webnovel

Bestfriend With Too Much Benefits

Zoey Aretta Risty adalah seorang aktris terkenal berusia 27 tahun, semasa karirnya yang terus meroket dia memiliki sahabat yang selalu ada untuk mendukungnya. Sahabatnya sejak SMA. Seorang pria yang menghilangkan segala kepolosan Zoey, lebih tepatnya mereka bersama menghilangkan rasa penasaran dari kepolosan mereka menuju obsesi yang memuaskan. Jeffrey Keenan Abigail adalah direktur finance perusahaan property, pewaris tertinggi dalam perusahaan keluarga J Corp. Dirinya merupakan pria yang selalu dituntut untuk bisa lebih dari siapapun dan Zoey lah seseorang yang bisa membuatnya berada dalam kenyamanan. Jeffrey yang selalu dipilihkan jalan hidupnya oleh Ayahnya, murka. Bagaimana pun caranya kali ini Jeffrey tidak ingin menuruti Ayahnya. Jeffrey akan menentang sebuah perjodohan dari Ayahnya atas nama memperluas bisnis. Tentu dengan berbagai cara Jeffrey menentang Ayahnya, hingga ia memilih jalan yang tak terduga dengan mengajak Zoey untuk menikah dengannya. Selama bertemu dengan Jeffrey, apa yang dilakukannya tanpa disadari terus mengikuti Jeffrey. Apapun yang dilakukan, Zoey akan meminta pendapat dari Jeffrey termasuk mengambil keputusan dalam karirnya. Tetapi, kali ini jelas berbeda. Meski Zoey senang bermain dalam hubungan tapi jika menikah maka dia hanya ingin satu kali seumur hidup bersama dengan orang yang dicintainya. Lalu, bagaimana sekarang dia disaat Jeffrey memberikannya pilihan seperti ini?

Namnam_Meow · realistisch
Zu wenig Bewertungen
17 Chs

Chapter 11 : Realistically

Dion berada di mobil bersama dengan Clarissa, mengantarnya untuk pulang ke rumah. Selama di perjalanan Clarissa hanya terdiam bahkan sejak kejadian tadi di rumah keluarga Jeffrey, Clarissa memilih untuk diam.

"Dia sebenci itu untuk menikah dengan aku?" Clarissa bertanya tiba-tiba. Dion menolehkan kepala pada Clarissa. Ia menghentikan mobilnya di depan rumah Clarissa.

"Jeffrey memang sudah keterlaluan tadi. Tapi percaya padanya, percaya pada perkataannya kalau dia tidak benci padamu hanya saja dia memang tidak bisa memilih untuk menikahimu. Jeffrey keras kepala, dia tidak ingin lagi hidupnya diatur oleh Ayahnya" ucap Dion kini memahami mengapa Jeffrey memilih pilihannya.

Jeffrey hanya lelah dengan kehidupannya yang diatur oleh Ayahnya, kini Dion mengubah pikiran dan akan mendukung apapun yang Jeffrey ingin lakukan. Dion sudah menjadi saksi seberapa keras Ayahnya untuk membuat seorang Jeffrey menjadi pria yang sempurna, jika Dion di mata Ayahnya sudah 100 maka Jeffrey harus ada di angka 200.

Clarissa tersenyum tipis. "Dia tidak pernah baik padamu, tapi kamu selalu membelanya" ucap Clarissa.

"Aku tahu, aku hanya ingin berkata secara realistis di sini"

Clarissa menoleh dan menatap Dion. Menatap Dion, Clarissa merasakan ketulusan. Kenapa dia tidak menginginkan Dion saja untuk jadi suaminya?. Mengapa dia harus mencintai Jeffrey.

"Kalau aku bilang pada Ayahku ingin menikah denganmu saja bagaimana?" pertanyaan Clarissa itu membuat Dion tidak dapat berkata apa-apa. Dia membulatkan matanya sempurna karena terkejut.

"Lupakan, terima kasih sudah mengantarku" ucap Clarissa turun dari mobil, sedangkan Dion tidak melakukan apapun dalam beberapa detik. Ia terlalu terkejut untuk memberikan reaksi lain sampai akhirnya Dion keluar dari mobil menghampiri Clarissa yang sudah berada di depan pagar. Dion meraih tangan Clarissa untuk menahannya.

"Apa aku boleh mendekatimu?" Dion bertanya menatap ke dalam mata Clarissa. "Aku boleh mencoba menggantikan posisi Jeffrey di hatimu? Boleh aku mendapatkan rasa suka lebih tinggi dibandingkan Jeffrey?"

"Aku tidak pernah melarangmu untuk dekat denganku" ucap Clarissa tersenyum manis. Dion balas tersenyum. Ia tidak bisa berbohong kalau dia sangat senang sekarang. "Maaf hari ini jadi kacau. Masuklah dan istirahat, kamu pasti capek" ucap Dion mengusap pucuk kepala Clarissa.

"Makasih ya" balas Clarissa masuk ke dalam rumahnya. Dion pun berdiri di depan menatap pagar dan menunggu sampai Clarissa benar-benar masuk ke dalam rumahnya. Kemudian, dia pergi melajukan mobil menjauhi pekarangan rumah keluarga Haris.

Berkencan bagi sepasang kekasih adalah hal yang sangat diinginkan bagi mereka yang sibuk dengan pekerjaan maka hari libur akan dimanfaatkan bersama dengan orang tersayang, seperti halnya yang sedang Zoey dan Daniel lakukan. Mungkin jika Zoey bukan seorang public figure mereka bisa saja berkencan di tempat terbuka tetapi keadaan membuat keduanya berada dalam ruang bioskop yang sepi.

Zoey dan Daniel duduk di bagian paling atas dan gelap. Keduanya menikmati film yang sedang ditampilkan di layar besar. Daniel terlihat menikmati film, berbeda dengan Zoey dengan pandangannya yang tidak fokus pada layar. Pikirannya berada di tempat lain. Sampai film hampir habis pun dia tidak bisa fokus.

Apa Jeffrey baik-baik saja di apartemen sekarang?

Apa yang sedang Jeffrey lakukan sekarang?

Jeffrey tidak mungkin melakukan hal itu lagi kan?

Zoey tidak ingin kehilangan sahabatnya. Menyebalkan, tatapan sendu Jeffrey terngiang di kepalanya sekarang. Zoey mengingat tatapan itu, pertama kali ia lihat tatapan itu adalah saat hari pengumuman hasil ujian, di atap sekolah.

"Kamu lagi sakit?" suara Daniel menyadarkan Zoey dari lamunannya.

"Kenapa?" Zoey baru menolehkan kepala untuk menatap Daniel.

"Kamu baik-baik aja? Aku gak tau kalau kamu lagi sakit, kamu bisa bilang kok gak jadi, mata kamu juga sembab begitu" ujar Daniel. Ah Zoey sudah berusaha menyembunyikan mata sembabnya dengan riasan wajah tetapi masih terlihat oleh Daniel.

"Aku gak sakit, maaf aku gak bisa fokus" ucap Zoey kembali melihat ke depan. Daniel pun memilih untuk terdiam sampai film benar-benar selesai dan beberapa orang sudah pergi. Zoey yang juga ingin bangkit begitu memastikan tidak ada orang tangannya ditahan oleh Daniel.

"Kita pulang aja ya? Kamu kelihatannya lagi gak baik-baik aja" ujar Daniel memiringkan posisinya untuk menghadap Zoey di sampingnya. Zoey belum membuka suaranya, Ia masih diam dengan rasa gugup untuk berkata sampai menelan ludahnya sendiri.

"Gak masalah kalau aku pulang sekarang?" Zoey bertanya dan Daniel menganggukan kepalanya, "Aku gak masalah, kita masih ada waktu nanti"

"Tapi, kamu bakal susah ambil libur praktek lagi" ucap Zoey menurunkan pandangan pada sepatu skets hitamnya.

"Kita bisa atur lagi nanti, kamu selesain dulu permasalahan kamu" ucap Daniel. Huft, kenapa Daniel baik sekali membuat Zoey jadi merasa bimbang.

"Maaf, aku pulang sendiri aja, nanti kamu capek. Kemarin abis operasi kan?"

Senyuman terukir di wajah Daniel. Ia sedikit kecewa karena kencannya baru berjalan dua jam harus berakhir hari ini, sedangkan dirinya sudah mengatur jadwal praktek. Tetapi, ia paham dengan keadaan Zoey. Memilih kencan di tempat umum sepertinya akan sulit untuk mereka berkencan nanti, jadi lebih baik Daniel menggantu waktu kencan mereka lagi dan memilih tempat yang nyaman untuk Zoey.

"Hati-hati" ujar Daniel saat Zoey ingin berjalan menuruni tangga. Langkah Zoey berhenti lalu berbalik menghadap Daniel sambil berkata, "Kalau nanti ada berita yang keluar, kamu harus tunggu penjelasan dari aku ya?"

"Maksud kamu?"

"Pokoknya nanti kalau ada berita tentang aku yang keluar kamu harus tunggu penjelasan aku gimana. Jangan jauhin aku tapi kamu berhak untuk marah" jelas Zoey.

"Okay?"

"Iya, aku tunggu penjelasan kamu" ucap Daniel dengan senyum manisnya. Zoey pun membalas senyuman itu dan mengakhiri pertemuan mereka hari ini. Dengan memakai topi dan masker hitamnya, Zoey berlari melewati kerumunan. Wajahnya tertunduk untuk menutupi dirinya. Tidak lucu jika ada orang yang mengenalinya dan menghentikan didinya yang sedang terburu-buru. Zoey juga bingung seharusnya dia tidak perlu lagi memikirkan tentang apa yang terjadi tadi siang, tetapi dia merasa bahwa itu adalah salahnya dan dia harus perbaiki itu sampai tuntas.

Begitu keluar dari taksi, Zoey segera mempercepat langkahnya masuk ke dalam lobby apartemen. Dirinya memasuki lift dan menekan tombol lantai. Beberapa kali dirinya menarik napas dan mengeluarkannya lagi untuk menenangkan diri. Semoga ini adalah langkah yang benar untuknya. Sesampainya di koridor, Zoey berlari menuju pada satu-satunya pintu ruangan yang ada di lantai tersebut.

Harapan Zoey adalah kali ini dia tidak terlambat dan memberikan keputusan yang tepat. Perasaan Zoey saat ini sama dengan bagaimana dirinya 9 tahun lalu berlari menaiki tangga. Perasaan panik, takut, dan khawatir menjadi satu. Zoey tidak ingin ada lagi kejadian saat pengumuman hasil ujian sekolah dulu. Hari itu adalah hari yang paling Zoey benci.