webnovel

-29-

Sinta memundurkan badannya dan bersandar di punggung kursi serta memalingkan wajahnya setelah beberapa saat terpaku di hadapan Bima.

"Aku tak tersiksa, biasa saja."

Bima menegakkan badannya dan berkata "Lalu kenapa wajahmu seperti terbakar? Apakah tatapanku ini terlalu panas hingga membakar wajahmu?" Bima bertanya dengan seringaian di wajahnya.

Sinta membalas tatapan Bima dan berujar, "Aku hanya malu karena sikapmu yang tak biasa itu. Kita di tempat umum jika kau lupa."

"Tentu aku tidak lupa, kau yang menjebakku datang kemari, bukan?" Tanya Bima dengan menyandarkan punggungnya di kursi.

Sebenarnya memang semua ini adalah rencana Sinta. Ia mengatur rencana sedemikian rupa untuk membuat Bima mengantarnya pulang. Ia memiliki tujuan tertentu di dalamnya.

*

"Kamu juga mau nonton penampilan band Mas Bima, Ri?" Tanya Sinta ketika dirinya telah membaca pesan dari Prada. Ia belum membalasnya dikarenakan dirinya memiliki rencana.

"Iya, malam ini, kan?

"Iya, kamu berangkat dengan siapa?"

"Aku akan mengajak Banu untuk menonton." Sinta tersenyum mendengar jawaban Ruri. Ruri yang curiga atas sikap Sinta pun bertanya dengan heran, "Kamu mau melakukan apa?"

"Aku hanya memiliki rencana kecil." Kata Sinta sambil terkekeh hingga membuat Ara dan Fanya saling bertatapan.

Ruri bertanya kepada Sinta, "Apa?"

"Jadi, nanti Ara dan Fanya akan berboncengan." Sinta mengawali penjelasannya yang diikuti tatapan serius dari Ruri, Ara, serta Fanya. Ia pun melanjutkan, "Salah satu dari kalian berpura-pura jika motor kalian sedang ada di bengkel. Lalu aku akan meminta Mas Prada untuk menjemputku. Nanti setelah kita selesai menonton penampilan band Mas Bima, kita akan mengobrol sebentar dengannya. Lalu secara dramatis, Mas Prada berkata jika ia lupa. Ia lupa jika memiliki janji kencan dengan calon kekasihnya. Hal itu membuat dirinya harus segera pergi dan mengantarku pulang. Kak Nuca atau Kak Ino yang tahu jika aku hendak pulang, mereka memberi usul jika biarkan saja Mas Prada pulang terlebih dulu. Mas Bima yang membawa motor dan sedang tak membonceng siapapun akan mengantarku pulang." Sinta mengakhiri penjelasannya dengan senyum lebar.

"Bagaimana jika hari ini Mas Bima sedang membonceng teman satu bandnya?" Tanya Ara.

"Tidak, kalaupun iya, kita akan meminta tolong teman-temannya untuk memastikan hal itu. Langkah selanjutnya yang harus aku lakukan ialah aku harus menghubungi Mas Prada, Kak Nuca, serta Kak Ino untuk memberitahu mereka tentang rencanaku." Sinta berkata demikian lalu menyalakan ponselnya.

Sinta menelepon Prada, Nuca, serta Ino untuk memberitahu mereka tentang rencananya. Ketiga lelaki yang memang pada dasarnya suka mengerjai Bima itu pun tertawa senang karena mereka sangat menyetujui ide Sinta.

"Itu ide yang bagus." Kata Ino sambil tertawa.

"Tapi Kak, nanti coba pastikan jika Mas Bima tidak membonceng siapapun, ya."

"Serahkan itu padaku. Aku akan berbicara dengan teman kosku perihal itu. Nanti jika sudah beres, aku akan memberitahumu." Kata Nuca dan mereka pun mengakhiri percakapan mereka di telepon.

"Lalu jam berapa kita akan berangkat?" Tanya Ruri.

"Aku dan yang lainnya akan berangkat pukul setengah tujuh."

Ruri yang mendengar ada keanehan di jawaban Sinta pun bertanya, "Yang lainnya?"

"Ya, aku, Mas Prada, Ara, dan Fanya."

"Lalu aku dan Banu?"

Sinta tersenyum kepada Ruri dan berkata, "Aku memiliki rencana untuk kalian." Ruri menyipitkan matanya ke arah sahabatnya itu.

Sinta pun menjelaskan rencananya yang lain kepada Ruri, "Kamu dan Banu terserah datang pukul berapa. Band Mas Bima tampil sekitar pukul tujuh. Jika kalian mau menontonnya, berarti kalian harus datang sebelum pukul tujuh. Usahakan jika kita tak masuk ke kafe secara bersamaan, menghindari Mas Bima tahu tentang keberadaan kalian. Nanti, kita juga tak akan duduk satu meja. Kami akan duduk di meja yang ada di tengah-tengah kafe, kalian akan duduk di meja yang ada di sudut. Jangan sampai Mas Bima tahu tentang keberadaan kalian."

Sinta yang tadinya menjelaskan rencana kepada Ruri, kini menatap Ara dan Fanya, "Pada pukul sembilan kurang, kalian akan pamit pulang karena gerbang kos salah satu dari kalian akan ditutup pukul sembilan."

Sinta kembali menatap Ruri, "Lalu setelah kami semua pergi, kamu telepon aku, Ri. Kamu berpura-pura menjadi Bunda yang meminta tolong untuk dibelikan martabak. Lalu aku yang diantar pulang oleh Mas Bima akan memintanya untuk membelikan martabak terlebih dulu. Aku akan membutuhkan bantuan Kak Nuca dan Kak Ino untuk meyakinkan Mas Bima. Dan setelah Mas Bima mengiyakan, kalian semua akan pulang. Lalu kami akan beli martabak dan setelahnya ia mengantarku pulang. Ketika pulang, Bunda dan Ayah akan berkenalan dengan Mas Bima dan memintanya untuk datang ke acara ulang tahunku. Pastikan jika kamu dan Banu menunggu kami pulang terlebih dulu, jika tidak, Mas Bima akan menyadarinya. Dan aku akan memberitahukan rencana tambahan ini ke Mas Prada, Kak Nuca, serta Kak Ino saat di kafe." Sinta pun berada di ujung penjelasan mengenai rencananya.

"Jika memang pada akhirnya Bunda dan Ayah tahu tentang rencanamu dan Kak Bima, kenapa tak langsung saja meminta bundamu untuk meneleponmu, alih-alih aku yang menelepon." Perkataan Ruri membuat Ara serta Fanya mengangguk-anggukkan kepala sedangkan Sinta menggeleng-gelengkan kepalanya, "Tidak, Bunda tak akan mau melakukan itu."

"Lalu bagaimana caranya kamu tahu jika mereka pasti akan mengundang Kak Bima untuk datang ke acara ulang tahunmu?" Tanya Ara.

Sinta tersenyum, "Mereka pasti melakukannya."

*

Sinta tersenyum mendengar perkataan Bima, sepertinya lelaki itu sudah paham jika semua ini adalah rencana miliknya.

"Lalu jika kau sudah tahu kalau semua ini adalah rencanaku, mengapa kau tetap mau melakukannya? Mau mengantarku pulang?"

Bima menghela napas panjang, "Jika aku tak mengantarmu, kau mau pulang sendiri dengan menggunakan kendaraan umum? Mungkin kau memang sangat menyebalkan, tapi aku bukan lelaki brengsek yang akan membiarkan seorang perempuan aneh sepertimu pulang malam sendirian menggunakan kendaraan umum."

Sinta semakin melebarkan senyumannya ketika mendengar perkataan Bima, "Aku tahu, lagipula tak ada yang mengatakan jika kau adalah lelaki brengsek." Bima diam saja menatap Sinta. Sinta pun menambahkan, "Hanya saja, kau lelaki yang menyebalkan. Tidak ada seorang manusia yang memblokir semua akun media sosial satu-satunya teman yang ia miliki. Hal tersebut tak masalah untuk dilakukan jika kau memiliki banyak teman, faktanya di sini, kau hanya memiliki tiga teman yang ketiga akun media sosial mereka kau blokir."

Sinta pernah memiliki rencana untuk mengganggu Bima di media sosial. Karena akun media sosialnya telah diblokir oleh Bima, ia pun meminta tolong kepada kedua sahabatnya, Ara, Fanya, serta teman-teman Bima untuk meminta Bima membuka blokiran akun media sosial Sinta. Dan yang terjadi adalah, semua akun media sosial mereka diblokir oleh Bima. Awalnya Ara dan Fanya menolak untuk melakukan itu, karena mereka tahu jika Bima juga akan memblokir akun media sosialnya, namun pada akhirnya mereka mengiyakan dan berakhir diblokir juga oleh Bima.

"Itu semua salahmu. Kau yang meminta mereka untuk menggangguku dengan terus menerus memintaku untuk tak lagi memblokir akun media sosialmu."

Sinta pun menggeleng-gelengkan kepalanya, "Kau pasti memiliki daftar teramat panjang akun orang-orang yang kau blokir di media sosialmu."

"Ya, dan daftar itu semakin panjang ketika aku mengenalmu."

"Aku bisa membuat daftar tersebut berkurang." Mendengar perkataan Sinta, Bima menaikkan salah satu alisnya. Sinta pun melanjutkan, " Caranya adalah dengan tak lagi memblokir akun media sosialku, kedua sahabatku, Ara, Fanya, serta teman-temanmu. Lumayan, bukan? Kau akan mengurangi daftar panjang akun orang-orang yang kau blokir sebanyak delapan orang. Itu merupakan awal yang bagus." Bima hanya diam mendengar perkataan Sinta.

Setelah menghabiskan waktu beberapa menit menunggu, martabak yang dipesan oleh Sinta pun selesai. Bima bangkit dari kursinya ketika melihat Sinta telah membawa bungkusan martabak pesanannya. Mereka berjalan ke motor Bima sebelum Bima mengantar Sinta pulang ke rumahnya.

"Seharusnya kau memakai jaket." Kata Bima kepada Sinta saat memakai helmnya.

Sinta menatap Bima dengan tersenyum, "Iya, aku lupa hendak membawanya tadi."

Saat ini hanya Bima yang memakai jaket. Ia yang saat tampil di kafe menggunakan kaus lengan pendek itu menitipkan jaketnya kepada Nuca ketika mereka berbincang sebelum penampilan bandnya dimulai. Sinta yang saat ini memakai kaus lengan pendek dengan overall seharusnya memang memakai jaket untuk menghindari angin malam yang dingin. Apalagi saat ini ia akan berkendara menggunakan motor.

"Tapi tak perlu kau pakaikan aku jaketmu, kau yang lebih membutuhkannya." Kata Sinta kepada Bima dengan tersenyum manis.

Bima menatapnya dengan heran, "Siapa juga yang mau memberimu jaket untuk dikenakan." Sinta pun tertawa lepas mendengar perkataan Bima.

Sinta pun segera naik ke boncengan motor Bima untuk pulang menuju rumahnya. Butuh beberapa menit untuk sampai di rumah Sinta, setelah mereka sampai, Bima hanya memberhentikan motornya di depan rumah Sinta. Bunda dan Ayah telah menunggu kepulangan putri mereka di ruang tengah, mereka yang merasa asing dengan deru motor yang berhenti di depan rumah mereka pun berjalan keluar. Di sana terlihat putri mereka berdiri dengan lelaki asing yang duduk di atas motornya.

Sinta yang melihat kedua orang tuanya di depan pintu rumah pun berteriak, "Bunda, Ayah." Bima yang melihat kedua orang tua Sinta berjalan ke arahnya pun mau tak mau harus turun dari motornya.

"Kamu diantar siapa?" Tanya Ayah.

Bima yang tahu jika Sinta dengan sengaja melakukan hal ini pun hanya bisa pasrah, "Malam, Om, Tante. Saya Bima."

Bunda dan Ayah saling bertatapan dengan terkejut. Mereka tentu tahu jika anak mereka itu sangat menyukai tokoh Bimasena di cerita Mahabarata, dan kehadiran Bima tentu membuat mereka sangat terkejut, ditambah dengan wajah Bima yang bukan main tampannya.

Melihat ekspresi kedua orang tua Sinta, Bima tahu jika ia dalam masalah besar.

"Nak Bima ini teman Sinta atau siapa?" Tanya Bunda.

"Saya kakak tingkat Sinta, Tante." Kata Bima seramah mungkin.

"Mas Bima ini teman Mas Prada, Bunda, Ayah. Dia juga yang membelikan Bunda martabak malam ini." Sinta tersenyum ke arah kedua orang tuanya dan menyerahkan bungkusan martabak kepada Bunda.

"Wah, jadi repot-repot." Kata Bunda yang hanya dibalas senyum pasrah milik Bima.

"Mau mampir dulu?" Tanya Ayah.

"Mungkin lain kali, Om. Sudah larut."

"Sayang sekali, padahal kamu belum pernah main ke rumah Sinta." Kata Bunda yang lagi-lagi dibalas senyum pasrah oleh Bima.

"Mungkin lain kali, Bunda. Mas Bima hari ini banyak kegiatan, sebelum kemari, dia harus tampil dengan bandnya di kafe." Kata Sinta. Mendengar perkataan Sinta, Bima tertawa palsu dan berbicara, "Seharusnya tidak perlu dibicarakan." Sinta mati-matian menahan tawa ketika melihat ekspresi palsu milik Bima.

"Oh, kamu anak band?" Tanya Ayah.

"Ya, Om."

"Dia bassist di bandnya, Yah." Sahut Sinta.

"Wah, sama dengan ayah Sinta sewaktu SMA dulu. Ayah Sinta juga menjadi bassist di bandnya." Kata Bunda.

"Oh, ya? Sampai sekarang, Om?" Ayah Sinta tertawa mendengar pertanyaan Bima, "Tidak, itu hanya di masa sedang nakal-nakalnya. Dulu, menjadi anak band akan membuat seorang anak SMA menjadi terlihat lebih superior." Kata Ayah.

"Ah, saya rasa sampai sekarang, Om. Kebanyakan orang menilai jika anak band itu keren, hanya modal bisa memainkan alat musik akan bisa menjadi keren. Tak ada yang tahu seberapa sulitnya perjalanan sebuah band itu sendiri." Sahut Bima.

"Benar. Sepertinya obrolan ini akan mengasyikkan. Sayang sekali saat ini sudah larut, andai saja kita masih punya banyak waktu." Kata Ayah menyahuti perkataan Bima.

"Bunda baru ingat, hari Minggu besok Sinta ulang tahun. Bima datang, kan?" Tanya Bunda kepada Bima. Bima tampak bingung hendak menjawab pertanyaan bunda Sinta, sedangkan Sinta tampak senang melihat keterbingungannya.

"Nah, iya. Kamu harus datang, Bim. Nanti kita akan mengobrol lebih banyak." Kata Ayah.

Bima tersenyum kecut, "Saya usahakan, Om, Tante." Kata Bima pada akhirnya.

"Harus datang, ya. Nanti juga akan ada Saka serta kakaknya, kamu pasti kenal mereka, bukan?"

"Ya, harus. Kami tunggu di acara ulang tahun Sinta." Kata kedua orang tua Sinta yang membuat Bima terdiam.

Setelah itu, Bima pun pamit dan melajukan motornya untuk pulang ke kosnya. Kepergian Bima membuat kedua orang tua Sinta menatap anaknya dengan tatapan kesal. Sinta yang tahu jika kedua orang tuanya pasti mengomeli dirinya itu pun berlari masuk ke dalam rumah.

"Heh, Sinta! Bagaimana bisa kamu tidak menceritakan apapun soal Bima kepada kami!" Teriak Bunda dan Ayah bersamaan.

"Sudah larut, Sinta mengantuk!" Seru Sinta kepada kedua orang tuanya dengan diikuti tawa. Sinta berusaha kabur dari kedua orang tuanya, karena ia tahu jika kedua orang tuanya pasti akan mengintrogasi dirinya. Ia sengaja berbicara jika dirinya mengantuk, padahal yang terjadi sebenarnya, ia justru tak henti-hentinya mengirim pesan kepada kedua sahabatnya tentang penampilan Bima di ­band hingga saat di mana Bima mengantarnya pulang.

*

Keesokan harinya, Sinta hendak bersiap-siap pergi kuliah lebih pagi dari biasanya supaya terhindar dari introgasi kedua orang tuanya, namun hal itu gagal dilakukan. Layaknya Sinta yang bisa dengan mudah menebak kedua orang tuanya, Bunda dan Ayah juga bisa dengan mudah menebak kelakuan Sinta. Sarapan telah dihidangkan lebih cepat, sehingga saat Sinta sudah selesai mandi, Bunda menghampiri dirinya untuk memberitahukan jika sarapan telah siap. Sinta yang mengetahui jika rencananya gagal itu pun hanya berjalan pasrah menuju meja makan, rencana melewatkan sarapan pupus sudah.

"Jadi, siapa sebenarnya Bima itu?" Tanya Ayah ketika Sinta telah duduk di kursi ruang makan.

"Jawabanku masih sama seperti kemarin, dia adalah teman Mas Prada." Jelas Sinta kepada kedua orang tuanya, Sinta yang tahu jika kedua orang tuanya sedang menatapnya dengan tatapan tidak puas itu pun membuat dirinya melanjutkan penjelasannya mengenai Bima, "Jadi sebenarnya, dia adalah orang yang memerankan peran Bimasena di pentas teater itu." Kata Sinta yang merujuk pada cerita pertemuan pertamanya dengan Bima.

Kedua orang tua Sinta terkejut, "Itu adalah dia?" Sinta mengangguk.

"Jadi selama ini yang membuatmu menekuk wajah dan senyum-senyum sendiri ketika pulang dari kuliah adalah Bima?" Tanya Bunda. Sinta pasrah dengan kelanjutan sesi introgasi yang dilakukan oleh kedua orang tuanya, ia pun menceritakan semuanya. Tentang semua hal yang terjadi antara dirinya dan Bima.