Alea bersembunyi di bawah ranjang sambil menutup mulutnya, dia berusaha keras untuk menahan bersin sebab bagian kolong meja ini terdapat debu. Dia penasaran dengan apa yang akan dilakukan oleh kedua manusia itu di dalam kamar ini. Yang jelas, Alea berusaha untuk tidak berpikiran buruk. Lagi pula Bram terlihat seperti pria baik-baik.
Sedangkan sang wanita mulai duduk di atas kedua paha Bram. Bibir ranum yang dibubuhi lip gloss mahal itu terlihat menggoda di penglihatan Bram yang mempunyai usia terpaut 17 tahun darinya.
"Dia tidak tahu kau ke sini, kan?"
"Tidak. Dia sedang sibuk untuk persiapan besok,"
Alea harap ini mimpi. Oh, tidak. Dirinya tak mempercayai sekarang tengah berada di antara Laki-laki selingkuh dan wanita jalang.
"Apa dia tidak pernah mencurigaimu?"
"Kenapa kamu banyak bertanya?" tangan besar Bram meraba punggung wanita itu. Sementara kedua tangan perempuan tersebut mulai memegang kedua rahang Bram. Bibir ranumnya menyentuh bibir Bram. Hal itu membuat bagian di bawah sana mencuat.
Bram membalas ciuman itu dengan kasar, melahap buah bibir itu hingga wanita seksi tersebut hampir saja kehilangan nafas. Suasana di sekitar mereka berubah panas terlebih lagi tangan Bram yang meraba-raba ke bagian sensitif tubuh perempuan tersebut. Sampai Bram membuat raga ramping itu terbaring di bawahnya.
Tangan Wanita itu tiba-tiba mendorong dada Bram sampai pangutan mereka terlepas. "Biarkan aku mengambil oksigen sebentar." ujarnya dengan nafas memburu.
Telapak lengan Alea sudah mengepal sedari tadi. Ini tidak bisa dia biarkan. Satu tangannya merogoh saku, berusaha untuk meraih telepon, namun yang dia dapat hanyalah angin belaka. Alea lupa. Dirinya lupa membawa ponsel atau mungkin benda pipih itu terjatuh.
Bunyi ikat pinggang dijatuhkan terdengar bersamaan dengan celana yang mulai dilepas. Alea bisa melihat kedua benda itu dari kolong ini. Gadis itu masih belum berani untuk keluar. Rasanya mustahil. Ada banyak resiko yang tidak bisa dia tanggung nanti.
Bram mulai menimpa kembali tubuh sintal itu. Helaian benang yang terbentuk indah perlahan dilepaskan dari raga perempuan di bawah kendalinya ini. Dia tidak bisa menahan dorongan kuat yang ada pada dirinya. Dengan kasar Bram membuka penahan itu sampai tampaklah inti yang menjadi tujuannya sekarang. Dia mendekatkan badan,benda itu sudah mulai menusuk satu detik lalu membuat Wanita itu menggeliat dengan kedua tangan yang meremas sprei putih.
Desahan yang dikeluarkan dari keduanya membuat Alea menahan mati-matian untuk tidak mengumpat. Sungguh, dia benci berada di situasi seperti ini. Dasar brengsek. Decitan ranjang terdengar bersamaan dengan suara menjijikkan.
Alea menjadi panas dingin. Keringatnya mulai mengalir di pelipis. Tangannya bergemetar tidak karuan. Di sekitarnya pengap. Oksigen menipis. Dirinya seperti akan pingsan saat ini juga. Ini kali pertamanya dalam hidup, menyaksikan hal yang menjijikan seperti ini.
***
"Terimakasih, Baby."
Alea baru bisa menghela nafas. Derap langkah terdengar setelahnya. Dia menyeka kasar keringat yang dari tadi membasahi pelipis.
Tapi tunggu.
Dia merasakan ada sesuatu yang aneh. Sesuatu yang merambat di kakinya. Alea perlahan menengok ke belakang. Seketika kedua matanya terbuka sempurna.
Tikus!
Hewan sialan itu merambat di kakinya. Gigi-gigi tikus tersebut mulai menggigit dan lebih parahnya lagi, datang tikus lain.
"AAKHHH!" Alea sungguh tidak tahan lagi. Dia keluar dari kolong kamar penuh kuman itu dengan nafas tersengal-sengal.
Wanita itu langsung menutupi sebagian tubuhnya dengan selimut. "Siapa dia?" Ia menatap Bram, meminta penjelasan. "apa kau menyuruh dia untuk merekam semuanya, lalu memerasku. Begitu?!"
"Tidak. Aku sudah punya banyak uang. Untuk apa memerasmu?" Sahut Bram. Pandangannya kini teralih pada Alea tengah mengusap lengannya yang terlihat berdebu. "kenapa kau ada di sini?!" tanya Bram, berhasil membuat fokus Alea terbuyar sekaligus tersentak.
"A--aku... tadi tidak sengaja ke sini,"
Tidak menjawab, Bram mengeluarkan satu amplop tebal dan menoleh, kemudian melemparkannya tepat di wanita yang merupakan istri rekan kerjanya. "Ambil itu. Bawa pulang. Jangan kasih tau siapapun tentang malam ini."
Wanita itu menerimanya dengan senyum puas sambil menghitung banyak lembar yang ada di dalam amplop sana. "Perlu bantuanku untuk membungkam mulut dia?" iris mata cokelatnya terarah pada Alea.
"Tidak. Sudah aku bilang, pergilah sebelum aku berubah pikiran!" kata Bram nyaris membentak.
Alea tersentak. Ia menunduk saat wanita itu berjalan melewatinya usai memakai baju. Setelah dirinya benar-benar berdua di ruangan ini bersama Bram, Alea menggigit bibir bawah. "Aku permisi pulang dulu, Pak." bahkan sekarang dia tidak sudi lagi memanggil Bram dengan sebutan 'ayah'.
"Pulang? Kapan aku menyuruhmu untuk pulang?" Bram berdiri, tangannya bergerak memegang kedua pundak Alea dengan kuat sampai Gadis di hadapannya ini terlihat meringis.
"Lepas!" Alea menatap Bram dengan berkaca-kaca. Dia melayangkan tamparan keras membuat Bram menoleh ke samping.
Bram mengusap rahangnya yang terasa panas. Baru pertama kali ada seorang yang sangat lancang padanya. "Berani kamu berbuat seperti ini pada saya?!" bentakan itu menggelegar.
Alea tidak gentar. Kedua mata memerah sekaligus berair itu menatap Bram. "Kenapa?! Aku enggak takut! Justru aku yang tanya, kenapa Om berani mengkhianati Ibu aku!? Padahal aku yakin Ibu udah baik sama Om. Kenapa Om tetap menyentuh wanita itu?!" lengking Alea sekuat tenaga, ia menumpahkan semua rasa muak yang dari tadi dia pendam.
"Oh, jadi kamu sudah berani membentak saya?!" tangan besar Bram menarik kuat rambut Alea, lantas membenturkannya ke tembok. Alea meringis. Kini pandangannya mengabur. Sementara tangan satu Bram mengunci kembali kamar yang sempat terbuka.
"Pikirkan baik-baik. Jika kamu melaporkan ini semua,sebelum itu saya akan membatalkan pernikahan ini tiba-tiba. Ibumu sangat mencintaiku. Kamu pasti tau, kan, apa yang akan Ibumu rasakan kalau pernikahan batal? Dia akan depresi dan bahkan bisa menjadi gila. Dengan mudah aku bisa saja membuat perusaahannya bangkrut karena Ibumu masih berada di bawahku. Kau tau? Perusahaannya itu bagaikan semut yang bisa aku singkirkan dengan mudah." Tarikan di rambut Alea semakin menguat.
Alea menatap ketakutan Pria yang tengah memandangnya dengan tatapan menusuk. Namun di sisi lain, dia tidak ingin sang ibu jatuh miskin seperti dulu dan kembali bekerja sebagai wanita malam, pekerjaan menjengkelkan yang pernah ia dengar.
"Hm? Kenapa diam? Keberanian mu sudah lenyap? Apa kamu akan tetap bersikukuh untuk melaporkan tentang malam ini? Oh, baiklah. Aku akan bilang ke Ibumu, bahwa pernikahan batal." Jambakan di surai hitam Alea akhirnya dilepas. Bram beralih mengambil ponsel di saku, saat itulah Alea segera menahan.
"Jangan." Alea harap keputusan yang ia ambil dapat membuat Ibunya bahagia. "a--aku enggak akan bilang tentang malam ini ke siapapun." lanjutnya lirih lantaran masih dikuasai oleh rasa bimbang.
"Baiklah. Sudah aku duga jawabanmu akan seperti itu,"
"Aku permisi pulang." Alea bergeser menjauhi Bram, lantas membalikkan badan. Telapak tangannya memegang handle pintu. Alea mencoba membukanya beberapa kali, tetapi percobaannya itu sia-sia.
Pintu ini ... dikunci.
Alea dengan ragu menengok ke belakang. Di sana Bram menyeringai. Gadis itu menggeleng cepat. Mengapa dia tidak menyadari kalau tadi pintu dikunci? Dia... telah masuk ke dalam jebakan Pria itu!
"Enggak!" bentak Alea. Kedua tangannya menggedor-gedor pintu dengan keras. Entah ada orang atau tidak di luar, dirinya sama sekali tidak mendapat respons.
"Tolongin aku!"
"Siapapun di luar, tolong!"
"Tolong!"
"Tolongin aku!"
"Akkhhh!"