dan menemui ibumu. Ibumu bilang jika kamu sudah berangkat beberapa menit yang lalu."

"Seharusnya tak perlu repot-repot ke rumahku. Tadi saat Kakak menemui tanteku, apakah ia memakai seragam kantornya?"

"Entahlah, tadi kulihat ia memakai kemeja dan celana panjang."

"Kemeja putih?"

"Ya."

"Tanteku bekerja di perusahaan swasta. Dan di hari Jumat seperti ini, ia memakai baju yang sudah ditentukan perusahaannya. Kemeja putih dengan motif batik. Kurasa jika Kakak menemuinya dengan pakaian lengkap seperti itu, tandanya ia sudah siap untuk berangkat. Jadi, daripada malu telah gagal menjemputku, jemput saja tanteku dan antar ia ke kantor." Saka dan Ruri kembali menahan tawa.

Keesokan harinya Sinta dikejutkan oleh Tama yang sudah menunggunya di depan rumah. Ia begitu terkejut saat hendak berangkat sekolah, padahal saat ini bahkan belum genap pukul enam. Sinta yang mendengar suara motor Tama berhenti di depan rumahnya pun menghentikan kegiatan sarapannya.

"Kamu hari ini dijemput Saka?" Tanya Ayah dan Sinta menggeleng.

Bunda berkata, "Sepertinya itu bukan suara motor Saka. Coba Bunda lihat sebentar."

Benar saja, itu memang suara dari motor Tama.

"Silakan masuk dulu, Sinta masih sarapan."

"Iya, Tante."

"Kamu sudah sarapan?"

"Sudah, tadi di rumah sudah sarapan."

"Oh, begitu. Tante ambilkan minum dulu ya, sekalian kasih tahu Sinta kalau kamu datang menjemput."

"Tidak usah repot-repot, Tante."

"Tidak kok, tidak repot. Sebentar."

Bunda Sinta segera menuju ruang makan dan menemukan Sinta yang sedang menatapnya.

"Kenapa?" Bunda Sinta bertanya dan hanya dibalas gelengan oleh Sinta.

"Cepat selesaikan makanmu. Temanmu sudah menunggu."

Sinta mengangguk dan dirinya melanjutkan kegiatan sarapannya yang sempat tertunda. Sembari melanjutkan sarapannya, ia memikirkan bagaimana cara menghindari Tama. Sinta pun menemukan caranya. Saat bundanya pergi untuk mengantar minuman, dirinya pergi ke kamarnya.

"Saka, bisa jemput aku?"

Sinta meminta tolong kepada Saka untuk menjemputnya. Ia meminta supaya Saka menjemput di depan gang, sebab saat ini Tama sedang berada di ruang tamu untuk menjemputnya. Beberapa menit setelahnya, Sinta keluar dari kamar sambil membawa tas sekolah miliknya. Ia berjalan keluar dengan diikuti tatapan milik ayahnya. Ayahnya bertanya mau kemana, dan Sinta hanya menjawabnya dengan telunjuk yang ditempelkan di depan bibirnya. Saat melihat anaknya keluar dari pintu belakang, ia mengerti jika anaknya itu sedang menghindari lelaki yang saat ini sedang berbicara dengan istrinya.

Beberapa menit setelahnya, Bunda Sinta datang ke ruang makan dan hanya mendapati suaminya yang duduk di sana.

"Sinta mana?" Tanya Bunda Sinta.

"Dia berjalan sambil membawa tas sekolahnya melewati pintu belakang. Ayah sudah bertanya ia hendak pergi kemana dan Sinta hanya menjawab dengan jari telunjuk yang ia tempelkan di bibirnya." Ucapan Ayah Sinta mengundang gelengan kepala istrinya.