Selamat Membaca
Dari dulu hingga sekarang, tidak ada yang berubah. Reynand tetap menjadi seorang laki-laki yang sarat akan kebahagiaan. Inikah yang dinamakan karma menular? Atau ... ini sudah menjadi garis takdir hidupnya dari Tuhan?
Reynand, laki-laki yang mempunyai banyak kesakitan dalam dirinya. Tidak pernah berubah, dirinya selalu dikucilkan karena ayahnya seorang koruptor. Semuanya terasa begitu berat dijalani. Bukankah Reynand termasuk kuat? Karena sampai saat ini, dia belum pernah melakukan percobaan bunuh diri.
Adakah seseorang yang mau memperdulikan Reynand selain Gina Stefani Alexander? Seseorang yang bisa memberinya kebahagiaan. Seseorang yang menjadi sumber kekuatan untuk laki-laki itu bertahan hidup. Namun nyatanya, diri Reynand telah hancur sehancur-hancurnya.
"Kamu gak bisa kayak gini terus, Nand. Kamu harus bangkit, lawan semua orang-orang yang jahat sama kamu. Kamu gak mau menderita terus, 'kan? Lawan! Jangan diem aja!"
Reynand menghela napas panjang setelah memahami isyarat dari Gina Stefani. Murid pindahan yang sangat pintar, hingga bisa masuk ke kelas unggulan. Namun sayangnya, Alaska adalah seorang gadis kumuh berkacamata. Sehingga posisinya sebagai murid kelas unggulan tidak berguna sama sekali.
"Gak segampang itu, Gina! Mereka banyak, sementara aku sendiri. Udahlah, aku tahu kalau aku gak pantas bahagia. Biar sampai mati hidup aku terus dipenuhi sama kata-kata anak koruptor, anak penjahat, anak yang merugikan bangsa. Karena memang itu nyatanya!"
"Kamu lupa? Masih ada aku di sini. Aku akan selalu ada buat kamu, gimana pun caranya."
"Makasih, Gina. Aku beruntung bisa kenal sama kamu." Reynand mendekap tubuh sahabatnya itu.
Tubuh yang selalu siap menemani dirinya kapanpun dan dimanapun. Walau ia tahu, bahwa tubuh itu juga menanggung beban yang sangat besar.
"Aku sering berkeluh-kesah sama kamu, Gina. Tapi kamu sekali pun gak pernah nyeritain masalah kamu ke aku. Sekarang, aku siap mendengar apapun masalah yang ada di dalam hidup kamu. Selain kamu yang selalu diejek karena kekurangan kamu itu," ujar Reynand.
"Aku baik-baik aja, kok, Nand. Saat ini, yang butuh perlindungan dan perhatian itu kamu. Aku baik-baik saja."
"Kamu gak pernah baik-baik saja, Gina! Kamu sakit! Kamu menderita! Stop berlindung dibalik kata baik-baik saja. Sebagai sahabat kamu satu-satunya, aku harus tahu segala kesakitan yang kamu alami. Aku harus berterima kasih sama kamu, Gin. Karena selama dua bulan terakhir ini, kamu mau berteman sama anak koruptor kayak aku."
Air mata mulai membasahi pipi Gina. Gadis itu berhambur memeluk sahabatnya. Iya, Gina tidak kalah menderitanya dengan Reynand. Hanya saja gadis itu lebih tertutup tentang masalah hidupnya.
"Okay, aku akan ceritakan masalah dalam hidup aku ke kamu. Aku harap, masalah ini gak akan menambah beban hidup kamu, ya, Nand."
"Gak akan, Gina. Ceritain aja."
"Singkatnya, orang tua aku pisah. Dan mereka gak mau bawa aku. Kalau biasanya orang tua memperebutkan hak asuh anak, tapi orang tua aku nggak. Mereka malah menelantarkan aku, dan sibuk sama keluarga baru mereka. Jadi sekarang aku tinggal sama Tante aku, yang ternyata mau ngurus aku cuma buat dijadiin babu. Dia gak pernah kasih aku uang jajan. Dia juga kasih aku makan cuma sekali dalam sehari."
"Aku cukup sadar diri, kok, Nand. Masih bagus Tante Paula mau kasih aku tempat tinggal. Ya ... segitu aja, sih, cerita hidup aku. Singkat, tapi sakit banget."
Reynand tidak mampu membendung air matanya lagi. Ia kembali mendekap tubuh Gina.
"Aku tahu kamu kuat, Ka. Bertahan, ya? Kita berjuang sama-sama."
"Makasih banyak, Nand. Aku senang bisa sahabatan sama kamu."
"Aku juga."
***
"Kenapa kamu ranking 2 lagi, sih, Reynand? Mama muak, ya, liat prestasi kamu yang segini-segini aja! Usaha lebih keras lagi gak bisa, hah?" sergah Nagita Ibu Reynand. Wanita paruh baya itu melempar kertas nilai ujian ke muka sang anak.
"Kalau kayak gini terus, kamu gak ada bedanya sama si tua bangka itu. Beban dan gak berguna!" Nagita berlalu pergi dengan amarah yang menguasai dirinya.
Reynand memungut beberapa lembar kertas yang berjatuhan di lantai. Ia tersenyum miris. Menyedihkan sekali, bukan?
"Dan ... terjadi lagi."
Terjadi lagi. Nilai yang seharusnya memuaskan bagi sebagian besar orang tua, namun tidak untuk orang tua Reynand. Yang mereka tahu hanya ranking 1 dan juara umum. Bukankah 5 besar sudah cukup bagus? Reynand bahkan tidak pernah turun ke angka 6.
"Mau sehebat apa pun gue, gak akan pernah bagus di mata kalian, Ma, Pa."
"Reynand, gimana hasil nilai ujian kamu?" tanya Rendi Ayah Reynand, yang baru saja pulang kerja.
"Nih." Reynand menyodorkan kertas nilai ujian tersebut kepada ayahnya.
"Apa-apaan kamu, Nand? Ranking 4 lagi? Kapan kamu bisa bikin papa bangga? Belajar itu yang bener, biar bisa jadi orang sukses kayak papa gini."
"Sukses hasil korupsi? Terus dipenjara tujuh tahun? Akhirnya berimbas ke istri dan anak. Gitu maksud Papa?"
Skakmat. Rendi langsung bungkam seribu bahasa. Sudah setahun lebih semenjak dia keluar dari penjara, tetapi kesalahannya itu masih sangat melekat. Penjahat tetap penjahat!
"Jangan kurang ajar kamu, Reynand! Kamu hanya seorang anak yang tidak bisa membanggakan orang tuanya!"
"Mungkin hanya mata hati kalian yang sudah tertutup. Bagi orang tua kebanyakan, ranking 4 itu sudah sangat bagus, Pa. Sementara Mama dan Papa apa? Menurut kalian, anak pintar itu anak yang mendapatkan ranking 1. Itu aja, kan, yang kalian tahu?
Kalian juga gak pernah mau tahu, kan, gimana kehidupan aku? Kalian gak tau rasanya dikucilkan, kalian gak tau rasanya dimusuhi satu sekolah.
"KALIAN GAK TAHU ITU! DAN GAK AKAN PERNAH MAU TAHU!"
Reynand merampas kertas nilai ujiannya dari tangan Rendi. Ia berlalu pergi dengan dada yang naik turun karena amarah.
Rendi terhenyak di tempatnya. Ini pertama kalinya Reynand berani membentak dirinya.
Memangnya siapa yang akan tahan dengan sikap orang tua yang seperti itu? Menuntut kesempurnaan, tetapi mereka sendiri belum sempurna menjadi orang tua.
Reynand mengusap wajahnya gusar.
"Sial, sial, sial! Kenapa, sih, gue harus hidup kayak gini? Punya keluarga yang seolah-olah tak menginginkan kehadiranku di dunia ini."
"Nuntut gue buat selalu mendapat nilai sempurna, tapi mereka sendiri jauh dari kata sempurna dalam mendidik anak. Udah gila kali, ya?" monolog Reynand kesal.
Laki-laki itu mengambil kunci motornya lalu berlalu pergi tanpa pamit. Sudah menjadi kebiasaan Reynand pergi tanpa berpamitan terlebih dahulu. Lagipula, orang tuanya sibuk dengan urusan mereka masing-masing.
Sebenarnya, semua sifat Reynand yang mungkin bisa dibilang agak kurang ajar ini, tidak terlepas dari bagaimana cara Naqia dan Rendi mendidik dirinya. Mereka terlalu sibuk bekerja dari pagi sampai malam, hingga mereka lupa, bahwa mereka masih mempunyai seorang anak yang masih membutuhkan kasih sayang. Tanpa bimbingan dan perhatian yang cukup, mereka menuntut segala kesempurnaan dari Reynand. Apakah hal itu sepadan?
"Mau ke mana kamu, Nand?" tanya Nagita sembari berjalan menuruni tangga.
"Keluar."
"Mama tahu kamu mau keluar, mama nanya kamu mau ke mana?"
"Tempat di mana ada kebahagiaan di dalamnya."
Tanpa menunggu jawaban dari Naqia, Reynand langsung berlalu pergi. Mengendarai motor sport hitam untuk menemui Alaska.
***
"Kamu ngapain kesini malam-malam?" tanya Gina yang duduk di sebelah Reynand.
Kini dua anak manusia itu sedang duduk di taman. Melihat indahnya bintang-bintang yang bersinar terang di langit malam.
"Aku gak suka di rumah, Gina. Rasanya hambar. Gak ada kebahagiaan di sana."
Gina tersenyum kecut. Ia mengelus pelan lengan Reynand.
"Aku tahu kamu laki-laki yang kuat. Kamu pasti bisa lewatin semua ini."
"Kita dua orang yang sama, Gina. Kita dua orang yang sama-sama mempunyai bad destiny."
"Aku tahu itu, tapi gak ada yang bisa kita lakukan selain berdoa sama Tuhan, supaya merubah takdir buruk ini menjadi takdir yang jauh lebih baik. Kita juga pantas bahagia, 'kan?"
"Pantas, sangat pantas. Ini semua cuma tentang waktu. Aku yakin itu, Gina."
Reynand tersenyum simpul. Di sini, tempat yang ada kebahagiaan di dalamnya. Taman dan Gina.