webnovel

Chapter 18 - 19 - Kau... (3) (4)

Chapter 18 - Kau... (3)

"Ya?"

Valias meragukan pendengarannya.

"Menemanimu? Bukankah aku akan bersamamu disini? Aku tidak akan pergi."

"A- Aku tau! Tapi.."

Instruktur Dina, Nyonya Helia belum pernah melihat ekspresi Dina yang seperti itu. Selama ini Dina menunjukkan wajah murung karena hal yang Helia tidak tau. Dan wajah senang ketika dirinya berhasil mempelajari gerakan dengan benar.

Tapi ekspresinya sekarang.. terlihat begitu cemas.

Helia melihat bagaimana Dina yang begitu tidak ingin melepaskan tangannya dari laki-laki berambut merah yang kurus dan pucat di depannya.

Mungkinkah..?

"Tuan muda?"

Valias mengalihkan pandangannya kepada wanita itu.

"Iya?"

"Bagaimana jika Anda menjadi rekan dansa nona Dina? Selama ini sayalah yang menjadi rekan pria. Tapi kalau tuan muda mau, tuan muda bisa menjadi rekan nona Dina belajar."

Dina ikut mendengarkan ucapan Helia dan mulai berharap.

"...Tapi.. Aku tidak tahu apapun tentang dansa.."

Dansa? Bahkan di Indonesia kata dansa saja sudah asing.

Familiar, tapi asing.

Dina kembali murung. Helia menyadari itu dan mencoba lagi. "Tidak masalah, tuan muda. Nona pasti tidak masalah dengan gerakan Anda. Nona pasti akan senang jika anda bersedia menemaninya belajar."

Dina kembali menatap Valias penuh harap. Valias merasakan tatapan itu dan menatap Dina balik. Menerima tatapan seperti itu Valias tidak punya hati untuk mengecewakan seorang gadis kecil.

"..Baiklah.. Apakah kau tidak masalah?"

Air muka Dina langsung berubah cerah dan dirinya mengangguk-angguk dengan cepat. "Iya! Ayo, kakak." Dina menarik Valias ke tengah ruangan.

"Baik, mari kita mulai." Helia memberi sinyal pada pemain musik dan Valias bisa mendengar alunan suara mengisi ruangan besar tempatnya berada.

Dina tersenyum begitu lebar ke arah Valias. Valias membalas senyum itu dengan senyum lagi meski di dalam hatinya begitu bingung dengan apa yang harus dia lakukan.

"Tuan muda hanya perlu mengikuti gerakan nona. Nona Dina sudah cukup pandai dalam melakukan gerak-gerakannya." Suara sang wanita itu terdengar. Membuat Dina merasa begitu bangga dengan pujian yang diberikan padanya di depan kakaknya. Sedangkan Valias mendengar kata-kata itu tidak merasa kegundahannya diangkat sama sekali.

Dina mulai bergerak. Kaki kananya melangkah ke depan. Valias terkejut dengan pergerakan itu dan langsung membawa kaki kirinya ke belakang. Dia terkejut tapi kebiasaannya menggunakan wajah datar membuat Dina tidak menyadari keterkejutannya.

Dina mulai bergerak lagi. Kali ini kaki kirinya bergerak maju. Dan dengan itu kaki kanan Valias bergerak ke belakang. Lalu Dina membawa langkahnya kesamping dan Valias menyadari itu lalu ikut melangkahkah kaki kanannnya.

Kedua tangan Dina tergenggam terangkat di atas kepalanya. Tapi bagi Valias kedua tangan itu ada di area pinggangnya. Dina terus melangkah dan Valias mengikuti arah gerakannya. Lama kelamaan Valias mulai terbiasa dengan tempo musik dan dinamika gerakan anak itu. Semenit berlalu dan Valias bisa berdansa dengan Dina dengan lebih rileks.

Alister dan Lika berdiri di sisi ruangan menonton. Salah satu dari mereka merasa kalau pemandangan di hadapannya saat itu terlihat begitu indah dan mendamaikan hati.

Kakak beradik yang berdansa bersama, gerakan tuan muda Valias terlihat agak ceroboh tapi masih enak dipandang.

Lika melihat betapa senangnya nona muda yang dia layani setiap hari dan merasa hatinya ikut senang.

Lika sudah melihat bagaimana Dina yang murung karena ucapannya tidak pernah ditanggapi oleh Valias. Lika juga menjadi orang yang mendengarkan kesedihan-kesedihan dan keinginan yang Dina miliki terkait sang putra tertua bangsawan itu. Lika mengingat bagaimana gugupnya nona mudanya di hari pertama Valias Bardev bergabung dalam makan malam bersama keluarga Bardev. Lalu kemurungan Dina ketika Valias tidak sadarkan diri di istana. Dan tadi malam, Dina memberi tahu Lika bagaimana dirinya ingin menghabiskan satu hari bersama Valias.

Akhirnya, hari ini, detik ini, Lika bisa melihat bagaimana Dina Bardev tampak begitu bahagia, seolah semua kesedihan dan kemurungannya tidak pernah ada.

Sedangkan Alister, dengan ekspresi datarnya diam-diam terhibur dengan gerakan ceroboh tuan mudanya.

Andai Alister bisa mengabadikan pemandangan itu, Alister akan menunjukkan hasil dari pengabadian itu pada Valias dan membuatnya malu.

Alister ingin melihat ekspresi apa yang akan Valias miliki ketika itu terjadi. "Tuan muda. Tuan muda memiliki gerakan yang bagus." Valias mendengar Helia berujar padanya.

"..Benarkah begitu?" senyum Valias canggung.

"Guru Helia benar! Seperti yang aku duga kakak memang pintar!" Valias melihat ancang-ancang Dina yang akan berputar. Tangannya mengimbangi pegangan Dina padanya dan satu tangan Dina terlepas. Membuat gerakan memutar dan menggapai tangan Valias lagi.

Dina terlihat begitu bahagia di depannya. Valias ragu akan gerakannya tapi dia membalas senyum Dina.

Helia menepuk tangannya dan alunan musik perlahan berhenti. Dina juga memelankan gerakannya sebelum melepas kedua tangan Valias dan merendahkan tubuhnya. Membentuk pose yang Valias lihat Dina lakukan di depan istana saat itu. Valias mengikuti instingnya dan melakukan gerakan memperkenalkan diri Danial.

"Air, nona." Lika memanggil dan Dina berlari kecil menghampiri pelayannya. Valias diam di sana menonton Dina pergi sebelum merasakan seseorang membungkuk kearahnya.

"Saya baru pertama kalinya melihat nona Dina sebahagia itu."

"..Haha. Begitu? Aku merasa sudah menghancurkan gerakan sempurna Dina. Aku mengganggu kelas dansanya." senyum Valias miris. Helia melihat reaksi itu dan membalasnya dengan senyum hangat.

"Saya pikir sedikit liburan bukan hal buruk. Apalagi melihat betapa senangnya nona Dina berdansa dengan Anda seperti itu." Helia terdiam sebentar melihat Dina yang mulai berlari kecil menghampiri dirinya dan Valias. "Sepertinya Anda akan menjadi motivasi Nona Dina untuk ke depannya."

Helia mengakhiri kalimatnya dengan senyum puas.

"Kakak! Minum ini!" Dina menyerahkan sebuah kotak kaca transparan dengan leher botol berisi air. Valias mengambil benda mudah pecah itu dan meneguk isinya.

Menyadari rasa air yang agak aneh dan mengerutkan keningnya.

"..Ini?"

"Itu ramuan penyembuh! Kakak akan merasa lebih segar setelah meminumnya! Aku tidak akan membiarkan kakak pingsan lagi!"

Helia mendengar itu dan tidak bisa tidak terkejut.

'Lagi'? ...Apakah tuan muda Valias sakit?

Helia melihat kulit pucat dan tubuh ringkih itu. Merasakan hatinya tertusuk jarum.

Nona muda yang malang.

Helia berpikir, mungkin alasan nama Valias tidak pernah disebutkan adalah karena dia sakit?

Membayangkan itu membuat Helia sedih. Helia tidak mau melihat wajah sedih Dina. Helia ingin Dina terus tersenyum bahagia seperti sekarang. "Guru Helia. Terimakasih untuk hari ini. Aku pergi."

"..Ah.."

Helia tersadar dari lamunannya dan melihat Dina yang sudah kembali menggenggam tangan Valias hendak meninggalkan ruangan.

"Saya pamit, nyonya."

"I- Iya."

Helia menerima senyum kecil itu dan merasa pundaknya menurun.

***

Hari sudah mulai sore dan Dina kebingungan untuk melakukan apalagi dengan kakaknya. Dina tidak mau membuat Valias merasa bosan saat bersamanya.

"Ada hal lain yang ingin kau lakukan?"

Valias tidak mendapatkan jawaban dan memajukan kepalanya untuk melihat wajah Dina.

"Dina?"

"Y- Ya?"

"Ada masalah?"

Dina tidak tau harus menjawab apa.

"..Apakah kakak bosan?"

Bosan?

Sama sekali tidak. Abimala bukan orang yang mudah bosan. Dina bisa meminta Valias untuk berdiri diam tanpa melakukan apapun dan Valias akan melakukannya.

"Tidak. Kenapa kau berpikir begitu?"

Valias tidak mendapatkan jawaban lagi.

Dia tidak tahu situasi apa yang sedang terjadi saat itu. Tapi firasatnya memberitahunya sesuatu. Valias memutuskan untuk berbicara. "Kau tidak tahu hal apa lagi yang bisa kita lakukan?"

Valias melihat bahu Dina yang menegang. Dina mendongak melihat mata Valias dan menggeleng lemah.

Dina tidak ingin kakaknya bosan. Tapi dia juga tidak mau berpisah dengan kakaknya. Hari belum berakhir.

Valias bicara lagi. "Kalau memang tidak ada yang bisa kita lakukan, maka yasudah."

Dina mendengar itu dan merasakan hatinya mendingin.

Kakak akan pergi.

Dina merasakan tangan Valias melepaskan genggamannya.

Dina tidak rela. Dia merasa sedih. Dia belum tidak mau berpisah dengan Valias.

Tapi tiba-tiba, wajah seseorang muncul di depannya.

Valias berjongkok di depan Dina dan memberikan senyum nakal.

"Kalau memang tidak ada yang harus dilakukan lagi, maka kita berkeliling saja."

"..Eh?"

Valias kembali berdiri dan meraih tangan Dina lalu membawanya berjalan.

"Kau tahu kan? Kakakmu ini jarang keluar dari kamarnya. Aku belum banyak tahu tentang rumah kita. Bagaimana kalau kamu menemaniku berkeliling rumah. Kita punya rumah yang besar, bukan begitu?"

Dina merasakan tangannya digenggam dan ditarik oleh tangan ramping itu. Dari posisinya Dina bisa melihat senyum yang belum pernah kakaknya tunjukan sebelumnya.

Dina belum pernah melihat senyum seperti itu di wajah seseorang.

Senyum kakaknya itu, terlihat bermain-main, tapi membuat Dina ingin melihat senyum itu lagi.

Dina merasakan matanya memanas. Tapi dia sudah memutuskan untuk tidak menangis lagi didepan Valias. Jadi dia menguatkan dirinya dan memasang senyum yang memang seharusnya dia miliki.

"Oke!"

Valias tersenyum puas melihat senyum itu sudah kembali di wajah Dina. Mereka berjalan sambil bergenggaman tangan. Alister dan Lika mengikuti tuan mereka masing-masing tanpa bersuara. Valias dan Dina mengunjungi banyak tempat. Halaman berlatih, kandang kuda, gerbang,

Mereka berpapasan dengan banyak orang dan Dina dengan ceria membalas sapaan mereka.

Hari sudah menggelap. Sebentar lagi waktunya makan malam. Tapi, Dina ingin egois hari ini. Sampai hari ini berakhir, Dina ingin berdua dengan Valias. Hanya dia dan kakaknya.

Dina tidak ingin makan. Dia hanya mau menggenggam tangan Valias dan jalan-jalan seperti ini seterusnya.

Tapi Dina tau itu tidak bisa. Jadi setidaknya,

"Kakak. Kakak lapar?"

Valias yang diajak bicara tiba-tiba itu menaikkan sebelah alisnya.

"Tidak. Dina lapar?"

Dina menggeleng.

"Ada yang ingin kamu katakan?" Valias menunggu Dina membuka mulut dengan sabar.

"..Kakak. Apakah aku boleh berdua dengan kakak sedikit agak lama?"

Valias kurang mengerti dengan maksud ucapan gadis itu.

"Tentu. Kita akan makan malam bersama lagi kan?"

"Bukan itu." Dina menggelengkan kepalanya.

Valias mengamati Dina yang masih menggenggam tangannya disampingnya.

"Lalu?"

"..Aku ingin jalan-jalan berdua dengan kakak. Seperti sekarang. Tanpa Danial, ayah, ibu.."

"...."

Valias masih tidak mengerti.

"Kamu mau kita hanya diam berdua seperti ini?"

"Y- Ya." Dina mendongak. "Apakah tidak boleh?"

"..Kau tidak lapar?"

Dina menggeleng. "Kakak lapar?"

Hm..

Valias melihat langit yang mulai gelap.

"Aku tidak lapar. Baiklah. Ada tempat yang mau kamu datangi? Dina sudah menemaniku jalan-jalan. Aku akan menemanimu kemanapun kamu pergi."

"..Benarkah?"

Valias mengangguk.

"Mau menghabiskan waktu di taman seperti tadi pagi?"

"K- Kalau begitu," Dina menimbang-nimbang.

"Bolehkah kita ke taman milik kakak? ...Aku dengar ayah membuatkan taman khusus untuk kakak. ..Aku belum pernah ke sana."

...Mungkin Valias tidak memperbolehkan orang lain mendatangi taman itu?

Valias berasumsi.

Dia berpikir,

Karena aku Valias Bardev yang sekarang, mari puaskan keinginannya.

Valias tidak setega Valias yang asli dengan menolak keinginan anak perempuan yang jauh lebih muda seperti Dina.

"Oke. Ayo ke sana."

Dina memiliki senyum lebar di wajahnya dan mengikuti langkah Valias.

25/8/2021 20.00 1620words

____

Chapter 19 - Kau... (4)

"Kau benar-benar tidak mau makan, Dina?"

"Tidak. Tapi.. Kalau kakak lapar, kita tidak perlu melakukan keinginanku."

Oh lihatlah anak ini.

Valias menganggap Dina bertingkah lucu.

"Alister."

"Ya, tuan muda."

"Sepertinya kau harus memberi tahu keluargaku kalau Dina dan aku akan piknik malam ini."

Alister menyeringai. "Saya mengerti."

Alister berbalik pergi. Kini hanya ada Valias, Dina dan Lika yang masih mengikuti mereka.

Mereka tiba di taman dan hari sudah berubah menjadi malam. Taman terlihat gelap. Tapi keberadaan bulan masih memberi pencahayaan.

"Saya akan menyalakan penerangan sekitar, nona."

"Oke." Dengan itu Lika pergi dan Dina benar-benar hanya berdua dengan Valias.

"Ayo kesana."

Valias mengajak Dina memasuki pekarangan taman didepan mereka. Valias sudah mengunjungi tempat ini dua kali. Pertama ketika dia menjadi Valias, dan kedua dengan Hadden. Sekarang, Dina lah yang berjalan disampingnya sambil menggenggam tangan miliknya.

"Ada yang ingin kau lihat?"

"Taman kakak luas sekali."

"..Hm, kurasa begitu."

Memang jika dipikir-pikir lagi, dibandingkan taman tempat dia membuatkan Dina pedang kayu dan sarapan itu taman tempat mereka berada saat ini lebih luas dan dengan tanaman yang lebih beragam.

"Kakak! Aku boleh memetik bunga itu?" Dina menunjuk sebuah bunga yang Valias tidak tahu namanya. Bunga itu berwarna merah dengan kelopak mekar terbuka memamerkan serbuk sari ditengahnya.

"Lakukan yang kamu mau."

Dina berlari kecil meninggalkan Valias.

Dina dengan hati-hati memetik bunga itu sebelum kembali menghampirinya lagi.

"Kakak. Menunduk!" Valias bingung dengan permintaan Dina tapi tetap membungkukkan tubuhnya.

Set.

Dina menyelipkan bunga itu pada kuping telinga Valias.

Hm?

"Hehe. Kakak cantik."

Valias mendengar ungkapan itu lagi dari seorang anak kecil reflek menyentuh bunga yang baru saja anak kecil itu selipkan pada telinganya.

Aku sudah tidak punya penampilan asliku sih. Tapi memakai bunga seperti ini..

Valias merasa jiwa laki-lakinya tergoyang.

..Yah, aku rasa tidak apa-apa. Toh ini tubuh orang lain.

"Kakak! Aku akan memetik buah itu!"

"Hm." Merasa dirinya sudah mendapat persetujuan, Dina mulai sibuk menuruti rasa penasarannya sendiri. Valias berdiri menonton segala yang Dina lakukan masih dengan bunga merah ditelinganya.

Waktu berlalu dan Valias merasa tubuhnya kedinginan.

Berada di luar ruangan tanpa lapisan pakaian tambahan membuatnya tidak nyaman. Valias belum pernah merasa kedinginan separah ini sebelumnya. Tapi Dina terlihat begitu senang. Apalagi ketika pilar dinding disekitar taman mengeluarkan cahaya. Dina semakin bersemangat berkeliaran di taman dengan pengawasan Valias.

Valias merasa tubuhnya merinding dan merasa lega Dina tidak menyadari itu.

Waktu berlalu lagi. Dina akhirnya berhenti bermain dan menghampiri Valias.

"Kakak! Aku merasa dingin."

"Gosokkan kedua tanganmu."

"Seperti ini?" Dina mengusapkan tangannya ke tangan yang lain.

"Iya. Begitu." Dina terus melakukan itu dan merasakan tangannya menghangat.

"Kita bisa melakukan ini? Aku belajar hal baru. Kakak memang yang paling pintar!"

Valias tersenyum mendengar ucapan Dina.

"Kau senang?"

"Sangat!" Dina bersemangat. "Kakak selalu bersamaku seharian ini. Satu keinginanku sudah terkabul."

"Oh? Kau punya keinginan lain?"

"Iya."

"Apa itu?" Valias berjongkok.

"..Aku akan membuat kue dengan banyak krim bersama kakak. Dan pergi ke kota dengan kakak. Lalu menikah dengan ditonton kakak. Lalu.. masih banyak lagi."

Valias tertawa. "Kau mau melakukan semua itu denganku?"

"Iya! Aku akan menghabiskan banyak waktu bersama kakak. Aku akan melindungi kakak dan memastikan kakak makan yang banyak." Dina membentuk lingkaran dengan kedua tangannya. "Aku juga akan lebih banyak memeluk kakak. Makan bersama kakak. Dansa dengan kakak. Danial, ayah, dan ibu juga. Aku akan melakukan banyak hal dengan kakak dan keluarga kita."

"Baiklah.. Kalau Dina mau melakukan itu, kamu harus rajin belajar dan cepat tumbuh, oke?"

"Aku akan." Dina membulatkan tekadnya.

"Hatchii." Dina bersin.

"Oh. Ayo kita kembali. Kamu tidak boleh sakit, kamu tau?"

"T- Tapi..!" Dina merutuki dirinya sendiri. "Tapi aku masih mau bersama kakak.."

Valias menghela nafas di dalam hati.

"Kita akan kemari lagi kapan-kapan. Sekarang kamu harus memakai jaket dan minum air hangat, oke?"

"Jaket? Apa itu?"

"A- Ah? Maksudku pakaian hangat. Aku akan bersamamu, jadi tidak apa-apa, kan?"

"...Baiklah.."

Valias menyentuh bahu Dina dan menggiringnya ke arah bangunan.

"Aku akan melakukan permintaanmu yang lain. Tapi kau tidak boleh sakit, mengerti?"

"Uh.." Dina terdiam. "Kalau begitu, bacakan aku sesuatu."

Valias diam sebentar.

Baca?

"..Kau mau aku membacakanmu cerita?"

Seperti yang sering Valias dengar sebagai Abimala. Abimala sendiri belum pernah memiliki seseorang yang membacakannya cerita. Setiap malam ayahnya hanya akan menepuk kepalanya sekali dan meninggalkan kamarnya.

"Iya. Kakak sering membaca. Aku selalu ingin dibacakan cerita oleh kakak."

..Yang sering membaca itu Valias. Bukan aku.

Tapi tidak ada salahnya mencoba dan menuruti keinginan seseorang.

"Baiklah." Dina mengangguk puas. Dirinya dan Valias tiba di aula. Valias tidak lagi merasa dingin. Tapi tidak ada salahnya untuk berhati-hati. Dina masih kecil. Valias sebagai yang lebih tua harus melindunginya. Valias akan merasa tidak enak kalau Dina sakit.

"Valias?" Valias dan Dina berpapasan dengan keluarga mereka didepan ruang makan.

"Kalian tidak lapar? Kalian masih bisa makan." Ruri mengingatkan.

"Kami tidak lapar."

"Yasudah kalau memang begitu. Kalian bersenang-senang?" Hadden mengusap kepala Dina dan Valias. Untunglah Hadden tidak menyentuh kulit mereka. Atau dia akan menyadari betapa dinginnya tubuh kedua anaknya.

"Iya! Kakak akan membacakanku cerita!"

Danial tiba dan memandangi kedua saudaranya yang tampak bersenang-senang tanpanya.

"Begitukah, Valias?"

"Ya.. Dina harus segera ke kamarnya."

Akan buruk kalau Dina sakit setelah ini.

"Baiklah. Kalian bersitirahatlah. Valias. Jangan lupa untuk beristirahat, mengerti?"

"Iya." Dina mengucapkan pamit dan menarik tangan Valias lagi.

Lika membukakan pintu kamar Dina. Dina langsung mengajak Valias masuk ke kamarnya. Valias melihat sebuah pintu yang dia asumsikan sebagai kamar mandi dan mulai berbicara.

"Mandilah dengan air hangat."

"Mari, nona." Lika mengantar Dina kedalam kamar mandi. Sebelum itu Dina melirik Valias. Valias menyadari itu.

"Aku akan menunggu disini. Alister akan menyiapkan minuman hangat untukmu."

"...Kakak janji?"

Valias mengangguk. Dengan itu barulah Dina menuruti ajakan Lika meski dengan hati ragu. Pintu kamar mandi tertutup.

"Begitukah, tuan muda?"

Suara Alister mengejutkan Valias yang masih sibuk dengan pikirannya sendiri.

"Ya? Oh, benar. Siapkan minuman hangat dan, mungkin makanan? Mungkin sup seperti yang kau berikan padaku waktu di istana bagus."

"Saya akan menyiapkannya." Alister dengan begitu pengertian mulai meninggalkan ruangan sambil menyempatkan diri melirik Valias. Tuan mudanya melakukan banyak hal hari ini. Kemudian Alister benar-benar menghilang dari ruangan.

Valias menikmati waktu menunggunya dengan mengambil pengamatan pada kamar Dina.

Kamar anak perempuan pada umumnya, Valias pikir.

Ada boneka, meja rias, furnitur dengan ornasi bunga. Sangat berbeda dengan ruangannya yang penuh kertas dan buku juga furnitur yang lebih sederhana.

Valias memikirkan hari esok. Hal apa yang akan dia lakukan untuk mengisi waktu?

Pintu kamar mandi terbuka dan Dina keluar bersama Lika dengan gaun tidurnya. Melihat itu Valias bicara.

"Kau mau dibacakan sekarang?"

Dina mengangguk. Tangan Valias ditarik kearah tempat tidur. Lika menaruh sebuah kursi disisi ranjang. Valias hendak duduk namun suara Dina mengalihkan perhatiannya.

"Kakak duduk di sini saja." Dina menepuk pinggir kasurnya.

Valias melirik area yang ditepuk tepuk Dina.

Tapi bajuku pasti kotor.

Bahkan Abimala pun tidak pernah duduk atau tiduran di kasurnya dengan pakaian yang dia pakai selama di luar rumah.

"Bajuku kotor, Dina."

"Tidak apa-apa. Aku mau kakak duduk di kasur yang sama denganku."

Setelah bicara begitu Dina memasang wajah memelas.

Valias merasa tidak nyaman tapi akhirnya duduk. Dina mulai memanjat tempat tidur dan duduk memeluk bantalnya.

"Ada buku yang kau mau untuk dibaca?"

Valias bicara begitu Dina terlihat seolah dia sudah begitu tidak sabar mendengarkan Valias berdongeng.

Dina melirik Lika, lalu sebuah buku muncul di depan Valias. Valias mengambil buku itu dari Lika dan membukanya.

..Dewa dan pengikutnya,??

Valias meneliti buku itu.

Itulah judul buku yang kini berada di tangannya.

"..Kau mau aku membacakanmu ini?"

Dia bertanya-tanya pada dirinya sendiri apakah buku itu sebuah cerita anak-anak atau sebuah buku non fiksi.

"Iya!! Kakak dipilih dewa. Ayo baca buku itu. Aku menemukannya di ruang baca."

"....." Valias tidak bisa berkata-kata.

Melihat wajah Dina yang terlihat begitu antusias akhirnya Valias mengembalikan pandangannya pada si buku.

"Oke.."

Valias berdeham.

Valias membalik halamannya dan mulai membaca rentetan kata di halaman itu.

"Di atas sana, dewa menjadi pemberi berkah bagi kita. Dia melindungi kita. Memberikan kita makanan hangat. Hewan untuk diburu, tumbuhan untuk dipetik.."

Valias terus membaca sambil diam-diam mengerutkan kening. Rasanya seperti membaca buku kitab agama lain. Tapi di cerita yang Abimala itu, memang digambarkan kalau orang-orang menyembah beberapa dewa.

Mungkin ini buku tentang salah satu dewa itu?

Suara pintu diketuk terdengar. Valias dan Dina melihat Lika yang membuka pintu kemudian Alister masuk membawa nampan.

"Saya kembali, tuan muda."

"Oh." Valias terlupa akan permintaannya pada sang pelayan sebelumnya. "Dina. Makan sup dari Alister dulu. Ada minuman juga." Alister mendekat dan Valias mengambil salah satu piring lalu meemberikannya pada Dina.

Hm? Ada dua?

Valias mengangkat sebelah alisnya pada Alister. Pelayan itu memberinya senyum ramah palsu.

Valias mengerti maksud senyum itu.

Baiklah.

Valias dan Dina menghabiskan sup dan teh hangat mereka dan Valias kembali membaca.

Valias terus membaca sampai tiba-tiba dia merasakan sesuatu menabrak bahunya.

"Oh." Valias langsung menangkap bahu Dina. Alister dan Lika membantu Valias membaringkan anak itu.

"Ka..kak?"

Dina berucap pelan. Dia terlihat sangat mengantuk.

"Kau sudah mau tidur?"

Valias pikir mungkin makanan dan minuman hangat tadi membuat anak seperti Dina mengantuk.

"Tidak! Aku masih bisa bersama kakak!"

Valias menghela nafas. "Aku tidak akan pergi."

"Bohong! Aku belum mau tidur! Aku masih mau bersama kakak."

Dina membulatkan matanya. Menolak fakta bahwa kedua kelopak matanya sudah sangat berat.

Valias mulai ingin tertawa. "Oke." Dia tersenyum jahil.

"Aku punya permainan."

Valias menepuk kepala Dina dan Dina langsung menggenggam tangan Valias.

"Aku akan menepuk kepalamu seperti ini. Kau tutup mata lalu hitung sampai sampai 50 di dalam hati. Kau sudah bisa menghitung sampai segitu kan?"

Dina memperlebar matanya lagi.

"Bisa! Aku bisa menghitung sampai 200!"

Valias tersenyum hangat.

"Dina memang pintar. Oke. Siap? Kalau sudah menghitung sampai 50 aku akan membaca lagi."

Dina tidak mengerti tapi dia memilih untuk menuruti ucapan Valias. Dia menutup matanya, mulai menghitung didalam hati, sambil merasakan tangan Valias berada di kepalanya.

Valias juga ikut menghitung didalam hatinya dan perlahan, pegangan tangan Dina terlepas, dan deru nafas lembut terdengar dari Dina.

Valias menghela nafas lucu.

Dasar anak ini. Kau pikir aku tidak tahu?

"Anda akan ke ruangan anda, tuan muda?"

Suara Alister terdengar dari belakang. Valias menimbang-nimbang sambil melihat Dina yang sudah tertidur pulas.

"Hm.."

Valias memikirkan kemungkinan Dina yang banngun di tengah malam dan merasa kecewa.

"Aku akan tidur di sini."

Alister mengamati punggung Valias.

"Anda yakin?"

Valias mengangguk. Dirinya sudah biasa tidak tidur dimasa kuliahnya. Melakukan itu lagi sekali sepertinya tidak apa-apa.

Lika merasa dirinya tersentuh dengan pamandangan itu. Sedangkan Alister sibuk dengan pikirannya.

"Baik. Saya akan membawakan selimut. Lika, kau bisa istirahat duluan."

"B- Baik, tuan Alister." Bagi Lika posisi Alister sebagai wakil kepala pelayan jauh diatasnya. Dia akan mematuhi semua ucapan pelayan tua itu.

Lika keluar bersama Alister meninggalkan ruangan Dina. Tak lama kemudian Alister kembali sendirian dengan membawa lipatan selimut dan memasangkannya pada bahu Valias yang sudah duduk di kursi yang tadi disediakan Lika.

"Beristirahatlah dengan baik, Tuan Muda."

"Hm. Kau juga."

Alister memberikan senyum ramah palsunya dan membungkuk undur diri.

Valias mengeratkan selimut itu pada tubuhnya sendiri dan merasakan ruangan menjadi gelap dan sunyi.

04/06/2022

Measly033