webnovel

Chapter 4 - Senyum kecil (1)

"O- Oh..."

Dina meraba pedang kayu yang baru saja Valias serahkan padanya. "Teksturnya masih kasar karena belum dihaluskan. Kau bisa meminta orang untuk menghaluskannya." Valias berkata.

"Kakak.."

Dina menimbang-nimbang apakah dia bisa memberi tahu isi hatinya atau tidak.

"Dina. Kau tidak perlu lagi merasa gugup padaku. Katakan saja. Jika seseorang memiliki sesuatu untuk dikatakan, maka orang itu harus mengatakannya."

Valias mendengar nasihat itu dari salah satu dosennya. Sekarang dia mengatakan itu pada Dina.

Dina, mendengar ucapan kakaknya, memperoleh serbuan keberanian untuk mengutarakan pikirannya.

"A, Apakah kakak mau membantuku menghaluskannya?"

"Aku?"

"I- Iya. Kakak membuatkan ini untukku. Aku tidak ingin ada campur tangan orang lain mengotorinya."

.....Mengotori?

Valias hampir tercengang dengan kata-kata yang Dina pilih. "Tentu."

"Terimakasih kakak!"

Dina memandang wajah kakaknya. Valias belum mengubah senyum kecilnya. "Kau masih mau disini? Atau ada yang harus kau lakukan?"

"Aku akan membereskan ini. Kakak bisa beristirahat."

Valias mengangguk mengerti. Dia hendak membangkitkan tubuhnya, tapi pusing melanda kepalanya. Membuat pandangannya menggelap sedikit dan membuatnya hampir kehilangan keseimbangan.

"Kakak!" Dina sontak bangun. Merasa panik bahwa kakaknya akan jatuh. Tapi sudut matanya menangkap penampakan seseorang berlari melompati semak dan meraih tubuh terhuyung kakaknya.

Valias berhasil menjaga keseimbangannya walau terlihat kikuk. Pandangannya masih agak gelap. Dia berusaha menjelaskan visinya dengan memfokuskan matanya pada salah satu sudut taman.

Tanpa dia sadari sepasang tangan melekat di kedua sisi lengannya.

Tubuh ini selemah apa? Valias, oh Valias.

Tubuhnya sebelumnya cukup tinggi, memiliki cukup otot, dan daya tahan tubuh yang bagus. Terakhir dia sakit adalah ketika ayahnya masih ada. Sejak saat itu dia harus bekerja untuk mendapatkan uang dan dari situ tubuhnya menjadi lebih kuat dan cukup terlatih.

Tubuh Valias ini berbanding terbalik dengan tubuhnya dulu.

Darah rendah 'kah? Astaga.

"Kakak.."

Valias mencoba menoleh ke arah Dina. Pandangannya masih agak gelap dan berkabur. Tapi dia masih bisa melihat wajah khawatir Dina.

Valias menggeleng pelan dan memaksakan senyum kecil. "Bukan apa-apa."

"Aku akan meminta pelayan menyiapkan teh."

Sebuah suara muncul di sampingnya. Kali ini bukan suara kecil Dina. Tapi lebih rendah. Suara anak laki-laki. Valias sudah pernah mendengar suara anak ini. "Danial?"

Danial tidak menjawab. Matanya yang lebih rendah dari Valias mengharuskannya mendongak sedikit untuk meneliti wajah kakaknya.

Pucat.

Kakaknya, Valias Bardev selalu memiliki kulit yang pucat. Seolah dirinya adalah boneka yang tidak memiliki darah. Terkadang Danial bingung kenapa dia tidak pernah melihat Valias oleng dengan keadaan wajah dan tubuh yang menunjukkan seolah dia bisa pingsan kapan saja itu.

Danial habis menemui ayahnya untuk bertanya tentang dokumen yang baru saja dia kerjakan. Karena melewati taman, dia terpikirkan untuk melihat apakah Dina ada di sana atau tidak. Dan kemudian dikejutkan dengan keberadaan kakaknya, duduk di depan Dina.

Dari sudut itu Danial hanya bisa melihat punggung kakaknya dan ekspresi Dina yang berubah dari gugup menjadi senang.

Sudah berapa lama mereka duduk bersama seperti itu...

Danial menimbang-nimbang apakah dia perlu memunculkan dirinya di depan Valias atau tidak. Di saat itulah melihat Valias yang berdiri dan terhuyung.

Danial lebih sering berurusan dengan dokumen daripada melatih tubuhnya. Tapi dia masih memiliki cukup kelincahan. Dengan mudah dia menggapai tubuh kakaknya, dan, untuk pertama kalinya menyentuh tubuh kakaknya. Yang begitu kurus dan ringkih di kedua tangannya.

Serius? Aku baru saja membuat dua anak yang jauh lebih muda dariku khawatir? Tentang aku?

Valias tidak pernah menerima kekhawatiran dari orang lain terhadapnya. Dan dia memang merasa kalau itu tidak perlu. Dia selalu merasa bahwa dirinya baik-baik saja bahkan dengan luka gores dan lebam akibat amukan pamannya.

Menerima pandangan khawatir dua anak remaja itu, ditambah dengan kondisi yang sedang terjadi pada tubuhnya saat ini, dia merasa aneh.

Pusingnya sudah mulai berkurang.

Tapi terlalu lama.

Merasa frustasi Valias menyentuh dahi dan memejamkan matanya.

"K- Kakak.. Pelayan!" seru Dina. Disambut Valias yang mendengar beberapa derap kaki mendekat kearahnya.

"Tidak. Tidak perlu. Ini bukan apa-apa." ringisnya frustasi.

Valias tidak tahu. Bahwa kata-katanya itu membuat orang-orang di sekelilingnya berasumsi kalau hal itu sudah biasa terjadi padanya.

Dina hampir menangis lagi.

Apakah dia sakit?

Danial berpikir bahwa sakitnya Valias lah yang menyebabkan dirinya begitu pucat dan mengalami pusing seperti itu.

"Bantu kakakku ke kamarnya."

"Tidak. Tidak perlu. Aduh.."

Respon kakaknya tidak berubah. Danial gemas dan akhirnya marah. "Tidak perlu bagaimana? Kakak pikir kami bisa tidak khawatir begitu saja? Kakak tidak tahu sedih apa yang ayah rasakan selama ini. Kalau kakak tiba-tiba pergi.."

Danial mengingat perasaan khawatir seperti apa yang dirinya rasakan ketika mendengar kakaknya mimisan dan mengeluarkan banyak darah tapi tetap menolak untuk mendapat pengobatan. Bukan hanya menolak, kakaknya justru mengusir dan melempar barang ke arah tabib yang ayah mereka panggilkan untuknya. Walaupun kakaknya tidak pernah melakukan itu terhadap dirinya, ayahnya serta ibu dan adiknya.

Valias tidak pernah menyentuh mereka. Tidak pernah menyakiti mereka. Valias hanya menyakiti mereka dengan membuat mereka khawatir terhadapnya.

Danial dulu khawatir terhadap kakaknya sebagaimana ayah, ibu dan adiknya. Namun lama kelamaan, justru dia berpikir mungkin kakaknya akan merasa tidak nyaman dengan perasaan khawatir yang ditujukan kepadanya. Perlahan, hati Danial pun mengeras. Terkadang, daripada sedih dan cemas, Danial lebih memilih untuk merubahnya menjadi amarah.

Dan dengan kepribadian yang sudah sedikit berubah seiring bertambah usianya itu, Danial akhirnya kembali menunjukkan rasa khawatirnya pada Valias. Hanya saja dengan dibungkusi oleh amarah.

Sedangkan Valias justru dibuat heran dengan Danial.

Jadi sebenarnya dia khawatir padaku atau marah padaku?

Kurangnya berinteraksi dengan orang membuat Valias terkadang kesulitan mengerti tingkah laku orang-orang.

Sepertinya dia marah karena aku merepotkannya.

"Maafkan aku Danial."

Valias mengucapkan itu untuk mencari aman.

Semua terdiam. Para pelayan terkejut karena mendengar suara tuan muda mereka yang tidak pernah berbicara untuk pertama kalinya. Lemah, lembut, dan tulus. Ditambah dengan wajah pucat dengan dahi mengerut itu, membuat mereka merasa iba dan merasakan sisi lembut yang tertujukan pada tuan muda mereka.

Dina terlalu sibuk dengan air matanya dan tidak mendengar ucapan Valias.

Sedangkan Danial, orang yang menjadi tujuan kalimat itu, merasakan tubuhnya kaku. Hatinya menjadi dingin. Terlalu syok mendengar suara kakaknya yang meminta maaf padanya.

Dia tidak menyangka kakaknya untuk meminta maaf padanya.

Ketika kau marah pada seseorang, lalu seseorang itu meminta maaf padamu dengan begitu lemah dan tulus, apa yang kau rasakan?

Rasa marah langsung sirna dan digantikan dengan rasa bersalah.

Apa yang baru saja kulakukan?

Bisa-bisanya aku mengeraskan suaraku kepada kakak.

Kedua iris mata Danial bergetar. Para pelayan yang melihat pemandangan kakak adik itu ikut ingin menangis dengan Dina.

"Aku baik-baik saja. Sungguh. Mungkin Karena aku duduk terlalu lama dan malah berdiri tiba-tiba tanpa ancang-ancang. Maaf membuat kalian khawatir." Valias melepaskan dirinya dari Danial dan menepuk pundak anak itu. "Kalian kembalilah. Aku ingin bicara pada mereka berdua."

Para pelayan terlonjak dan akhirnya pergi melanjutkan pekerjaan mereka masing-masing.

Valias menghela nafas lega dan mengatur lagi penguasaan dirinya.

"Sejak kapan kau di sini, Danial?"

Mendengar namanya disebut Danial pun langsung buru-buru menguasai dirinya.

"..Tidak lama. Aku baru saja mengkonsultasikan dokumen dengan ayah. Lalu aku melihat kalian di sini. Lalu.."

Valias bisa menebak bagaimana alur Danial bisa ada di hadapannya sekarang. "Baiklah. Terimakasih sudah membantuku tadi. Aku sudah tidak apa-apa. Kalian tidak perlu khawatir lagi." Dia mengalihkan pandangannya pada Dina. "Dina, kamu tau bagaimana cara menghaluskan pedang kayumu itu?"

Dina terdiam setelah selesai menghapus air matanya dengan usaha berat.

Jika dia bilang tidak tahu, mungkin kakaknya akan memaksakan diri dengan kondisinya itu. Dina tidak mau kakaknya sakit karena dia.

"T- Tau!"

Merasa anak perempuan itu tidak memiliki alasan untuk berbohong, Valias menganggukan kepalanya.

Danial melirik adiknya dan berpikir pasti adiknya punya alasan untuk berbohong.

"Baiklah kalau begitu. Aku memiliki urusan. Kalian lanjutkanlah urusan kalian."

"Iya." "Iya."

Kedua anak itu berujar pelan. Merasa urusannya di sana sudah selesai, Valias pun meninggalkan mereka. Tidak menyadari tatapan kedua anak yang ditujukan kepadanya.

***

Valias sudah menyelusuri hampir keseluruhan mansion. Dia sudah kurang lebih menghapal jalur-jalur yang ada di sana.

Tahap satu selesai.

Sekarang dia sedang berada di dekat gerbang. Membiarkan para pelayan, ksatria, dan penjaga gerbang mengamatinya. Valias mengamati gerbang di hadapannya.

Pergi sekarang, atau nanti?

Valias memandangi penampakan jalan di luar gerbang selama beberapa detik.

Nanti.

Dengan itu Valias membalikkan tubuhnya dan berjalan kembali ke dalam mansion, mengabaikan semua orang. Dia bukan tipe orang yang mudah bosan. Tapi dia rasa tidak ada gunanya juga berdiam diri di kamar dan hanya makan dan minum lalu tidur seperti kucing yang dipelihara oleh pemilik kost annya.

Valias bahkan memiliki niatan untuk melatih tubuhnya agar kejadian seperti tadi pagi tidak terjadi lagi.

Valias sedang dalam perjalanan menuju kamarnya, dan berpapasan dengan Danial.

"Oh."

"Ah."

Sekarang keduanya saling bertatapan meski dalam jarak yang berjauhan. Danial memiliki sebuah buku dan beberapa kertas di tangannya.

"Danial."

Valias mendekat lebih dulu di kala Danial masih belum bergerak dari posisinya.

"I, Iya." Danial masih belum bisa merasa rileks dengan Valias. Kegugupan masih ada. Bahkan tadi Danial sempat berniat untuk pura-pura tidak menyadari kehadiran kakaknya dan berbalik pergi.

Tapi sudah terlambat.

Di saat yang bersamaan Danial merutuki dirinya yang punya pemikiran payah dan pengecut seperti itu. Sadar bahwa dia akan menjadi penerus ayahnya dan harus menjadi pemimpin wilayah yang bijaksana, dia memasang wajah datar dan mengendalikan dirinya.

"Kamu habis apa."

"Aku habis belajar. Aku dan Dina memiliki tutor untuk belajar. Kakak bisa meminta pada ayah bila kakak mau."

Perkataan Danial membuat Valias berpikir.

Haruskah aku melakukan itu?

Danial yang masih merasa tidak nyaman walaupun sudah menenangkan diri berniat pergi dari hadapan kakaknya.

"Aku akan ke ruang baca. Aku duluan."

Valias menaikkan alisnya dan tersadar. "Aku ikut."

Danial mengerutkan dahinya. Kakaknya memang berubah. Benar-benar berubah.

Valias Bardev, kakak kandungnya dan Dina, bergabung dengan keluarga mereka satu tahun lalu. Danial dan Dina terkejut mendengar bahwa Valias adalah kakak kandung mereka, dan berniat mendekatkan diri dengan kakak mereka itu. Tapi Valias selalu menyendiri dan mengabaikan mereka. Tidak pernah bicara, tidak pernah melihat wajah mereka.

Mungkin Dina masih menunjukkan usahanya untuk mengajak Valias bicara. Tapi Danial tidak. Apalagi sejak kejadian Danial melihat kakak barunya itu mengusir semua orang ketika hendak diobati, Danial berhenti mencoba mengenal kakaknya, dan bahkan malah memiliki rasa geram pada Valias.

Tapi sekarang, Valias ada di hadapannya, tersenyum, dan bilang bahwa dia ingin pergi dengan Danial. Di saat dia bisa pergi ke sana sendiri. Seperti biasa.

Valias selalu berdiam diri di kamarnya. Hanya keluar ketika dia ingin ke ruang baca untuk membaca beberapa buku dan menghirup udara segar di taman khusus yang telah ayah mereka buatkan untuk kakaknya, lalu kembali ke kamarnya lagi.

Danial terdiam sebelum membuka mulutnya.

"Oke."

04/06/2022

Measly033