webnovel

Chapter 27 - Ke Perbatasan (4)

Seorang manusia. Dengan telinga panjang dan runcing. Mengenakan pakaian yang begitu sederhana dengan potongan kain yang dijahit menjadi satu. Tangannya memegang tombak kayu dengan mata pisau yang terbuat dari tulang yang diasah.

Orang itu memandang mereka dengan mata menusuk. Siap untuk melontarkan tombak di tangannya pada keempat orang di hadapannya bila memberikan sedikit saja pergerakan yang mencurigakan baginya.

Dia bisa melihat bagaimana seorang perempuan berambut hitam dengan penampilan seperti seorang mage melihatnya takut dan gugup. Memaksakan diri untuk tidak bergerak dan mengeluarkan suara sama sekali.

Laki-laki berambut perak dan mata emas di sampingnya mengatupkan bibir rapat dengan kedua mata terbuka. Laki-laki yang berambut hitam juga terlihat tidak jauh berbeda. Hanya saja dia terlihat seperti anak yang memillliki kebanggaan diri tinggi dan sudah mempersiapkan diri lebih dulu.

Dan orang terakhir, rambut merah dengan buku di tangannya. Dia terlihat lebih tenang dibandingkan ketiga orang lainnya. Bahkan matanya memancarkan kata-kata seperti 'Sudah kuduga akan tampak seperti ini'.

Orang dengan tombak itu mengerutkan dahi menerima pandangan itu.

"Nona elf."

Dia, elf yang dipanggil itu mengarahkan mata tajamnya pada orang yang baru saja memanggilnya. Si anak yang berambut merah. Yang ajaibnya bisa begitu tenang melihat penampilan elfnya.

Valias merasakan ketegangan ketiga anak di sampingnya. Dia sebagai yang paling dewasa harus menghadapi itu. "Bisa kita bicara?"

"....Kau...buku itu..siapa kau?"

"Namaku Valias, nona. Bolehkah saya bicara berdua dengan Anda?"

"Jawab pertanyaanku." Sang elf menolak.

Valias tersenyum tipis. "Aku tidak bisa melakukan itu, nona. Tidak di depan teman-temanku ini."

Elf itu mengernyit tapi tidak merasakan bahaya dari anak berambut merah dengan kulit pucat itu.

Dirinya sendiri sebenarnya penasaran bagaimana keempat anak itu bisa ada di daerah persembunyian dirinya dan keluarganya. Terutama bagaimana pintu mekanis sihir yang tidak pernah terbuka selama ratusan tahun, untuk pertama kalinya terbuka.

Elf itu, Pralta, untuk pertama kalinya menyaksikan pintu yang selalu dia pandangi dengan penuh penasaran menghasilkan getaran sebelum akhirnya terbelah dua dan membuat cahaya langit luar yang dia pikir hanya akan menjadi khayalannya muncul di depan matanya.

Orang tua dan tetuanya selalu mengatakan kalau dasar pilar batu yang mereka sebut pintu itu adalah mekanis sihir yang dibuat oleh seorang manusia ratusan tahun lalu. Cerita tentang pintu yang ada di ujung terowongan tempat tinggal mereka adalah cerita turun menurun yang akan selalu disampaikan jika ada yang bertanya karena penasaran.

Akhirnya,-setelah menyimpan rasa ingin tahu besar selama 20 tahun-, Pralta menyaksikan bagaimana pintu yang selalu ada di sana akhirnya menghilang, digantikan dengan cahaya langit yang masuk.

Setahunya manusia tidak bisa hidup lebih dari 100 tahun. Tidak sewajarnya ada orang yang tahu cara membuka pintu itu sekarang.

Mungkinkah?

Pralta melihat mata anak itu tajam. Berusaha mengintimidasi. Tapi si rambut merah tidak berkutik sama sekali. Dengan begitu tenang melihatnya balik.

Pralta merasakan sinyal dari teman-teman di belakangnya.

"Dengarkan dia. Mungkin kita bisa tahu apa yang sebenarnya terjadi jika kita bicara dengannya."

Valias dan ketiga anak di sampingnya mengamati elf yang masih berada di dalam tanah dan hanya menampakkan setengah tubuhnya itu perlahan menurunkan tombaknya. Mereka bisa mendengar seseorang bicara dari dalam lubang tapi mereka sama sekali tidak mengerti artinya.

"Kau." Mereka melihat elf perempuan itu mengarahkan mata dinginnya pada Valias. "Ikut denganku."

Pralta kemudian mengarahkan pandangannya pada satu persatu ketiga orang lainnya. "Mereka diam di sini."

Pralta melihat anak berambut hitam membawa tangannya di depan anak berambut merah. Anak perambut perak terlihat mendapatkan keberaniannya dan membawa tubuhnya berlutut di depan anak berambut merah yang sama. "Kemana kau akan membawanya?" Anak dengan mata emas itu memandangnya waspada. Pralta memperhatikan bagaimana anak di depannya itu mengenakan pakaian mewah dengan lencana dan hiasan emas. Penampilannya terlihat seperti seorang bangsawan tukang pamer. Pralta juga menyadari bagaimana anak itu memanggilnya 'kau'.

Pralta mencemooh. "Dia yang mengajak bicara duluan. Lagipula kalian duluan lah yang mengganggu kami. Kenapa malah kalian yang takut?"

Wistar merasa hatinya tertusuk jarum. Memang benar dirinya tadi agak takut. Apalagi untuk pertama kalinya dia merasakan seseorang mengacungkan senjata padanya. Tapi tetap saja. Dia adalah seorang pangeran. Besar untuk menjadi pelindung warganya. Dia akan melindungi teman-temannya. Termasuk Valias.

"Kenapa dia harus ikut denganmu?"

Dylan angkat bicara. Memandang manusia bertelinga runcing di depannya dengan mata dingin juga.

Pralta merasa kesal. Merekalah yang mendatangi dan mengajak bicara duluan. Kenapa justru Pralta yang jadi orang jahatnya di sini? "Kalau memang tidak mau maka tidak apa. Kalian bisa diam di sana sampai besok atau menerima serangan dari teman-temanku jika mencoba masuk. Pilihannya ada di tangan kalian." Pralta tidak bisa menahan kejengkelannya. "Dasar bocah."

Pralta merasakan bagaimana teman-temannya memandangnya dengan mata bulat.

Secara turun menurun keluarga mereka mengajari bahasa manusia. Banyak anak bertanya-tanya kenapa mereka harus mempelajari makhluk yang berbeda dengan mereka tapi Pralta adalah anak yang menyukai ilmu pengetahuan. Dia lah yang paling pandai dalam bicara bahasa asing itu.

'Dasar bocah' bukanlah bahasa yang diajarkan tetuanya. Tapi Pralta memanglah selalu mengulik sendiri buku-buku yang ada di gudang buku. Teman-temannya pasti terkejut bagaimana Pralta mengucapkan kalimat kasar yang hanya diketahui oleh mereka pada manusia-manusia itu.

Vetra merasakan bagaimana keringat dingin mengaliri kulitnya. Wistar dan Dylan masih belum bergerak. Valias menepuk bahu Dylan. "Kalian diamlah di sini. Aku akan segera kembali."

"Tidak."

"Valias.. kita tidak tahu apapun tentang mereka. Bagaimana mungkin kami membiarkanmu masuk ke sarang mereka?"

Pralta merasakan kepalanya pusing oleh rasa jengkel.

Sarang? Kau pikir kami hewan?!

"Hey! Apa yang kau sebut sarang? Dasar bocah!" Pralta kembali merasakan pandangan kaget dari teman-temannya.

Vetra terkejut dan mulai ingin menangis. Dylan memandang Wistar ingin memukul tengkuknya. Wistar tidak mengerti kenapa elf itu tiba-tiba marah. "..Kenapa kau marah? Aku mengkhawatirkan temanku di sini."

Lupakan tombak. Yang ingin Pralta lakukan hanyalah memukul kepala perak itu.

Valias merasa situasi itu konyol dan memutuskan untuk berdiri. "Sudahlah sudahlah. Aku akan masuk. Kalian tunggu di sini, mengerti?"

"Valias!"

"Hap. Cukup. Nona itu benar. Akulah yang membuka pintu mereka. Aku akan ikut dengan mereka."

Valias memberi senyum ramah pada Pralta. "Aku akan masuk."

Pralta mendecih pada Wistar sebelum membawa matanya pada Valias. "Kau kurus sekali. Kau laki-laki kenapa lemah begini?" ujar Pralta jutek seraya menggerakkan kepalanya memberi sinyal pada Valias untuk masuk ke dalam lubang.

Valias tertawa canggung.

Lubangnya bisa memuat dua orang. Valias bisa melihat pijakan menurun ke bawah. Cukup terpana dengan pemandangan yang menyambutnya. Sebuah terowongan dari tanah. Cahaya matahari menyinari jalan melalui lubang yang terbuka. Tapi di sana sudah ada batu-batuan seperti kristal yang bercahaya.

Seperti yang Valias baca di salah satu jurnal di kamar Valias Bardev.

Di depannya sudah ada beberapa elf lain yang juga memegang tombak dan tampak memberikan tatapan mengintimidasi pada Valias. Tapi Valias bisa merasakan kecanggungan mereka. Seolah mereka tidak pandai mengintimidasi orang seperti elf perempuan tadi tapi tetap memaksakan diri untuk menakuti Valias.

Valias menoleh pada elf tadi. "Nona, maafkan teman-temanku barusan. Mereka hanya mengkhawatirkanku."

Pralta mendengus. "Bagaimana tidak? Penampilanmu memang mengkhawatirkan."

Valias tersenyum canggung lagi. "Kemana Anda akan membawaku?"

Pralta memimpin jalan sedangkan elf lain mengelilingi Valias yang berjalan mengikuti sang elf perempuan. "Kau akan menemui tetua kami. Mereka pasti ingin melihat orang yang membuka pintu setelah ratusan tahun tidak terbuka."

Valias mengangguk mengerti.

Mereka terus berjalan dengan formasi itu hingga Valias bisa melihat kota bawah tanah yang disinari kristal bercahaya dengan berbagai macam warna.

Tampak seperti festival. Elf di sana bervariasi dalam umur. Benar-benar tampak seperti pedesaan manusia namun dengan telinga runcing dan gaya hidup yang lebih sederhana juga primitif.

Valias bisa merasakan berbagai pandangan dari berbagai elf di sepanjang jalan yang dia lewati mengikuti langkah elf di depannya.

"Ayah. Dia orang yang membuka pintu itu. Dia hanya datang dengan tiga orang bocah sepertinya."

"Pralta. Lebih sopanlah sedikit." Seorang elf pria dewasa menegur si elf perempuan yang sedari tadi memimpin jalan sebelum kemudian membawa matanya pada Valias.

"Tuan, perkenalkan, namaku Valias. Maaf mengganggu putrimu dan kawan-kawannya. Aku datang untuk meminta sesuatu."

"Valias? Kau masih begitu muda. Apa yang membuatmu mencari elf seperti kami? Bagaimana kau membuka pilar batu itu? Siapa kau?"

Valias memberi senyum ramah. "Ibuku mewariskanku beberapa jurnal. Aku sudah membaca jurnal-jurnal itu dan menemukan petunjuk keberadaan Anda sekalian." Dia menjeda kalimatnya. "Ada sebuah batu. Batu itulah kunci yang kugunakan untuk membuka pilar batu tadi."

"Batu? Manusia ratusan tahun lalu itu menggunakan batu sebagai kunci?"

"Tampaknya begitu, tuan. Aku hanya mengikuti petunjuk di jurnal ini."

Valias menunjukkan buku ditangannya.

"....Biar kulihat."

"Silahkan."

Salah satu elf yang sedari tadi mengelilinginya mengambil buku jurnal itu dari Valias dan memberikannya pada ayah Pralta.

Ayah Pralta membukanya dan mulai membaca serta menelitinya. Dia juga melihat ruang yang dia duga sebagai tempat penyimpanan batu yang anak yang mengaku bernama Valias itu sebutkan.

"....Aku sudah tahu namamu dan bagaimana kau membuka pintu yang sudah tertutup selama ratusan tahun itu. Sekarang, bisa beritahu aku bagaimana ibumu bisa mewariskan buku dan informasi ini?"

"Maafkan aku, tuan. Ibuku memberitahuku soal jurnal-jurnal itu sebelum meninggal. Aku baru mulai membaca mereka sejak saat itu. Sebelum akhirnya aku mencoba ke sini." Valias memberi alasan.

Ayah Pralta, Rama, bukanlah orang yang suka mengungkit orang yang sudah tiada. Dia memilih untuk menanyakan hal lain. "'Mencoba' kesini? Kau tidak punya tujuan lain?"

Valias tersenyum tipis. "Anda benar, tuan. Memang benar ada alasan lain kenapa aku menemui Anda sekalian."

"Apa itu?"

Valias memejamkan matanya pelan. "Kerajaan tempat tinggalku, Hayden, akan mengalami perang sebentar lagi. Aku pikir aku ingin meminta bantuan Anda dan keluarga Anda dalam perang itu."

Semua elf di sekitarnya membulatkan mata dan mulai berbisik-bisik.

"Perang? Darimana kau tau itu? Kau masih terlalu muda. Mungkinkah kau putra raja?"

Valias menggeleng. "Bukan, tuan. Aku hanya anak rahasia keluarga Count di Hayden. Aku datang ke sini secara pribadi untuk menyampaikan permintaan tadi."

"....Dan kenapa kami para elf harus membantumu? Manusia dari Hayden. Ratusan tahun lalu tetua kami berteman dengan sorang manusia yang menciptakan pilar batu itu. Tapi itu di masa lalu. Kami sudah tidak memiliki sangkut paut apapun dengan kalian."

Valias mengangguk. "Memang benar. Aku pun menyadari hal ini dengan sangat baik. Tapi,"

Valias memandang Rama tepat di matanya. "Keberadaan elf akan terkuak. Banyak kerajaan luar akan mencoba mengeksploitasi keluarga Anda."

Ucapan Valias memancing keterkejutan dan emosi dari elf di sekitarnya. Elf yang mengelilingi Valias mengeratkan pegangan pada tombak mereka.

"Kenapa kau bisa mengatakan itu? Kau berencana membocorkan keberadaan kami?"

Pralta memajukan satu kakinya, memberi Valias tatapan tajam.

Valias menggeleng. "Aku tidak memiliki niatan itu sama sekali."

"Bagaimana dengan teman-temanmu itu? Kalau kau benar-benar berniat untuk mejaga rahasia kami, kenapa kau tidak pergi sendiri dan malah membawa mereka?"

"Seperti yang nona bilang, tubuhku lemah dan tidak memiliki cukup kepercayaan diri untuk bepergian sendirian. Selain itu aku membutuhkan nona mage tadi untuk membawaku dan teman-temanku ke sini."

Valias memanfaatkan penampilan fisiknya.

"Bocah berambut perak itu. Dia terlihat seperti bangsawan. Siapa dia? Pangeran? Raja Hayden sudah tahu keberadaan kami? Dan kau masih bilang kalau kau tidak punya niatan membocorkan rahasia?" tantang Pralta.

"Pangeran dan Raja Hayden adalah temanku. Aku dan merekalah yang tahu soal perang itu. Dan aku sebagai pribadi ingin menyampaikan permintaanku."

"Kau terus mengatakan kalau tidak punya niatan untuk membocorkan informasi tentang kami, tapi kau meminta kami untuk keluar untuk perang? Bukankah itu sama saja dengan membongkar keberadaan kami?"

"Rahasia keluarga Anda akan terkuak cepat atau lambat, nona Pralta. Aku tidak punya niatan untuk membongkar keberadaan keluarga Anda tapi kerajaan-kerajaan luar itu akan menemukan kalian cepat atau lambat."

Itulah yang dibaca Valias. Si penulis begitu banyak membuat konflik tanpa cerita dan latar belakang yang jelas.

Bagaimana kerajaan-kerajaan itu bisa menemukan keberadaan elf, dan mengapa mereka mengeksploitasi mereka. Semua terjadi begitu saja.

Maka yang Valias katakan bukanlah omong kosong melainkan pengetahuan yang dia dapat dari membaca cerita itu. "Hayden akan menjadi kerajaan yang melindungi keberadaan keluarga anda. Dan akan meminta bantuan keluarga anda untuk mempertahankan diri dari kerajaan lain."

"Melindungi? Bukankah pada akhirnya kau dan kerajaan mu hanya ingin mengeksploitasi kami dengan embel-embel meminta bantuan?" sinis sang elf.

Valias memasang senyum tipis lagi. "Aku tidak akan menyangkal semua perkataan anda, nona. Tapi itulah kenyataannya. Aku membutuhkan kekuatan kalian untuk unggul dan memenangi perang. Agar keluargaku tidak terluka. Dan aku bisa hidup lebih lama.

"Anda dan keluarga anda tentu bisa menolak permohonanku tadi. Aku tidak bisa memaksa. Itulah maksud kedatanganku ke sini. Mungkin aku lebih baik segera kembali."

Valias membungkuk kecil. Dia sudah melakukan apa yang dia bisa. Jika elf-elf ini menolak untuk memberikan bantuan, maka dia akan menerima takdir sesuai alur di cerita.

"Aku bisa kembali sendiri." Dia berkata lagi. "Anda dan teman-teman anda tidak perlu mengantarku. Dan, tuan, Anda bisa menyimpan buku itu. Batu kunci itu, akan kuserahkan pada Anda."

Valias tidak tahu apakah Valias yang asli akan mengijiinkannya melakukan itu atau tidak. Tapi sekarang dirinyalah yang memegang buku itu. Dan dia menjalani hidup sebagai Valias Bardev. Dia akan melakukan apa yang dia pikir merupakan hal yang benar untuk dilakukan. Memutuskan untuk menyerahkan buku dan batu itu pada para elf itu.

Valias berbalik pergi. "...Tunggu, Valias." panggil Rama. "Pralta. Antarkan dia."

"Aku? Dia sudah bilang kalau dia bisa kembali sendiri."

"Pralta." ujar Rama tegas. Pralta menghela nafas.

"Terserah. Kau. Berjalanlah dengan cepat."

Valias tertawa kecil. "Oke."

****

"Dylan! Ayo masuk! Valias belum juga kembali!"

"Tutup mulutmu, dasar bodoh. Kau mau mereka menyakiti Valias karena kita masuk padahal sudah dilarang?"

"Tapi!!"

Pralta dan Valias bisa mendengar keributan di depan sana.

"Pangeran temanmu itu bodoh sekali."

"Ah.." Valis tersenyum canggung.

"Valias!!" Wistar melihat kepala Valias muncul dari lubang itu dan langsung berhambur memberikan tangannya. Memberi bantuan pada Valias naik.

Valias menerima uluran tangan itu dan mengucapkan terimakasih.

"Pulanglah." Pralta berujar cuek.

"Valias! Kau tidak apa-apa? Mereka tidak menyakitimu? Kau akan mimisan lagi? Kau pusing?" Wistar menyuarakan rentetan pertanyaan sambil meraih bahu Valias.

Pralta tercengang. "Dia selemah itu?"

Dylan dan Wistar kembali membawa tubuh mereka di depan Valias.

"Benar! Kakakku bahkan bilang kalau dia tidak tahu kapan Valias akan mati. Makanya kami harus menemaninya! Tapi nona malah.." Wistar menggerutu.

Pralta tidak menduga itu tapi tetap membuka mulut tak berperasaannya. "Apa kau akan mati sebelum perang itu? Kenapa repot-repot meminta bantuan kami kalau pada akhirnya kau tidak akan merasakan perang terjadi?"

Pralta terus bicara tanpa mengetahui hal apa yang akan terjadi selanjutnya.

Dylan, Wistar dan Vetra membulatkan mata mereka.

"Apa? Perang? Valias. Hayden akan perang?"

"...Apakah itu benar?" Dylan tidak percaya pada apa yang baru saja dia dengar.

Pralta merasakan dahinya berkerut. "Apa. Kau bilang teman-temanmu tau."

"Dewa memberimu pesan lagi?" tanya Dylan.

Pralta tercengang. "..Dewa? Dewa memberimu pesan?"

"Benar! Valias menerima pesan dari dewa. Dia pasti mendapat pesan kalau Hayden akan mengalami perang. Pasti dewa lah yang memberitahumu kalau elf itu benar-benar ada. Dan memberimu petunjuk untuk menemui elf.

"Kau mendapat petunjuk tapi Dewa tidak memberitahumu dimana elf berada? Itukah kenapa kau mencari elf selama ini sampai mimisan seperti itu? Kertas-kertas di kamarmu, noda merah itu, pasti itu darahmu 'kan? Kau juga repot-repot menulis dengan bahasa yang kau buat sendiri. Agar orang-orang tidak bisa membaca apa yang kau kerjakan.

"Kau menanggung semua beban itu sendirian selama ini? Kenapa kau tidak memberi tahuku? Apakah kakak tau?"

Dylan yang menyimak ocehan Wistar mulai merasa semuanya menjadi jelas. Pesan dewa, ruangan penuh kertas dengan noda coklat. Lalu Valias yang menemui elf, semua itu untuk bersiap perang?

Pralta pun, memahami segala yang pangeran berambut perak itu katakan, dan terkejut dengan setiap kalimat yang dia dengar.

...Dewa..

Elf sepertinya, sudah memuja dewa secara turun-menurun. Jauh melebihi manusia. Mendengar ada manusia yang menerima pesan dewa, bagi Pralta, manusia tersebut adalah dewa itu sendiri.

Berbagai pikiran memenuhi benak elf perempuan itu.

Jika Dewa lah yang memberi tahu anak berambut merah itu untuk menemui keluarganya, mungkin dewa meminta mereka untuk membantu anak yang diberkati itu.

Pralta tercengang. Tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi hari ini.

Pralta harus memberitahu hal ini pada seluruh keluarganya. Jika memang benar begitu, Pralta dan keluarganya harus membantu anak bernama Valias itu.

Sedangkan Valias, menemukan dirinya berada di pusat segala kesalahpahaman lagi. Tidak tahu harus berkata apa.

Dia mulai merasa menyesal sudah memulai omong kosong itu. Mungkinkah akan lebih baik kalau dia mengaku dirinya bukanlah berasal dari sana dan tahu semua itu karena dia membaca sebuah cerita yang direkomendasikan oleh teman belajarnya?

Valias melihat Pralta yang menatapnya tajam dengan dahi berkerut. Elf itu pasti merasa terganggu dengan mereka yang belum juga pergi dari sana. "Baiklah. Kita bahas semua ini nanti. Untuk sekarang kita kembali dulu. Maaf mengganggu anda dan keluarga anda, nona Pralta. Kami akan pergi sekarang." Valias kemudian memanggil sang mage. "Nona Vetra."

"I- Iya."

"Tunggu!" seru Pralta buru-buru.

"Kau. Beritahu koordinat tempat yang kau tuju." titahnya.

"..Maaf?" Vetra tidak mengerti. Dan cukup terkejut dengan Pralta mengajaknya bicara untuk pertama kali.

"Koordinat. Cepatlah." tekan sang elf lagi.

"I.. Itu.."

Tentu Vetra tidak bisa membocorkan itu dengan mudah. "Kau mau menjadi teman Valias juga? Kau berencana menemuinya?" tanya Wistar. Pralta merasa jengkel diajak bicara oleh bocah bodoh itu.

"Valias, benar 'kan? Kau bilang kau butuh bantuan keluargaku? Kami akan memikirkannya. Kami akan menemuimu setelah berunding dengan para tetua kami. Beritahu aku dimana kami bisa menemuimu."

Ah.

Valias tidak mengerti kenapa elf di depannya itu tiba-tiba berubah pikiran. Tapi itu hal yang bagus.

"Wissy. Bolehkah kita memberitahunya koordinat ruangan yang mulia Frey? Kita masih harus menyembunyikan kedatangan mereka."

"Valias!! Kau memanggilku dengan itu lagi! Aku senang." seru Wistar bahagia. "Tentu tentu. Kita bisa memberitahu nonal elf ini. Nona Vetra. Beritahu dia."

Pralta dibuat terkejut dengan perubahan mood bocah perak itu dan semakin merasa kalau Wistar adalah seorang bocah bodoh yang aneh. Dia memutar bola matanya malas sebelum mendengarkan ucapan Vetra yang menyebutkan koordinat padanya.

"Baiklah. Kami akan menemui Anda setelah selesai berunding, tuan Valias. Aku harap Anda kembali dengan selamat." Pralta memberi bungkukan hormat kecil.

Keempat orang itu terkejut dengan perubahan sikap Pralta pada Valias tapi tidak mengatakan apa-apa. "Terimakasih, nona. Pralta. Terimakasih sudah bersedia mempertimbangkan permohonanku. Kami pergi." Valias memberi senyum ramah dan cahaya mengelilingi mereka berempat.

Pralta berdiri sendirian di sana dan mulai menyadari sesuatu.

"Sekarang bagaimana kami menutup pintu ini lagi? Tetua bahkan tidak tahu cara membukanya." gumam Pralta panik.

04/06/2022

Measly033