webnovel

Hancur

Hujan begitu deras. Langit menjadi hitam semua. Kilatan petir kadang terlihat disusul gemuruh yang membuat siapa pun tidak ingin pergi ke mana-mana.

Venia sesekali menatap ke arah pintu, berharap putrinya pulang sebab sejak jam tujuh malam tidak ada kabar sama sekali. Dia juga tidak tahu bersama siapa Alea pergi. Sayangnya, dia tak mempunyai kontak satu teman Alea satu pun.

Namun, tunggu. Dia baru ingat bahwa dirinya masih mempunyai nomor Sarga.

Perempuan itu menyeluk saku dan mencari kontak Sarga di sana. Sampai ketemu, dia memencet ikon hijau. Beberapa detik menunggu balasan, namun teleponnya tidak menunjukkan tanda-tanda diangkat. Wanita itu menatap gusar padahal jelas-jelas sekali tertulis online di sana.

Tiga jam ke depannya ia masih menunggu dengan mengumpulkan semua kesabarannya, tengah malam pun tiba. Putrinya tetap tidak datang kemari. Sementara hujan lama kelamaan semakin lebat. Angin juga berhembus kencang, membuat tirai jendela melambai-lambai.

Venia berjalan ke arah pintu, lantas menguncinya. Ia beralih mematikan lampu ruang tamu. Kedua kakinya menarik langkah ke kamar. Awas saja nanti. Dia akan melayangkan beragam pertanyaan pada Putrinya sekaligus rotan yang sudah tergeletak di sudut kamarnya.

**

Hancur.

Semuanya sudah usai. Alea menangis tersedu-sedu sambil meraih helaian benang miliknya yang berserakan. Tidak butuh waktu lama setelah memakai, ia berjalan tertatih-tatih keluar dari ruangan tersebut.

Keadaan Perempuan itu menyedihkan. Dari sekian banyaknya orang di sini, tidak ada yang tergerak hatinya untuk membantu. Mereka bergoyang mengikuti dentuman musik yang memekakkan telinganya dan meminum sesuatu yang memabukkan. Alea sungguh benci tempat ini.

Hujan masih saja deras dan tidak menggoyahkan keinginan Alea untuk keluar dari tempat ini. Seketika dirinya basah kuyup. Dia berjalan menuju ke rumah meski dirinya tahu semalam ini tidak ada kendaraan umum yang lewat.

Lama kelamaan tubuhnya menggigil. Gigi-giginya menggeletuk. Bibirnya memucat, nyaris menyerupai warna kulit. Cahaya remang-remang yang berasal dari lampu di jalan menemani langkah Perempuan itu.

Sorot dari lampu kendaraan menerpa wajahnya. Mata Alea menyipit. Tidak disangka mobil itu berhenti tepat di hadapannya. Perempuan itu terperangah. Antara takut dan senang, Alea lebih cemas kalau orang di dalam mobil itu adalah orang jahat.

Berusaha untuk tidak menghiraukan, dia mempercepat langkahnya.

Alea mendongak ketika tidak lagi merasakan air hujan mengguyurnya. "Sarga?" Benar. Laki-laki itu mendadak sudah ada di belakangnya dan memayungi dirinya.

"Lo mau tetap di sini?" wajah laki-laki itu terlihat tidak jelas di mata Alea, namun suara berat tersebut membuat dia yakin bahwa Laki-laki ini adalah Sarga.

"Dasar Cowok berengsek!" Tamparan keras menimpa rahang laki-laki yang terbalut dengan masker.

"Tunggu! Aku bukan--"

Alea memukul dada bidang Pria itu. Tangisnya yang tadi sempat terhenti kini kembali pecah. "Gara-gara kamu semuanya jadi hancur! Aku enggak pernah berbuat jahat sama kamu. Kenapa kamu berani nyerahin aku ke Laki-laki berengsek di klub malam!? Dan lebih parahnya lagi, aku lihat Ayah kamu selingkuh sama wanita penghibur! Aku benci kalian semua! Kenapa harus aku yang jadi sasaran Ayah kamu!? Kenapa Ibu memilih Ayah kamu sebagai semuanya?! Dari dulu dunia enggak adil." suaranya melemah di akhir kalimat.

Pria itu terdiam, tidak membalas apapun. Dirinya juga terenyuh dengan perkataan Alea barusan. Tangannya perlahan melepas masker, sampai tampaklah seluruh wajahnya. Alea perlahan mendongakkan kepala, ia terperangah tidak percaya.

"Aku Reynal." rasa kagetnya bertambah. Oh, tidak. Bagaimana bisa dia tidak menyadari hal ini.

Alea menggeleng pelan. Ia mundur perlahan beberapa langkah sebelum akhirnya membalikkan badan, niatnya untuk pergi dari sana, Alea terhenti kala merasakan cekalan di lengannya.

"Aku antar kamu pulang."

"Enggak usah!" sentak Alea, menarik kasar lengannya dari genggaman Reynal. Ia melanjutkan langkah dengan cepat, menghiraukan Reynal yang terus memanggilnya.

"Al! Berhenti dulu."

Langkah perempuan itu semakin cepat. Reynal tidak mau kalah. Bahkan payung yang tadi ia genggam kini dibiarkan jatuh begitu saja. Hingga jaraknya dengan Alea sudah tidak jauh lagi, Reynal menarik lengan Wanita tersebut, kemudian membalikkan dengan cepat hingga menghadapnya. Reynal langsung mendekap erat.

Alea terpatung. Dia merasa aneh. Rasa nyaman dan detak jantungnya itu baru pertama kali dirinya rasakan.

Derasnya air hujan mengguyur raga keduanya. Halte sepi nan gelap itu menjadi saksi mereka berdua.

Sampai bunyi petir yang menggelegar keras membuat Keduanya tersadar dari kenyamanan itu. Reynal melepaskan dekapannya, kedua mata elang itu menatap Alea dengan lekat. "Lebih baik kamu pulang ke rumah aku. Soal ayah tiri kamu, aku akan bantu untuk menyelesaikan semuanya."

Alea menggeleng, "Aku enggak mau,"

"Kenapa?"

"Enggak ada yang harus diubah. Semuanya akan sama. Pernikahan itu harus tetap terjadi,"

"Kamu gila?" Pertanyaan Reynal langsung dihadiahi tatapan menusuk oleh Alea. "maksud aku, kamu enggak boleh diam aja. Dia akan semakin ngelunjak. Kamu mau dimanfaatkan terus sama mereka?"

"Bukan urusan kamu." Alea melengos pergi, menerobos kegelapan malam yang begitu hening.

"Tapi, Al!"

"Al! Tunggu!"

"Izinkan aku nganterin kamu pulang ke rumah!"

***

Dini hari menjelang. Alea menatap ponselnya yang berbunyi menunjukkan notifikasi alarm yang ternyata hari ini adalah hari ulang tahunnya ke 19.

Alea tidak peduli akan hal itu dan memasukkan kembali ponselnya. Fokusnya kini terpusat pada rumah dengan pintu tertutup rapat. Alea menghela nafas. Tangannya yang mengepal itu mengetuk pintu.

Seseorang datang membukakan pintu. Alea terkejut melihat wajah garang sang ibu.

"Habis dari mana aja kamu?!"

"Aku... habis main,"

"Main? Kenapa sampai dini hari seperti ini? Kamu tidak tahu betapa bahayanya di luar."

Alea terharu. Ternyata sang ibu masih peduli padanya.

"Jangan mengira saya memarahi kamu karena peduli. Kalau tidak ada kamu di pernikahan besok, apa kata orang-orang nanti." Lanjut Venia, seakan bisa membaca pikiran Alea.

Damn. Sudut bibir Alea perlahan datar, mengurungkan niatnya untuk tersenyum. Ternyata Ibunya bersikap seperti ini hanya sebagai pencitraan.

"Masuk."

Alea berjalan masuk. Saat itulah kening Venia mengerut. Ia merasa ada yang janggal.

"Kenapa cara berjalanmu seperti itu?" Venia berjalan menyusul setelah ia menutup pintu. Tangannya menahan Alea. "bersama siapa kamu pergi?"

"I--indri. Iya, aku pergi sama Indri,"

"Kamu tidak berbohong, kan?"

Alea menggeleng kikuk. "Enggak kok," rasa bersalah timbul. Ia menyesal telah berbohong. "memang selama ini aku pernah berbohong sama Ibu?"

***

Alea masuk ke dalam kamar. Ia tutup rapat-rapat, seolah tidak ada yang boleh masuk. Tubuhnya merosot ke bawah, derai air mata mendadak turun melesat begitu saja. Alea memukuli dadanya yang terasa sesak.

Bersamaan dengan itu ingatan akan dirinya dijebak tadi terlintas. Dia sungguh benci ini. Benci dirinya sendiri yang lemah dan tidak bisa melawan. Alea menjambak rambutnya sendiri.

"Aku bodoh! Aku lemah!" Alea mengumpat dirinya sendiri. Tubuhnya mendadak berdiri, dengan tatapan nanar ia mencari-cari sesuatu sampai penglihatannya terpusat pada sebuah gunting.

"Al! Singkirin itu!" Suara berat itu mengalihkan perhatiannya.

Reynal mendadak sudah ada di kamarnya, tapi sejak kapan? Dia bahkan tidak merasakan kehadiran laki-laki itu.

Melihat Alea terpatung, Reynal langsung mengambil alih gunting yang ada digenggaman Alea.

"Aku akan bersedia bantu menyelesaikan masalah kamu, tapi jangan sekali-kali berpikir buat mengakhiri hidup! Kamu boleh menyebut aku lancang atau semacamnya, yang terpenting kamu enggak nyuruh aku buat pergi dari sini." Reynal mengucapkannya dengan menggebu-gebu, membuat Alea yakin bahwa Laki-laki di hadapannya ini benar-benar peduli.

"Siapa bilang aku mau bunuh diri?"

Reynal terperangah, antara percaya atau tidak mendengarnya. "Terus kamu..."