webnovel

Bab 3

Dua minggu kemudian...

'kau sangat indah, Aubrey'

'aku rasa aku tidak akan cukup denganmu'

'jangan pergi di pagi hari, Aubrey.'

Aku membuka mata, mengerjap menatap kosong dan tidak sadar pada jendela lebar di kamarku yang menampakkan bangunan apartemen di seberang gedung flat milikku dan nuansa jam enam pagi di Brooklyn, New York.

Aku menghela napas saat mimpi itu menghantuiku, atau lebih tepatnya sebuah memori panas yang terulang seperti mimpi basah saat aku tidur sampai membuatku terbangun karena suara suara itu terdengar sangat jelas di telingaku.

Suara suara dari teman one night standku yang aku tinggalkan di kamar hotel mewah di New York saat pagi harinya.

Alasanku pergi meskipun Rafael sudah memintaku untuk tidak meninggalkannya, bukan karena aku merasa tidak sanggup untuk membayar sewa kamar hotel termahal di New York itu—ya meskipun aku memang tetap tidak bisa membayarnya—tetapi itu karena aku pikir itu adalah sebuah bukti dari batasan yang memang harus dibuat agar hubungan itu tetap saja hanya sebatas One Night Stand dan orang asing. Dia akan mengerti itu dan berpikir dua kali untuk melakukan hal lebih padaku.

Sialnya, kejadian itu seperti terekam dengan jelas di otakku sehingga saat aku tertidur atau aku melamun, aku akan kembali mengingat kebersamaanku dengan Rafael atau suara suara menjijikkan dariku yang akan terdengar di telingaku.

Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku, tapi jika aku pikir pikir itu mungkin karena aku baru pertama kali melakukan percintaan dengan seorang pria yang tidak aku kenal dan orang yang sama sekali baru.

Dan juga itu mungkin karena ketampanan dan segala hal sempurna yang melekat di diri Rafael, yang sangat jauh lebih menarik daripada Bernald, membuatku terpesona dan pada akhirnya selalu memikirkannya. Malam panas itu juga sangat berbeda dengan apa yang selalu lakukan bersama dengan Bernald. Saat melakukannya dengan mantan kekasihku yang berengsek itu terasa datar, dan tidak bergairah yang terkadang membuatku bosan, namun bersama Rafael itu terasa lembut, erotis, dan menggoda.

Wajahku memanas saat membayangkan bagaimana gagah dan maskulinnya Rafael saat melingkupi tubuhku dengan tubuhnya. Dia benar benar tipe pria dengan pesona berbahaya yang akan membuatmu tidak bisa melupakannya walaupun kau sudah mencoba sekeras mungkin.

Itu membuatku bertanya tanya, sudah berapa wanita yang Rafael kacaukan pikiran dan hatinya? Yang pastinya sudah banyak. Pria seperti itu benar benar tidak mampu dilawan oleh banyak wanita. Padahal aku juga, tadinya, sangat sinis dan tidak menyukainya di tempat pertama. Sekarang lihatlah jantungku bahkan berdetak dengan kencang hanya karena memikirkan Rafael.

Yah, walaupun begitu, aku tetap tidak berharap untuk kembali bertemu dengan Rafael. Karena aku tidak tahu akan bisa menjaga perisai di hatiku yang baru saja dipatahkan oleh seorang bajingan kaparat. Aku tidak ingin merasakan itu lagi. Aku sudah muak disakiti, dan entah bagaimana aku punya firasat jika Rafael akan lebih mampu menyakiti diriku lebih dari Bernald. Lebih dari siapa saja yang sudah menyakitiku.

Brak.

Pintu yang terbuka dengan suara keras membuatku mengerjap.

"Abby!" Ursula datang, sudah cantik dengan gaun selutut berwarna kuning yang sopan dan memancarkan aura ceria darinya.

Aku mendengus kesal, menggulingkan tubuhku sehingga aku terlentang dan menatap tajam ke arahnya yang kini duduk di sisi ranjang. "Bisakah kau tidak heboh? Kau mengganggu acara malas-malasanku."

"Aku sangat senang melakukannya." Balasnya dengan ceria. "Bagaimana penampilanku hari ini, apa aku cantik? Apa aku sudah luar biasa?" cerocosnya dengan semangat.

"Kau datang ke sini hanya untuk bertanya itu, Sully? Really?"

Dia mengangguk. "Apa kau lupa kalau hari ini adalah hari penting untukku?"

Aku mengernyit, "Ulang tahunmu Juli, Ursula."

"Ck. Bukan itu, bodoh. Hari penting bukan hanya hari ulang tahun saja."

"Lalu?"

"Apa kau lupa kemarin aku mengatakan padamu bahwa hari ini Theo mengajak ku untuk bertemu dengan keluarganya di SoHo."

"Oh ya Tuhan. Aku lupa tentang itu." Aku meringis sembari mendudukkan diri.

Dia cemberut.

"Kau sudah sangat cantik, dan terlihat ceria. Energi positif biasanya datang dari warna warna cerah yang mereka pakai." Aku berhenti, memanyunkan bibirku sementara tatapanku naik dan turun di tubuhnya. "Mungkin kau harus melepas gelang itu dan menggantikannya dengan jam tangan." Lanjutku, telunjukku mengarah ke dua gelang berwarna hitam yang ada di pergelangan tangannya.

"Tapi aku tidak membawa jam tangan."

"Kau bisa pakai punyaku." Balasku, mengulurkan tangan ke meja rias yang berada di sisi ranjangku, dan melemparkan jam itu padanya.

Dia langsung sigap menangkap dan mengganti dua gelang mahal itu dengan jam tanganku. "Menurutmu apa yang akan mereka pikirkan tentangku? Apa mereka akan menyukaiku?" tanyanya.

"Mereka akan menyukaimu, Sully. Jangan khawatirkan apa pun."

"Benarkah?"

Aku mengangguk, "Bersikaplah apa adanya dan jangan membual terlalu banyak dengan hal yang tidak kau ketahui sama sekali." Saranku.

Dia mengangguk, sembari menghela napas. "Aku sangat gugup."

"Kau akan baik baik saja."

Dia akan bertemu kedua orang tua dari Theodore Mikhaelovich. Seorang pria yang dia dekati saat kami ke klub dua minggu lalu. Ya, pria yang dia goda. Theo mengejarnya setelah mereka menghabiskan satu malam bersama. Bahkan sampai menguntit dan mengunjungi tempat kerja Ursula, sedangkan Ursula mati matian menghindari pria itu. Entah apa yang membuat Ursula, pada akhirnya, menyerah dengan pria itu dan menerima tawarannya menjadi kekasih. Dia bahkan sudah menerima ajakannya untuk makan siang bersama kedua orang tua Theo di sebuah restoran mewah di SoHo hari ini.

Well, mereka sama sama berasal dari Rusia, dan aku pikir itu merupakan salah satu alasan Ursula bisa satu pemikiran dengan kedua orang tua Theo. Apa lagi, Ursula adalah wanita ramah dan ceria yang bisa akrab dengan siapa saja. Aku pikir dia akan baik baik saja, dan mereka akan baik baik saja.

"Doakan aku, ya, Abby?" tanyanya dengan raut memelas.

Aku terkekeh menatap wajah lucunya, "Ya, sayangku. Aku akan mendoakan mu."

"Lalu apa kau berencana untuk tetap di kamarmu dan menonton Harry Potter seharian?" tanyanya.

Aku mengendikkan bahu. "Mungkin saja."

"Cobalah untuk melakukan hal yang baru."

"Aku baru berencana untuk menonton film action baru nanti."

"Bukan film baru, bodoh." Balasnya sembari memukul wajahku dengan bantal. "Aktivitas baru! Cobalah untuk melakukan olahraga di gym, atau berjemur di Pantai Coney, atau mengunjungi museum, atau shopping, atau....menghubungi pria yang bersamamu waktu itu dan mengajaknya berkencan sehari. Dia pasti akan menerima ajakanmu."

Aku memutar bola mata dengan jengah, "Kau benar benar gila jika kau serius dengan saran gilamu itu."

"Aku serius."

"Maka kau gila."

"Ayolah, Abby. One Night Stand bukan berarti kau memutus hubungan begitu saja. Kalian berdua bisa menjadi teman."

"Aku pikir itu lebih buruk."

"Atau mungkin kau bisa saja membuka aplikasi kencan dan melakukannya lagi bersama pria."

"Sudah cukup sekali, aku tidak akan melakukannya lagi."

"Tapi..sial!" dia mengumpat saat ponselnya berdering. "Theo sudah menjemputku, kalau begitu, Bye!" dia bangkit dengan memukul wajahku menggunakan bantal lagi sebagai ucapan selamat tinggalnya.

"YOU BITCH!"

..................................

"Apa kau sudah dengar kabar kalau Direktur Utama dipecat?"

Pertanyaan dari Jude membuatku mengerutkan kening. "Sungguh?"

"Ya." Dia menganggukkan kepala sekali dengan semangat. "Berita tersebar di grup chat Snapchat. Elena mengatakan kalau yang akan menggantikan Mr. Rodreux adalah anak dari Pemilik Aetose DMT."

Aku menaikkan alis, "Wow. Sedih sekali Mr. Rodreux harus hengkang hanya karena anak dari pemilik perusahaan ingin bekerja di tempatnya. Bukankah itu nepotisme?" tanyaku heran.

"Aku tidak ingin tahu tentang nepotisme. Namun, Mr. Rodreux keluar karena korupsi dana miliyaran dollar."

"Yang benar saja?! Aku sama sekali belum mendengar tentang itu."

"Kau memang selalu sangat terlambat tentang gosip atau berita berita terkini di kantor."

Aku bahkan bangga dengan itu. "Aku malas membuka Snapchat." Balasku sembari menyantap es krim lagi. "Kalian juga selalu berbicara hal hal yang tidak penting."

"Gosip kantor adalah hal yang penting!" bantah Jude.

"Tidak ada yang penting dari gosip."

"Tapi itu membuatmu, bahkan, tidak tahu kalau Direktur sudah keluar karena kasusnya. Bahkan kau tidak tahu siapa yang akan menggantikan pria itu."

"Aku sudah tahu." Balasku santai.

"Dari mana kau bisa tahu?"

"Kau baru saja mengatakannya."

Jude menghela napas sembari mengelus dadanya. "Aku bisa saja mati muda jika berbicara padamu selama tiga puluh menit ke depan, Aubrey."

"Lebih baik kau memilih mati karena masa depanmu akan semakin kejam."

Jude melemparkan kotak tisu kayu ke arahku, yang langsung kutangkap. Dia berdecak kesal dan aku terkekeh melihat kekesalannya.

Aku menerima saran dari Ursula untuk menghabiskan waktu di luar, kecuali sarannya untuk mengajak pria One Night Standku atau mencari pria di aplikasi kencan. Itu tidak akan pernah terjadi. Sebagai gantinya, aku mengajak Jude meminum kopi di kafe milik Drake. Jude adalah rekan kerjaku dan Ursula yang kebetulan hari ini juga tidak melakukan apa apa. Sayangnya, Drake tidak ada di sini, dia baru saja terbang ke West Coast, mengunjungi neneknya yang berada di Sacramento.

"Gosipnya adalah kalau pria itu sangat tampan." Ucap Jude sambil melihat ponselnya, "Aku tidak perlu meragukan itu karena ayahnya saja sangat mempesona padahal umurnya sudah tidak muda lagi."

"Gen tidak perlu kau ragukan."

"Kabarnya juga selama ini dia memilih untuk menghabiskan waktu di negara aslinya. Yunani." Jude mengerjapkan mata. Ekspresinya menunjukkan seolah olah dia baru saja melihat Dewa Poseidon naik dari laut. "Dia pasti sangat tampan karena dia keturunan Dewa Dewa Yunani!" lanjutnya dengan semangat.

Aku meringis, "Kau gila jika berpikir semua orang Yunani adalah keturunan dewa. Lagi pula Dewa itu tidak ada. Itu hanya cerita konyol."

"Itu misteri yang belum terpecahkan, dan tidak ada bukti juga kalau itu hanya cerita konyol." Bantah Jude, seperti dia adalah ahli dalam sejarah Yunani padahal aku bertaruh kalau dia tidak tahu Yunani berada di belahan bumi yang mana.

"Oke. Lalu, bagaimana jika kabar itu salah? Bagaimana jika dia tidak tampan? Bagaimana jika dia gendut dan hitam?"

"Maka siapa saja akan sangat kecewa. Sayangnya dia tidak pernah mengekspos dirinya ke mana pun. Aku yakin dia sangat tertutup."

"Kau akan melihatnya nanti. Anyway." Balasku.

Merasa konyol dengan kenapa ketampanan seorang pria bisa menjadi sumber kekecewaan para wanita. Maksudku, hei, apa kalian akan tidak peduli dan bersikap tidak sopan pada atasan kalian padahal dia sangat baik dan menghormati para pegawainya hanya karena dia jelek? Itu tidak masuk akal, tapi banyak yang melakukan itu.

Suatu kali, aku mendengar Yelena yang mana adalah bosku, mengolok olok wakil direktur keuangan dan berkata 'kau jelek, dan kau bahkan tidak pantas berada di sini'. Lihat, apa itu pantas? Sangat tidak pantas. Itu akan berdampak menyakitkan untuk pria mana saja dan terutama wanita. Dia akan merasa tidak percaya diri dengan penampilannya dan membenci dirinya sendiri. Aku benar benar kasihan, tapi aku tidak bisa melakukan apa pun. Aku hanya bisa memberi sekotak sushi padanya dan mengatakan maaf atas nama bosku saat makan siang.

Syukurnya, dia masih bisa tersenyum padaku.

"Tapi aku sudah tidak sabar."

"Memangnya kapan sang Direktur Utama tampan kebanggaanmu itu datang?"

"Besok!" jawabnya antusias.

Aku menipiskan bibir malu saat dua pria paruh baya yang sedang mengobrol santai menoleh pada kami karena suara Jude.

"Mungkin aku tidak bisa tidur dengan tenang malam ini karena membayangkan apa yang akan terjadi besok.." aku meringis sampai gigiku terlihat mendengar ucapan berlebihan darinya. "..aku akan sibuk mengatur apa yang akan aku pakai besok."

"Apa kau berpikir dia akan melihatmu dan jatuh cinta padamu?"

"Bisa saja."

"Kau terlalu banyak melihat film dan membaca novel romantis, Jude."

"Bisa saja itu terjadi, Aubrey. Kau akan menangis jika aku menikah dengan pria pewaris Aetose DMT nanti!"

"Aku akan menyanyikan 'Hey Jude' saat kau menangis karena harapanmu tidak terjadi."

"Kau benar benar sialan, Aubrey."