webnovel

Chapter 20 - Keluar (1)

"Maaf mengganggu, tuan muda."

Valias menoleh ke sang pelayan yang bicara padanya.

Dia baru saja keluar dari kamarnya setelah melalui aktifitas paginya dengan Alister dan seorang pelayan pria muda berjalan menghampirinya.

"Ya?"

"Nona mage dari istana mendapat pesan kalau putra mahkota ingin menemui anda."

Alis Valias terangkat naik.

"Putra mahkota?"

"Iya, tuan muda. Nona mage itu juga bilang kalau putra mahkota menantikan kehadiran anda secepatnya."

Ada apa kira-kira?

Valias bertanya-tanya tapi setelah dia pikir-pikir lagi, dia tidak punya hal lain untuk dilakukan. Jadi lebih baik dia pergi.

"Alister. Aku akan pergi."

"Saya akan memberi tahu tuan Count."

Sebenarnya Valias lupa kalau dia masih harus memberi kabar pada keluarga Valias. Dia sudah lama terbiasa hidup sendiri. Valias mengangguk.

"Atau tuan muda akan menyampaikannya sendiri?"

Alister memamerkan senyum.

Valias menimbang-nimbang. Tidak ada salahnya menemui Hadden langsung. Dia mengiyakan dan mengikuti arahan Alister ke ruangan kerja Hadden.

Alister mengetuk pintu. "Selamat pagi, tuan Count. Tuan muda Valias ingin menemui Anda."

"Masuklah." dari luar Valias dan Alister bisa mendengar nada semangat dari Hadden. Alister membuka pintu. Hadden sudah berdiri dari kursinya. Dia hanya sendirian di ruangan itu.

"Apakah ada yang bisa ayah lakukan, Valias?"

"Pagi, ayah. Putra mahkota memintaku untuk ke istana."

"..Putra mahkota?" wajah Hadden mengeras.

"Apakah dia ingin menginterogasimu lagi?"

Valias khawatir pikiran Hadden akan mengarah ke hal yang bukan-bukan. "Tidak, ayah. Putra mahkota tidak akan melakukan hal seperti itu. Putra mahkota Frey pasti hanya mau berbincang denganku."

Valias sendiri sebenarnya tidak bisa begitu yakin.

Tapi tidak akan ada hal buruk, kan?

Valias merasakan tatapan Hadden yang melekat padanya.

"..Ayah tidak mau membatasi dirimu, Valias. Tapi ayah tidak bisa tidak khawatir." Hadden menunda ucapannya.

"Bagaimana kamu akan ke sana? Kapan? Apa ayah harus menyiapkan kereta untukmu?"

"Tidak. Aku akan berangkat sekarang. Setelah ayah mengijinkan. Tuan putri Azna memberikan mage istana ke sini. Mage itu yang akan membawaku ke istana."

Hadden masih melekatkan matanya pada Valias. Tampak tenggelam dengan pikirannya.

"...Baiklah. Kau boleh pergi. Wilayah kita tidak punya mage. Jadi ayah tidak bisa membiarkanmu membawa satu. Tapi ayah akan menyiapkan sepuluh ksatria Bardev untukmu."

"...Ya?"

Valias terdiam.

Sepuluh? Valias merasa itu terlalu berlebihan.

"..Ayah tidak perlu menyiapkan apapun. Aku akan pergi sendiri. Sepertinya aku tidak akan lama."

"Tidak. Ayah khawatir, Valias. Kau belum pernah keluar dari wilayah Bardev. Kau belum pernah keluar dari rumah-"

Hadden terdiam. Atau mungkin sudah. Hadden tidak tahu apa-apa tentang Valias sebelum satu tahun lalu. Hadden merasa lehernya tercekat.

Sedangkan Valias masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Merasa kurang nyaman jika harus pergi dengan orang sebanyak itu. Dirinya sendiri sudah cukup. Lagipula sebagai Abimala, Valias sudah biasa berpergian sendiri. Ini bukan apa-apa. Hadden tidak tahu itu.

Valias berpikir untuk meyakinkan Hadden bahkan jika dia harus memohon. "Ayah. Aku janji aku akan baik-baik saja. Aku akan kembali setelah urusan putra mahkota selesai."

Valias tidak merasa dirinya bisa menolak panggilan Frey begitu saja. Dia sendiri cukup penasaran dengan tujuan sang putra mahkota memangggilnya.

Hadden mendengarkan anak tertuanya mengucapkan janji. Hadden merutuki dirinya yang belum menyewa mage untuk wilayahnya. Tapi mencari mage memang tidak mudah. Kebanyakan dari mereka memilih untuk bekerja untuk istana.

"..Baiklah. Kau boleh pergi. Tapi kalau kau tidak kembali sampai hari ini berakhir," Hadden berkata tegas.

"Ayah akan membawa ksatria Bardev untuk mendobrak istana."

Astaga.

Valias merasa bahunya bergidik mendengar ucapan Hadden yang tampak sudah tidak akan mengubah pikirannya lagi.

"..Aku mengerti. Aku akan kembali secepatnya. Terimakasih ayah."

Mendengar Valias memanggilnya ayah dan berterimakasih padanya, Hadden merasa bahunya merileks. "Hm. Hati-hati."

"Pasti."

Valias membungkuk singkat dan Alister mempersilahkan Valias keluar ruangan.

Alister menemui pelayan yang tadi bicara dengan Valias dan membawa mage wanita itu menemui Valias di depan gerbang mansion.

"Selamat pagi, tuan muda."

"Hm. Pagi. Kita bisa pergi sekarang."

Mage wanita itu mengangguk. Lalu lingkaran cahaya muncul mengelilingi Valias seorang. Lingkaran itu naik hingga ke atas kepala Valias. Merasa silau dia langsung menutup matanya. Saat dia membuka mata kembali, pemandangan di depannya sudah berubah.

"Hai. Valias Bardev."

Di depannya, Frey Nardeen duduk bersilang kaki dengan seorang pelayan berdiri di sampingnya. Pelayan itu laki-laki yang terlihat seumuran dengan Valias. Lalu ada ksatria berambut hitam yang memakai lapisan pelindung dan pedang di pinggangnya.

"Pagi, yang mulia." Valias berujar tenang.

"Ha. Kalian lihatlah. Bukankah dia pria yang menarik?" Frey berdiri dan menyeringai.

Valias mulai bertanya-tanya kenapa dia terus mendengar ungkapan itu dari Frey dan Wistar. Tapi Valias menebak mungkin tingkah lakunya memang agak berbeda dari orang-orang kebanyakan.

Mau bagaimana lagi. Aku bukan dari sini.

Frey menghampiri Valias dan melingkarkan tangannya di sekitar bahu laki-laki itu. Valias lebih pendek dan bahunya lebih sempit. Frey dengan mudah melakukan itu. "Aku butuh hiburan, jadi aku memintamu kemari. Aku tidak menduga kau akan benar-benar datang. Aku terharu."

"...."

Valias terheran dengan tingkah Frey tapi memutuskan untuk menjawab seadanya.

"Anda memanggil saya kemari. Jadi tentu saya datang."

"Hahaha. Kau akan jadi teman yang menyenangkan. Ayo. Aku akan membawamu jalan-jalan."

Valias mengikuti langkah Frey yang masih merengkuh bahunya. Dia melihat sekeliling dan bertanya-tanya dia baru saja dipindahkan kemana. Tapi setelah berjalan beberapa langkah, mereka menaiki tangga. Lalu Valias bisa melihat bangunan istana.

"Kau tau kau ada di mana?"

"..Istana?"

"Hahaha. Koordinat yang digunakan mage yang ada di Bardev itu adalah koordinat bawah tanah. Sebelum kau bisa keluar dari tempat tadi, akan ada penjaga yang mengawasimu. Tidak akan ada yang bisa menyusup dengan begitu mudah." Frey menjelaskan, seolah begitu senang menggoda tamunya.

"Oh.." Valias tidak tahu harus menjawab apa.

"Kau tau? Sejak ayahku meninggal, aku lah yang harus mengurus segalanya. Yah.. sebenarnya dari awal aku sudah biasa mengurus pekerjaan ayah sih. Tapi sekarang semua keputusan ada di tanganku. Aku raja Hayden, kau tau?"

"..Ya.."

"Kalau saja waktu itu kau memberi tahu kami cara mengatasi racun, ayahku tidak akan meninggal secepat ini."

"..Hm.."

Valias mendengar ucapan Frey dan mulai memikirkan kejadian sebelumnya.

Ini hari ke 12 sejak waktu penyerangan.

Ah.

"Tapi tidak apa-apa. Lagipula mau ayahku hidup atau tidak, aku akan tetap diangkat menjadi raja. Hei. Bagaimana kalau kau bekerja untukku?"

Valias terkejut dengan perkataan putra mahkota yang terus bicara itu. Mereka masih berjalan. Dan Frey masih memegang bahunya.

"Aku butuh bantuan mengurus kerajaan kita ini. Aku butuh orang-orang yang bisa diandalkan untuk menjaga kedamaian kerajaan. Kau akan punya kekuasaan dan wilayahmu sendiri. Kau juga bisa keluar dari keluarga Bardev dan memulai status bangsawanmu sendiri. Kau tidak mau?"

Valias diam tidak menjawab.

Valias tidak membutuhkan itu sama sekali. Dia hanya mau meneruskan hidupnya bakan jika dia harus memerankan peran Valias Bardev. Tentu saja Valias tidak membutuhkan semua itu.

Tapi Valias sudah membaca ceritanya. Dia tahu beberapa rahasia dan kejadian yang akan terjadi.

"Tuan muda Valias?"

Frey menundukkan kepalanya mengecek ekspresi Valias. Orang yang dia ajak bicara itu tidak meresponnya.

"..Tidak, yang mulia. Mungkin aku bisa membantu Anda. Tapi aku tidak perlu kekuasaan seperti yang Anda sebutkan."

"Ho." Frey tidak bisa tidak terkejut. "Kau menggunakan 'aku', sekarang?"

Sang putra mahkota menyeringai.

"Baiklah. Aku suka. Mari kita berteman mulai sekarang. Aku dengar kau benci bangsawan karena masa lalumu? Apa kau akan menjauhiku?"

Frey tersenyum miring walaupun dia tahu Valias tidak akan bisa melihat itu.

"..Tidak, yang mulia. Aku yakin kita bisa menjadi teman baik."

"Ha." Frey tertawa sarkas. "Kau benar. Kita pasti akan menjadi teman yang baik."

Frey semakin menarik tubuh Valias ke arahnya. "Kau bisa begitu berani berhadapan denganku. Kau tidak takut aku menghukummu?"

Frey menunggu respon pemuda berambut merah dibsampingnya.

"Kalau Anda memutuskan untuk melakukan itu, maka saya tidak akan bisa melakukan apa-apa."

"...."

Sekali lagi Frey dibuat kehilangan kata-kata dengan ucapan Valias.

Dia melepaskan tangannya dari bahu Valias dan menutup mulutnya. Valias yang menyadari Frey yang menjauh darinya mengambil penglihatan kepada putra mahkota berambut perak itu.

Bahu Frey bergetar. Wajahnya tertutupi oleh poninya. Tak lama kemudian suara kekehan keluar dari bibir Frey Nardeen.

"Aku benar-benar menyukaimu, Valias Bardev! Baik.. Aku tidak tahu sejauh apa pengetahuanmu tentang kepemimpinan wilayah besar seperti kerajaan Hayden. Tapi mari berbincang sedikit."

Frey menyeringai dan mulai berjalan lagi. Valias ikut melangkahkan kaki kurusnya. Pelayan dan ksatria Frey tadi secara alami mengikuti kemana perginya tuan mereka.

"Kerajaan ini, para bangsawan dan pemimpin wilayah kita, masing-masing memiliki rahasia, kau tau?"

Valias tidak merespon.

Valias tentu mengetahui hal ini. Perang terpecah, tapi kerajaan Hayden tidak berhasil menang karena kurangnya tokoh-tokoh yang berdedikasi untuk menang.

"Bahkan ayahku, menghabiskan waktunya bersenang-senang tanpa peduli dengan rakyat, dan aku lah yang melakukan pekerjaan raja selama ini."

Valias juga tahu hal itu.

Chalis Nardeen memang sudah seharusnya tewas di malam acara perayaan ulang tahun di istana itu.

Dan putra mahkota Frey Nardeen juga seharusnya mati.

Tapi aku menyelamatkannya.

Karena kalau tidak, tokoh yang berguna akan semakin kekurangan.

"Aku ingat pelayan aneh mu itu. Alister, ya kan? Dia bilang kau menghabiskan waktumu dengan membaca buku." Frey membalikkan tubuhnya kearah Valias.

"Buku apa saja yang kau baca. Jangan bilang, buku karangan?" Frey tersenyum miring.

"..Saya membaca banyak hal."

Sebenarnya Valias Bardev yang asli lah yang membaca banyak buku. Valias belum membaca buku sebanyak itu.

Frey memamerkan senyum miringnya.

"Dan apa yang kau baca itu?"

Valias membiarkan keheningan terjadi di antara mereka. Dengan perlahan dia mulai membongkar hal-hal yang sudah dia pikirkan.

"Hayden akan pecah, yang mulia."

Frey membulatkan matanya.

Dia tidak yakin apakah yang pria ringkih berambut merah katakan tadi sama dengan apa yang dia kira dia dengar.

"Barusan kau bilang apa?"

"Seperti yang Anda bilang. Ayah Anda, Raja Chalis Nardeen tidak memerankan peran rajanya untuk Hayden dengan baik."

Frey sudah berhenti berjalan. Mereka berdua berdiri saling berhadapan di tengah pekarangan istana.

"Bangsawan pemimpin wilayah memiliki banyak rahasia, benar begitu kan?"

"..Kau.. sebenarnya siapa kau?"

Frey Nardeen membiarkan matanya melekat pada mata hitam si pemuda didepannya.

"Valias Bardev, yang mulia."

Valias juga, membiarkan pria bermata emas itu menatapnya begitu lekat seolah ingin mengawasi dan menghakimi segala pergerakannya.

Tapi dia sudah mempersiapkan diri. Dia bisa menghadapi tatapan itu dengan tenang.

"Saya akan membantu anda."

"..Apa yang bisa kau lakukan."

"Saya akan memberitahu apa yang saya tau. Saya yakin calon raja Hayden bisa menyelesaikan segala hal dengan baik."

Valias memberikan senyum hangat pada Frey.

Di cerita yang dia baca Frey dijelaskan sebagai pemuda cerdas dan bertekad kuat. Valias hanya harus membantunya sedikit dan pemuda berambut perak itu akan secara otomatis melakukan sisanya.

Lagipula dia adalah seorang karakter putra mahkota di cerita fiksi.

Di lain tempat, Frey tidak menduga akan melihat senyum seperti itu dari seseorang. Satu-satunya orang yang memiliki senyum seperti itu adalah adik perempuannya, Azna Nardeen.

Tapi sekarang, pria ringkih itu memberikan senyum hangat itu padanya.

Frey membiarkan matanya tertuju pada wajah tirus yang memiliki senyum itu. Angin berdesir dan rambut merah yang diikat pita hitam itu bergoyang mengikuti irama angin.

"Ah."

Haruskah aku memotong rambut?

Valias masih tidak terbiasa dengan rambut panjangnya. Udara di sini tidak panas seperti di Indonesia. Dia tidak banyak berkeringat jadi dia tidak merasa gerah. Hanya saja, dengan rambut panjangnya terbawa angin dan menyentuh bibir dan hampir masuk ke matanya membuatnya terganggu.

"Yang mulia?"

Frey melihat senyum itu menghilang dan digantikan dengan wajah datar yang biasa dia lihat.

"E-Ekhem." Frey memalingkan wajahnya.

"Y-Yasudah kalau begitu. Apa yang akan kau beritahu padaku?"

Valias menyeringai kecil.

"Pertama,"

Valias sudah memikirkan segalanya. Dia tidak tahu kapan dia akan kembali menjadi Abimala, atau terbangun dari mimpi, atau mati.

Tapi dia akan menghabiskan waktunya di sini. Dia akan melakukan apa yang dia bisa untuk menjaga keluarganya sekarang.

"Anda memiliki saudara yang tidak Anda ketahui, yang mulia."

04/06/2022

Measly033