Alea memandang lurus, dia terkejut bukan main melihat Reynal ada di depannya dengan keadaan babak belur di bagian wajah. Bercak darah yang ada di kemeja putih Reynal menambah rasa ngilu Alea yang melihatnya.
Alea bergegas menahan tubuh Reynal saat terlihat hampir saja jatuh. "Kenapa kamu bisa begini?"
"Aku harus ke dalam--"
"Enggak. Jangan. Keadaan kamu sudah parah. Siapa yang melakukan semua ini?"
"Itu enggak penting, Al..." lirih Reynal, bahkan sorot kedua mata itu telah sayu.
"Tentu aja itu--"
"Uhukk! Uhukk!" Reynal terbatuk-batuk. Cairan merah kental keluar, mengenai lengan atas Perempuan yang tengah menahan tubuhnya ini.
Mendadak Alea menjadi panas dingin. "Kita harus ke rumah sakit sekarang."
"Tapi, Al..."
Alea meraih lengan besar Reynal, lantas menempatkan di pundaknya. Dia mulai berjalan tertatih-tatih menuju tepi jalan sana untuk menghadang bus.
***
Orang-orang berangsur pergi dari pemakaman lantaran langit sudah kelabu, namun hal itu tidak berlaku pada Sarga. Dia duduk di samping makam, memegang nisan bertuliskan nama Chika Alistina. Bukan orang asing, Chika adalah temannya yang selama ini bersekolah di luar negeri. Mereka sering bertukar kabar setiap harinya.
Semalam Gadis itu baru saja pulang kemari. Sarga menjemputnya dan menunggu di seberang jalan, namun yang ia dapat adalah hal mengerikan. Chika tertabrak oleh mobil. Yang membuat Sarga lebih benci, pelakunya adalah Reynal. Laki-laki sialan itu pergi meninggalkan Chika begitu saja.
"Aku janji, Yang, enggak akan lepasin mereka." Sarga meletakkan bunga yang ia bawa di depan batu nisan. Dia berdiri, menarik langkah keluar area kuburan dan masuk ke mobilnya yang sudah terparkir.
Laki-laki itu mulai menjalankannya, menelusuri jalanan dengan langit berwarna orange. Puluhan menit, dia tidak sengaja menangkap dua orang tengah berdiri di tepi jalan. Sarga menoleh, saat itu juga kebenciannya timbul.
Alea dan Reynal yang babak belur akibat ulahnya.
Biarlah. Sarga tidak peduli itu. Malah dia berharap Reynal tiada saja.
Mendadak satu ide terbesit.
Sarga meraih telepon, jarinya dengan lintah mengetik di atas benda pipih tersebut.
[Gue nemuin adik Lo babak belur karena dipukuli pacar dan temannya Alea. Tau, kan Alea? Gue udah nyelamatin Reynal dari mereka. Tapi Alea datang dan bersikukuh buat bawa Reynal ke rumah sakit. Jangan diam aja, Ren. Cewek begitu harus dibilangin biar dia enggak dekat-dekat Reynal lagi]
Send.
Pesan barusan Sarga kirimkan ke Deren, Kakak Reynal yang kedua.
***
"Ya ampun, Reynal. Kenapa bisa begini?" Lavina masuk ke ruangan disusul oleh Deren dan Abi.
Alea terperanjat. "Aku enggak tau. Aku lihat keadaan dia udah begini," tanyanya setengah takut lantaran mendapat tatapan garang dari salah satu laki-laki di depannya.
"Enggak tau beneran atau pura-pura? Pacar lo sama temannya yang pukul adik gue, kan?"
"Pacar?" Alea tidak mengerti apa yang Deren bicarakan. Teman laki-laki saja dia hanya mempunyai Reynal. Mustahil dia memiliki kekasih karena Alea bukan perempuan yang mau diajak pacaran.
"Bener, Al?" tanya Lavina memastikan dengan sorot tidak percaya.
"Enggak. Gue yakin itu hoax deh," sahut Abi. Tatapan Lavina berpindah pada Laki-laki itu, "Bisa jadi, Bi. Gue akui wajah Alea cantik. Mana mungkin enggak ada Cowok yang suka dia." balas Lavina, tinjauannya berpindah pada Alea.
"Al, kita butuh penjelasan kamu. Kenapa Reynal begitu?"
"Aku benar-benar enggak tau, Kak. Reynal tiba-tiba datang dan keadaaannya sudah seperti itu," jawaban Alea sepertinya tidak mempan di telinga Deren. Terbukti dari raut wajah Laki-laki itu yang terlihat tetap datar.
"Bisa pergi sekarang?"
"Kok lo usir dia, sih, Bang?" Lavina menatap tidak suka pada Deren.
"Bukannya hari ini pernikahan ibunya? Lo enggak dicariin orang rumah? Daripada nanti kita yang disalahin ibunya dia, lebih baik kita usir aja sekarang," perkataan Deren ada benarnya juga. Lavina terdiam.
"Yok, Al. Gue anterin keluar." timpal Abi. Alea hanya bisa menurut saja. Toh, suasana di sekitarnya sudah tidak nyaman. Dia takut mereka akan semakin marah jika dirinya tetap di sini.
***
Ketukan pintu terdengar. Sarga membuang asal puntung rokok yang masih menyala. Dia berdiri, menarik handle pintu sampai tampaklah seorang pria tua berawakan lebih pendek darinya. Yang tak lain adalah supir Ayahnya.
"Ada apa, Pak?"
"Den Sarga disuruh pulang ke rumah Nyonya Venia,"
"Bilang aja enggak bisa." tegas Sarga, dia memegang handle pintu kembali, berniat untuk menutup, tapi ekor matanya mendapati seorang Wanita tengah berjalan ke arahnya.
Alea. Perempuan itu membangkitkan emosi Sarga yang sempat terpendam.
"Pak, biar saya aja yang berbicara sama dia." ujar Alea. Pak Adam pun langsung pergi dari sana tanpa bertanya apapun.
Setelah Pak Adam sudah tidak kelihatan lagi, Alea kini berhadapan dengan Sarga, Laki-laki yang sudah membuatnya dia masuk ke dalam jebakan Bram.
"Apa? Sekeras--"
Suara tamparan terdengar nyaring di sekitar sana tepat ketika tangan Alea memukul keras rahang Sarga.
"Berengsek!"
Sarga memegang bekas tamparan yang terasa panas sekaligus perih. Ini kali pertama, ada seorang perempuan yang berani menamparnya. Sial.
"Berani lo--"
"Berani! Kenapa? Aku enggak takut sama kamu! Salah aku apa, sih, Ga? Kenapa malam itu kamu tega jual aku ke Laki-laki itu? Aku bukan wanita murahan! Kalau kamu mau bikin aku menderita, enggak gini juga caranya!" potong Alea menggebu-gebu, mengeluarkan unek-uneknya selama ini.
Sarga menatap Alea dengan sirat berapi-api, tangannya itu melayang, hendak membalas tamparan. Saat itulah Alea memejamkan mata. Sarga terhenti. Ada sesuatu yang menahannya.
Laki-laki itu menurunkan tangan dan mengalihkan muka ke arah lain. "Lo seharusnya enggak nampar gue. Kata Leon, lo berhasil kabur tadi malam."
Perlahan Alea membuka kedua matanya. "Iya, kemarin gue berhasil kabur, tapi--" perkataan Alea terhenti oleh perkataan Bram yang mendadak terngiang di telinganya.
Sarga memandang Alea, menunggu kata selanjutnya yang dilontarkan Perempuan itu. "Apa?"
Ayah kamu yang berhasil menyentuh aku, batin Alea.
"Lo kehabisan kata-kata buat ngarang? Mending sekarang lo masuk ke rumah gue."
"Enggak mau. Buat apa?" Alea menatap curiga Sarga yang hendak menggandeng lengannya.
"Buat beresin lah. Ya kali gue mau macam-macam sama lo. Tipe gue tinggi bukan cewek sok polos kayak lo,"
"Enggak. Tujuan aku ke sini buat jemput kamu dan pulang rumah. Om Bram udah menunggu dari tadi. Sekarang buruan kamu masuk dan kemas semua barang kamu." tegas Alea.
"Lo bukan anggota keluarga--"
"Sekarang... aku udah jadi adik kamu. Jadi aku berhak menyuruh kamu buat kemas-kemas," lagi, Alea memotong perkataan Sarga. Dia tidak akan membiarkan laki-laki itu mencelanya. Sudah cukup selama ini. Alea tidak akan membiarkannya lagi.
"Sialan."
"Cepat masuk ke dalam. Aku enggak punya banyak waktu buat menunggu lagi." sergah Alea.
"Lo adik gue, kan?"
"Kenapa?"
"Sebagai adik yang baik, lo yang harus masuk ke dalam dan masukin semua barang gue ke koper," jawaban dari Sarga langsung mendapat pelototan dari kedua mata Alea.
"Apa? Enggak mau!"
"Iya udah. Gampang. Gue enggak mau pulang." Sarga memegang handle pintu, bersiap untuk menutupnya, sedangkan Alea terdiam sejenak. Sampai pintu itu terlihat akan ditutup, Alea langsung memegang lengan Sarga.
Tatapan Laki-laki itu terlihat tidak suka. Alea langsung menjauhkan tangannya dari Sarga. "Iya, aku yang beresin kamar kamu sekarang."
"Masuk." Sarga mundur beberapa langkah, mempersilahkan Alea untuk masuk. Keadaan kamar Sarga membuat Alea berdesis jijik. Selain berantakan, ada juga pakaian kotor yang tergeletak di mana-mana.
"Ish. Kamar ini udah enggak dibersihin berapa lama?"