"Mohon maaf, kalau untuk itu sepertinya merendahkan saya. Saya tidak pernah berpikiran seperti itu. Saya memang bercerai karena ada alasan pribadi, Bu. Tapi saya tidak mau mengumbar masalah rumah tangga saya," balas Mosa.
"Baiklah, ya sudah sepertinya saya sudah lelah dan ingin pulang. Saya hanya ingin menyampaikan. Jadilah janda yang terhormat, masih muda udah jadi janda," sindir Bu Lana sambil berlalu menjauhi Mosa.
Mosa tidak merasa tersinggung dengan apa yang dikatakan Bu Lana. Ia tahu diri jika dirinya memang janda. Tetapi ia tidak merasa janda yang banyak tingkah. Bahkan selama ini ia juga masih sama, yaitu tidak pernah membalas jika dikatai orang lain.
Sementara itu di tempat lain. Laila yang sudah menjadi istri Roni sedang menikmati masa pengantin baru. Ia tidak perlu lagi bekerja dan Roni juga menyampaikan untuk tetap berada di rumah. Satu minggu setelah hari pernikahannya, Roni sedang bekerja. Laila dipanggil ke rumah mertuanya.
"Laila, kamu jangan malas-malahan kalau di rumah. Bersih-bersih, masak, nyuci juga. Aku lihat-lihat kamu tidak pernah melakukan itu. Makan beli, nyuci kasih laundry, nyapu juga nggak pernah," kata Sarni.
"Loh, kok Ibu ngatur-ngatur saya. Mas Roni saja tidak pernah mempermasalahkan. Aku memang nggak bisa masak, Bu. Jadi jangan paksa aku untuk masak. Aku biasa juga me laundry pakaian karena aku juga tidak ingin kulitku ini rusak terkena sabun. Hidup itu pilihan, Bu. Aku memilih seperti ini kan urusan ku,'' sahut Laila sembari membersihkan kukunya.
"Kamu ini malas sekali. Kalau cuma kayak gitu uang Roni bisa cepat habis karena kamu suka menghabiskan uang padahal kamu bisa melakukannya sendiri," timpal Sarni.
"Kenapa Ibu ini terlalu mengomentari aku sih, Mas Roni juga sebelum menikah bilang, aku akan jadi ratu di rumah. Sebagai ratu itu tidak perlu melakukan pekerjaan pembantu. Lagipula Mas Roni juga biasa saja dan mengizinkan aku untuk menghabiskan uangnya," balas Laila.
"Dasar perempuan malas kamu ini. Kenapa harus Roni memilih kamu. Bisanya cuma menghabiskan uang saja," sentak Sarni.
"Ibu jangan mengatur aku. Mungkin Ibu terlalu cerewet begini makanya istri Mas Roni nggak betah. Tapi sory ya, kalau Ibu cerewet aku bisa lebih cerewet dari Ibu, aku nggak bisa dikalahkan sama Ibu," ancam Laila.
"Dasar menantu kurang ajar, akan aku adukan kamu ke Roni biar tahu rasa," balas Sarni, ia kemudian pergi meninggalkan rumah Roni. Ia sudah merasa muak dengan menantu barunya. Padahal ia hanya memberikan nasihat tetapi malah dinasihati balik.
"Mertua nggak tahu diri. Beraninya dia mengatur aku. Tahu rasa kamu, aku bukan menantu yang lemah. Apalagi harus kalah dengan perkataannya. Mungkin istri Mas Roni dulu hanya diam ketika dikatai, tapi Laila tidak bisa mendapatkan perlakuan kasar," gumam Laila.
Laila kemudian memainkan ponselnya. Ia melihat situs belanja dan mulai melihat daftar yang ada di situs tersebut. Ia memilih beberapa barang untuk dimasukkan keranjang. Bahkan banyak yang sudah dimasukkan keranjang itu ia klik beli dan membayar dengan cara COD.
Laila tidak kehabisan waktu, bahkan berjam-jam ia memilih dan melihat koleksi yang ada di situs tersebut.
Siang hari Roni sudah pulang, ia melihat Laila sedang asyik memainkan ponselnya.
"Eh, Mas Roni sudah pulang," sapa Laila.
"Iya, kamu lagi ngapain?" tanya Roni.
"Ini belanja online mumpung banyak diskon," jawab Laila.
"Bukannya kemarin waktu seserahan sudah beli banyak, ya?" tanya Roni.
"Yah kan beda, Mas. Itu emang kewajiban kamu belikan. Ini mau aku beli sendiri," sahut Laila, ia kemudian melanjutkan memainkan ponselnya.
Roni kemudian menuju ke dapur. Ia berharap akan ada kopi atau teh yang mungkin bisa ia minum saat itu juga. Ternyata tidak ada, ia kemudian membuat sendiri kopinya. Dengan sedikit menahan lelah, ia mulai mendidihkan air untuk kopinya.
Roni kemudian menikmati secangkir kopi yang baru saja ia buat. Lalu perutnya menjerit ingin makan tetapi tidak ada makanan sama sekali.
Roni menghampiri Laila.
"Sayang, kamu nggak masak lagi?" tanya Roni.
Kamu mau makan apa? Sebentar aku mau pesankan dulu. Karena tadi mau pesan apa aku nunggu kamu," jawab Laila.
"Pesan terserah saja, pokoknya kamu juga ikut makan," sahut Roni merasa lemas.
Roni kemudian menghampiri rumah ibunya.
"Kamu kenapa lesu begitu? Nggak dimasakin lagi sama istrimu?" tanya Sarni.
"Iya. Katanya dia lagi pesan. Tapi aku sepertinya sudah sangat lapar," sahut Roni lemas.
"Ya sudah kamu makan sana dulu. Memang keterlaluan itu istri kamu. Tadi Ibu juga sudah mencoba menasihati dia supaya lebih rajin di rumah. Dia kalau di rumah cuma malas-malasan. Makan beli, cuci di laundry, Ibu lihat dia ngapu aja enggak," tutur Sarni.
"Ya sudah mungkin dia ingin menikmati waktu sendiri. Biarin saja lah, Bu," sahut Roni.
"Kamu sebesar mungkin nasihati dia, Ron. Jangan dibiarkan nanti dia makin ngelunjak. Beli ini itu nggak mikir. Padahal kerja juga enggak. Gitu kayak berasa ratu saja," ketus Sarni.
"Nanti aku coba bilang deh ke Laila, sekarang aku mau makan dulu, Bu," sahut Roni. Sejak tadi Roni memang menahan lapar agar bisa makan di rumah. Berharap Laila sudah menyiapkan makanan dan minuman untuknya. Tetapi harapan itu tidak terealisasi, karena Laila hanya sibuk dengan ponselnya bahkan sama sekali tidak memperdulikan kehadirannya.
Setelah makan, Roni mencoba untuk pulang. Ternyata makanan yang dipesan Laila baru saja tiba.
"Ini, Mas. Aku pesan bakso. Ayo dimakan," ajak Laila.
"Maaf, Laila. Aku sudah makan di rumah Ibu. Karena aku sangat lapar," sahut Roni.
"Kamu tuh gimana sih, Mas. Nyuruh beli tapi malah makan duluan," protes Laila.
"Yah tadi aku juga dengar dari Ibu kalau Ibu sudah menasihati kamu untuk memasak tetapi justru Ibu yang kamu ceramahi. Harusnya kamu harus lebih bisa menghormati Ibuku. Bagaimana pun dia adalah mertua kamu, Laila," Roni menasihati Laila.
"Jadi kamu menyalahkan aku dan membela ibumu itu? Iya? Sekarang kamu lupa sebelum menikah sama aku, kamu pernah bilang apa? Aku akan jadi ratu di rumah kamu. Masa iya seorang ratu harus melakukan pekerjaan babu?" balas Laila keras.
"Setidaknya kamu bisa menghormati Ibuku. Sebelum menikah Ibuku yang merawat aku hingga besar."
"Hey, menurut kamu aku tiba-tiba besar juga. Aku juga punya orangtua, Mas. Aku rela berjauhan dengan orangtua hanya untuk menemani kamu. Tetapi tidak untuk menjadi babu. Kamu punya uang banyak pakailah jasa pembantu, kenapa susah sekali?"
"Bukan seperti itu, yah setidaknya kamu melakukan hal yang ringan seperti menyapu atau sekedar memasak ringan. Nggak yang selalu beli di luar. Aku juga pengen mencicipi masakan kamu!"
"Oh, jadi cuma karena kamu mau mencicipi masakan aku, tapi jangan salahkan aku kalau masakan aku tidak enak. Karena aku tidak bisa memasak."
"Yah minimal buatkan kopi untuk aku yang baru pulang, atau menyiapkan teh hangat ketika sore hari. Masa itu memberatkan untuk kamu?"
"Aku saja tidak pernah membuatkan minum atau makan untuk orangtuaku karena aku terlalu sibuk bekerja."
"Nah, saat ini kan kamu tidak bekerja jadi tolonglah sedikit untuk mengerti!"
"Iya udah besok aku buatkan," sahut Laila, lalu meninggalkan Roni.
Roni menghela nafas panjang, kemudian ke belakang untuk membersihkan diri. Ia tidak menyangka jika sikap Laila akan seperti itu.
Saat adzan magrib berkumandang, Roni segera bersiap untuk ke masjid seperti biasa. Namun Laila tetap sibuk dengan ponselnya. Roni tak ingin berdebat, ia memilih untuk berangkat ke masjid tanpa mengatakan pada Laila maupun mengajaknya.
Roni menghabiskan waktu di masjid sampai isya. Ia masih merenungi apa yang sedang terjadi pada rumah tangganya. Menikahi Laila bukan menjadi pilihan terbaik. Karena Laila tidak pernah mementingkan Roni. Laila hanya sibuk dengan ponselnya. Entah untuk berbelanja online atau chatting bersama teman-temannya.
Roni masih mencoba merasa bahwa pilihannya benar. Memiliki istri yang ia idaman yang cantik. Tetapi semakin ia memaksa semakin ia merasa tak nyaman. Laila memang cantik tetapi hanya cantik wajahnya saja.