webnovel

Chapter 2

Sara menyusup masuk ke dalam lift yang dimasuki oleh Ryan dan wanita itu. Meninggalkan Jane yang melongo bingung.

Di dalam Lift ada dua orang lain yang berdiri di depan Ryan, Sara dengan hati-hati mengambil tempat di depan Ryan. Rupanya Ryan terlalu asyik selingkuh sehingga tidak menyadari kehadiran Sara.

Sara menutupi wajahnya dengan brosur hotel yang di bawanya dari meja informasi. Di belakangnya, Ryan dan wanita itu berciuman dengan manja.

Wanita berambut keriting berwarna hitam itu memakai lipstik merah. Perhiasan yang mengkilap dan gaun yang nampak mahal.

"Sayang, aku ingin kita bermalam di sini," rengek wanita itu. Ryan mengangguk kemudian mengambil ponselnya yang terletak di saku celananya.

Tak lama ponsel Sara bergetar. Seolah tak mengenal mereka, Sara meraih ponselnya di dalam tas dan membaca pesan singkat. Betapa terkejutnya ia ketika membuka pesan itu, dari Ryan yang tepat berada di belakangnya.

"Aku tak pulang malam ini. Lembur. Tidurlah dan jangan menungguku"

Wajahnya panas. Ia geram. Ia telah berkorban apa saja demi Ryan. Merelakan hidupnya jauh dari ibunya, Mengurus rumah Ryan dan tidak bekerja. Menjadi pelampiasan nafsu birahi Ryan. Tidakkah Ryan pikir ia harus melakukan ini di sini?? Di tempat kerja Sara? Mengapa tidak di tempat lain?

Tak tahan lagi, Sara membuka samarannya. Ia berpaling dan membuang brosur yang menutupi wajahnya. Ryan terkejut tapi dia nampak tenang seolah itu bukan hal yang besar.

"Oh Sara. Kau di sini," Ryan tak merasa bersalah sedikitpun. Wanita itu mendengar nama Sara. Kemudian tertawa sambil bertepuk tangan.

"Wah kejutan apa ini? Kami tidak lagi harus bersembunyi untuk bersama karena kau ada di sini," ujar wanita itu santai. Wanita tersebut nampaknya tahu status Sara dan tengah menantikan agar Ryan meninggalkan Sara.

"Dasar kurang ajar. Begini cara mu memperlakukan aku yang dua tahun bersamamu?"

"Seharusnya kau berkaca Sara. Kau jelek sekali. Lihatlah Erika. Dia cantik. Merawat tubuhnya dengan baik, wangi da.."

Belum sempat Ryan menyelesaikan kalimatnya sebuah tamparan mendarat di pipinya. Dua orang lain yang berada di lift menyaksikan semuanya.

Marah Sara menampar Ryan, Erika mulai menjambak rambut Sara dan membenturkannya ke dinding lift.

"Wanita sial!!! Tinggalkan kekasihku!! Kau tak pantas untuknya!!" Erika memukuli dan mencakar wajah Sara hingga kulit pipinya terkelupas dan berdarah.

Sara tak mampu berkata-kata. Ryan pun tak mau membelanya. Satu orang yang berada di lift berusaha menenangkan Erika. Sedangkan yang satu lainnya memencet tombol lift. Agar mereka bisa keluar dari kekacauan ini.

Pintu lift terbuka di lantai sepuluh. Dua orang itu segera keluar dari lift dengan ketakutan. Sara meringis kesakitan. Karena Erika masih memukulinya, menampar pipinya dan mengencangkan jambakan rambut Sara.

"Wanita sialan. Enyah kau dari hidup Ryan!!! Dia Milikku!!!" Teriak Erika beringas.

Ryan tak mau ketinggalan. Di tendangnya perut Sara hingga ia melangkah keluar Lift.

Orang-orang yang melihat menggerumbungi Sara yang tak berdaya. Darah mengalir di antara kedua pahanya. Sara bahkan tak mampu bergerak. Ia seolah tak bisa bernafas.

Ryan dan Erika menutup pintu lift dan pergi entah ke lantai berapa.

"Seseorang panggil ambulans!!"

"Dia keguguran!!"

"Dia kenapa ya??"

"Siapa yang melakukan ini?"

Desas desus kerumunan orang mengelilingi Sara namun tak ada yang berani menolongnya atau menyentuhnya. Seorang laki-laki keluar menyeruak dari keramaian. Laki-laki itu mengenakan sebuah apron berwarna putih, dia melangkah mendekat. Dan langsung membawa Sara turun dengan lift selanjutnya.

Sara, yang masih bertahan di pelukan laki-laki yang tak dikenalnya, mulai kehilangan kesadaran. Ia menggendong Sara dengan mudah, seakan tubuh Sara ringan baginya.

"Bertahanlah, nona," laki-laki itu bersuara rendah dan tubuh Sara tenggelam dalam pelukannya.

Kini lift berada di lantai satu. Jane yang berada tepat di depan lift terkejut melihat keadaan Sara.

"Ya tuhan Apa yang terjadi!!!" Teriak Jane.

"Cepat panggil lah taksi, kita harus menyelamatkannya, tidak ada waktu menunggu ambulans." Laki-laki tersebut terus menggendong Sara.

Jane dengan diiringi laki-laki itu berjalan ke sebuah taksi yang di parkir di depan gedung hotel.

***

Sara membuka mata. Dilihatnya infus yang berada di lengan kirinya. Perut dan kemaluannya terasa sakit dan ngilu sekali.

"Nngghhh...." Sara merintih kesakitan. Jane melompat dari kursinya berlari ke arah Sara.

"Kau sudah sadar? Syukurlahh!" Jane terlihat sangat cemas.

"Aa..a.." Sara masih terbata-bata.

"Tenanglah kau berada di rumah sakit. Aku dan Chris minta maaf karena tidak dapat lebih cepat membawamu kemari. Dan aku turut sedih atas keguguran kandunganmu. Aku minta maaf," sesal Jane sambil memeluk Sara.

"Keguguran??"

Jane menutup mulutnya.

"Kau tidak tahu?"

Sara menggeleng. Air mata jatuh di wajahnya yang pucat pasi.

"Bangsat. Bedebah itu menendang perutku. Ia membunuh anaknya sendiri!"

Sara penuh dengan kebencian. Dalam hatinya tak ada lagi cinta tersisa untuk Ryan. Tak akan lagi ia kembali ke apartemen itu. Ia akan berdiri di atas kakinya sendiri. Sebagai wanita mandiri.

Sara yang baru telah terlahir hari ini.

***

"Chris Wade Breton yang menyelamatkanmu" Jane berjalan di sisi Sara menuju lobby hotel untuk makan siang di luar. Seminggu setelah kejadian yang membuat Sara keguguran.

Langkah Sara terhenti. Kembali ia melihat Ryan di Lobby. Tapi kali ini tidak bersama wanita itu, Ryan berlutut di lantai memohon kepada seorang pria.

"Itu Chris. Michelin star Chef di restoran ini. Seharusnya posisi General Manager di milikinya. Namun ia memberikan posisi itu kepada adiknya. Tapi nampaknya keputusan Chris masih dapat mempengaruhi banyak hal di Hotel ini." Jelas Jane kepada Sara yang melihat itu.

"Kau melakukan apa yang tidak aku senangi. Perusahaan ku dan seluruh karyawanku akan berhenti memakai asuransi darimu!"

Suara Chris Wade Breton menggema di lobby hotel. Banyak mata yang menatap.

"Tuan, saya tidak tahu apa yang terjadi. Jika ini masalah pelayanan, maka akan kami perbaiki. Berlutut kau Bodoh!" Seorang lelaki paruh baya berlutut memohon pada Christ, kemudian memerintahkan Ryan untuk berlutut.

"Tuan, saya mohon ampun. Jika anda melakukan ini, saya akan dipecat." Ryan berlutut memohon di hadapan Chris. Ia menangis.

Sara melihat lebih jauh. Terlihat wajah Erika diantara kerumunan orang. Wajah Erika seketika pucat. Sara tak tahu mengapa Chris memutuskan kontrak kerja sama dengan Perusahaan asuransi tempat Ryan bekerja.

"Tuan tolonglah jangan seperti ini," pinta Ryan.

Wajah Chris nampak dingin. Tak ada emosi di sana. Menatap Ryan yang memohon di lantai. Kemudian Chris berlalu melewatinya.

"Minggir, kau menghalangi jalanku!" Chris melangkahkan kakinya menuju Restoran.

Kerumunan orang pun menjauh begitu pula Erika.

"Erika! Tunggu!" Ryan bangun dari posisinya dan berlari menuju Erika.

"Diam! Jangan kau berani-berani mendekatiku. Kita putus!" Erika mencampakkan Ryan.

Sara dan Jane yang memperhatikan sejak tadi berdiri di dekat meja informasi. "Ish.. Aku yakin Chris melakukannya karena Ryan berbuat salah kepadamu."

"Aku tak tahu pasti tapi mereka layak mendapatkan hasil dari apa yang mereka perbuat," Sara berjalan keluar hotel disusul oleh Jane.

"Heiii.. Tunggu aku!" teriak Jane.

"Jane.. Terimakasih sudah merawatku satu minggu ini. Aku benar-benar berhutang padamu," Sara memegang tangan Jane. Jane tersenyum.

"Kita kan berteman, Sara. Aku tidak meninggalkan temanku apalagi saat ia sedang kesusahan," Jane terlihat tulus dan membalas pegangan tangan Sara. Mereka menjadi sahabat baik.

Tiba-tiba Ryan menarik tangan Sara. Pegangan tangan Sara dan Jane terlepas.

"Heh! Wanita jalang!! Ini semua gara-gara kau, 'kan? Kau mengatur agar aku kehilangan pekerjaanku kan?" wajah Ryan terlihat linglung dan marah. Tatapan matanya kosong. Dengan kedua tangannya ia mengguncang bahu Sara.

"Hentikan ini! Dasar orang gila!! Tolong!!" pekik Jane sambil memandang sekitar mencari pertolongan. Mencegah Ryan agar berhenti menyakiti Sara

"Kau pembunuh! Kau membunuh anakmu sendiri! Kau tidak tahu malu!" maki Sara. Air matanya berderai.

"Apa kau bilang?? Anak?" satu tangan Ryan terangkat di udara siap untuk menampar Sara.

Tepat pada waktunya, Chris datang menangkis tangan Ryan.

"Apa yang kau lakukan disini, kontrak kita sudah berakhir. Jika kau menyentuh karyawanku, aku akan melayangkan surat gugatan untuk mu dan kau akan bersiap menghadapi akhir dari karir mu!". Chris mengancamnya tepat sasaran. Tak ada pilihan lain, Ryan mundur.

"Kalian berkomplot menghancurkanku! sama-sama bejat! Seorang jalang dan bajingan! Kalian memang benar-benar tercipta untuk saling melengkapi!" Ryan pergi dengan kesal dan masuk ke sebuah taksi.

"Ohoo.. Lihatlah siapa yang bicara seperti itu?? Apakah dia bicara tentang dirinya sendiri, kau cari mati hah?" teriak Jane ke arah taksi yang di tumpangi Ryan.

Chris berpaling kepada Sara. Melihat tubuh Sara untuk memastikan tak ada yang terluka.

"Kau baik-baik saja?" tanya Chris sambil memegang pundak Sara kemudian mengusap punggungnya. Sara mengangguk.

Sentuhan yang lembut namun hampir membuat jantung Sara berhenti berdetak.

"Kalian ingin pergi?" tanya Chris lagi kepada Jane dan Sara.

"Iya tuan Breton, kami akan pergi untuk makan siang,9" jawab Jane.

"Sekali-sekali mampirlah ke restoran ku. Akan ku traktir. Terutama kamu, Sara."

"Ah.. Terimakasih Tuan sudah menolong saya. Saya berhutang banyak pada anda."

"Jika butuh bantuan atau bedebah itu masih mengganggumu, katakan saja padaku."

"Baiklah Tuan, terima kasih. Kami permisi." Ujar Sara yang terburu-buru. Kejadian ini membuatnya terkejut.

Chris mempersilakan mereka pergi, kemudian kembali masuk ke dalam hotel.

Jane dan Sara melanjutkan jam makan siang mereka.

Cole dari lantai dua mengamati mereka. Tangannya menggenggam kuat dan bergetar. Ia melihat sesuatu yang membuatnya marah.

***

Telepon di atas meja Sara berbunyi.

"Sara, ini adalah Sekretaris Yin. Mr. Breton memanggilmu ke ruangannya sekarang juga," suara di seberang sana terdengar cemas.

"Baiklah," jawab Sara. Kemudian ia menutup telepon.

Sara membuka kunci laci mejanya, terdapat kartu kredit yang diberikan oleh Cole. Sara menggenggamnya dan berdiri. Ia berjalan menuju ruangan tempat Cole berada.

***

"Sudahkah kau melakukan apa yang ku minta?" tanya Cole. Dengan gaya khasnya yang angkuh Cole duduk di sisi mejanya dengan melipat kedua tangannya. Menatap Sara tajam.

"Maaf tuan. Saya tidak bisa menerima ini." Sara menyerahkan kartu itu dengan kedua tangannya.

"Tidak cukup?" tanya Cole sambil berdiri.

"Ini lebih dari cukup tapi saya tidak bisa menerima uang anda. Tidak tanpa saya bekerja." Sara menolak dengan halus. Ia tahu kalau Cole marah jika ada yang tidak patuh padanya

"Kalau begitu, kau bekerja di kantorku. Mulai detik ini."