webnovel

Chapter 16 - Kau... (1)

Pintu terketuk. Suara Alister memberitahunya bahwa waktu makan malam sudah tiba. Valias meletakkan buku yang telah dia baca dan keluar membuka pintu menuju ruang makan.

Pintu ruang makan telah terbuka dan Dina menyadari kedatangannya dengan wajah terkejut. Begitupun Danial. Mereka duduk dengan letak kursi seperti hari pertama Valias bergabung dengan mereka. "Kakak?! Sejak kapan kakak kembali?!" Dina langsung turun dari bangkunya kemudian berjalan cepat menghampiri Valias. Memeluk kedua pahanya. "Aku sangat khawatir! Bagaimana luka kakak? Sudah sembuh kah?"

Sebenarnya Valias bahkan lupa kalau dia memiliki ikatan perban di balik pakaiannya. Valias berpikir sepertinya luka itu sudah mulai sembuh. Lagipula, sudah seminggu berlalu.

Valias menggapai kedua bahu dina. "Aku sudah tidak apa-apa. Maaf membuatmu khawatir."

"Benarkah?" Danial ikut menghampirinya. Dia mengingat betapa banyaknya darah yang mengalir dari lengan Valias waktu itu dan bagaimana kakaknya pingsan setelahnya. Lalu bagaimana pucatnya kulit itu ketika Valias berbaring tanpa membuka mata selama dua hari penuh. Bahkan ketika Danial dan yang lain pulang pun kondisi Valias tidak terlihat membaik.

Tapi setidaknya sekarang kakaknya sudah pulang dan berdiri seperti biasa di depannya. Penampilannya sudah jauh lebih baik dan dia terlihat lebih sehat meski dengan kulit dan tubuh itu. "Iya. Tidak ada yang perlu kalian khawatirkan lagi."

"Kenapa kakak tidak mengabari kami?" tanya Dina.

"Aku lupa."

Alister juga tidak menyebutkan hal itu sama sekali.

"Kakak lapar?" Kali ini Danial yang bertanya.

"Tidak terlalu. Lagipula aku di sini untuk makan bersama kalian."

"Bagus! Kakak harus makan yang banyak. Ayo duduk kak. Kakak duduklah di dekat ayah dan ibu. Mereka juga khawatir pada kakak sejak kemarin. Ayah bahkan begitu diam dan murung selama kakak di istana."

Dina menarik tangan Valias dan menuntunnya untuk duduk di kursi di dekat bangku milik Hadden. Kemudian Dina duduk di kursi biasanya sedangkan Danial di seberang Dina.

"Kapan kakak sadar?"

"Tiga hari yang lalu. Aku istirahat sehari lalu besoknya ke sini."

"Kenapa kakak tidak beristirahat lebih lama?"

"Aku lebih suka beristirahat di sini."

Apa yang aku lakukan di sana?

Daripada di istana Valias lebih suka diam di ruang baca tempat tinggal Valias Bardev sang pemilik tubuh.

"Kakak benar! Aku akan menjaga kakak. Kakak tidak boleh terluka lagi. Kakak juga tidak boleh pingsan lagi. Aku akan membuat kakak makan yang banyak!"

Dina berseru ke arah Valias. Alister mengambil bangku yang waktu itu Valias gunakan dan membawanya keluar ruangan.

"Apa keluarga kerajaan menemui kakak?" tanya Danial.

"Ya.."

"Mereka mengajak kakak bicara apa?" Sang adik bertanya lagi.

"Tidak banyak."

Putra mahkota mencurigaiku. Masuk akal.

Valias duduk tegak melihat ke arah meja tanpa menanggapi mata Danial dan Dina.

"Ayah! Kakak sudah kembali!"

Ketika Valias menoleh Hadden dan Ruri sudah berdiri berdampingan di pintu seperti waktu itu. Dengan ekspresi serupa.

"Valias? Kau sudah kembali? Kenapa ayah tidak tau?" Hadden berwajah tidak percaya.

"Maaf ayah. Aku lupa mengabari. Aku baru sampai sore tadi." Valias berdiri dan mengangguk ke arah Hadden.

"Biar kulihat." Ruri meninggalkan Hadden dan menghampiri Valias.

"Lukanya?"

"Sudah tidak sakit. Mungkin sebentar lagi sembuh."

Ruri dan Hadden bisa mencium bau obat dan tanaman dari balik lengan pakaian Valias. Alister lah yang mengobati dan mengganti perban Valias serta membantu Valias mengelap membersihkan tubuh dan berpakaian.

"Kami sangat khawatir, Valias. Kau pingsan tiba-tiba setelah terluka. Kau tidur begitu lama. Ayah sangat menyesal harus meninggalkanmu di sana." Hadden ikut menghampiri dan memeluk Valias dengan begitu erat sambil berhati-hati tidak menyentuh lengan kanan anaknya.

"Tidak apa-apa ayah. Aku juga sudah baik-baik saja." Setelah itu barulah Hadden melepas pelukannya. Valias bisa melihat air muka Hadden yang tampak begitu lelah. Valias bisa membayangkan bagaimana Hadden begitu mengkhawatirkannya melihat wajah itu dan mengingat kata-kata Dina.

Valias teringat sosok ayahnya. Sudah lama dia tidak menerima kekhawatiran seseorang. Tapi menyadari bahwa Hadden mengkhawatirkan anaknya, Valias yang asli, Abimala tentu tidak akan berpikir kalau Hadden khawatir padanya.

Aku hanya orang yang merasuki tubuh anaknya.

Ruri, Dina, Danial juga. Valias sudah menipu mereka walaupun itu memang bukan keinginannya. Tapi dia juga tidak akan memilih untuk bersikap seperti Valias yang asli. Dia akan tetap bersikap sebagai dirinya sendiri.

"Yasudah kalau kau berpikir begitu."

Hadden meminta Valias dan Ruri untuk duduk dan mulai duduk di bangkunya sendiri. Pelayan menyajikan makanan dan makan malam pun dimulai.

"Kapan kau bangun Valias? Terakhir kami melihatmu kau masih tidak sadar." tanya Ruri sebelum menyentuh makanannya.

"Tiga hari yang lalu, ibu. Aku beristirahat sehari lalu ke sini." Valias menjawab dengan cara yang sama ketika Danial bertanya tadi.

"Kenapa tidak beristirahat lebih lama?"

"Aku lebih suka istirahat di sini."

"Kakak benar, ibu. Kali ini kita bisa menjaga kakak."

"Apakah putra mahkota menemuimu?"

Hadden mengingat bagaimana Alister menyampaikannya pesan yang dikirim Mallory melalui sebuah surat yang melaporkan bahwa ada pekerjaan baru yang sudah menumpuk selama empat hari. Frey yang mengetahui laporan itu memberitahu Hadden untuk kembali ke wilayah Bardev. Hadden ingin membawa Valias kembali tapi sang putra mahkota memberitahunya kalau dia ingin berterima kasih langsung pada Valias setelah Valias bangun. Jadi dia ingin Valias tetap di istana.

Frey juga mengusulkan untuk membiarkan satu pelayan saja menemani anaknya. Istana akan memastikan keamanan dan kesehatan Valias Bardev. Dengan itu Hadden dengan berat hati meninggalkan Valias bersama Alister dan kembali lebih dulu.

Sejak saat itu Hadden tidak banyak bicara dengan siapapun. Mengkhawatirkan Valias yang sendirian tak sadarkan diri hanya dengan Alister di sisinya. Hadden ingin tahu kata-kata seperti apa yang diucapkan putra mahkota Frey pada anaknya.

Anaknya sudah terluka parah dan hilang kesadaran karena kehilangan banyak darah setelah menyelamatkan seorang calon raja. Hadden ingin tahu bentuk terimakasih apa yang anaknya terima dari Frey Nardeen. "Iya." Valias menjawab.

"Apa yang putra mahkota katakan?"

"Tidak banyak."

Valias merasakan pandangan dari semua orang di meja makan.

"Apakah mereka mencurigai kakak?"

Suara tanya Danial terdengar setelah beberapa saat di selang keraguannya. Valias terhenti ketika hendak menyendok makanannya. Dia merasakan mata Hadden dan Ruri yang menajam.

"Apa?" Hadden juga belum menyentuh makanannya sama sekali.

"Mencurigai apa?" Valias pura-pura tidak tahu.

Aku tidak menyangka Danial mengerti hal itu juga.

Danial cerdas. Tentu saja. Sejak dia menyentuh panah yang menancap lengannya itu pun, Valias sudah memperkirakan segala kemungkinan yang ada.

Orang-orang akan mencurigainya. Apalagi dengan kemunculannya yang tiba-tiba sebagai anak keluarga Bardev yang sebelumnya belum pernah dipublikasikan, pasti orang-orang akan membuat asumsi mereka masing-masing.

Danial sepertinya cukup cerdas dan peka sebagai anak di usianya.

Dia kembali bicara setelah keheningan sejenak. "Tindakan kakak di acara hari itu mengundang perhatian orang-orang. Yang mulia raja dan kakak sama-sama menjadi korban, tapi kakak tetap hidup sedangkan yang mulia meninggal. Penyebab kematian raja adalah kasus pertama dalam sejarah. Belum ada seorangpun yang tahu bagaimana cara mengatasi racun yang memasuki tubuh mereka."

Danial diam sejenak. Berhenti menyentuh makananya untuk mengamati Valias yang duduk agak jauh darinya. "Mungkinkah... melukai diri kakak sendiri waktu itu, adalah cara yang benar untuk mengatasi racun?"

Semua orang di dalam ruangan membelalakan matanya. Bahkan para pelayan yang mendengar pembicaraan itu pun terkejut mendengar perkataan Danial.

"....Kakak?"

"..Apakah itu benar Valias?"

"..Bagaimana kau bisa tahu?"

Hadden dan Ruri menunggu jawaban Valias.

".......Itu.."

Valias mempertimbangkan bagaimana dia harus merespon. Dia sudah menduga pertanyaan itu dari keluarga Valias. Walaupun dia tidak menyangka Danial lah yang akan memulai topik itu.

"Dan bagaimana tuan muda Valias tahu kalau panahnya beracun, ah!" Seorang pelayan perempuan tampak terkejut dengan ucapannya sendiri barusan. Kini rekan-rekannya melihatnya panik.

"Apa yang kau pikirkan?" Seorang pelayan laki-laki menegur. Tapi tampaknya dia memikkan hal yang sama dengan pelayan perempuan itu.

Suasana menjadi tegang. Valias merasakan tekanan itu lagi tapi berhasil menenangkan dirinya.

Dia sudah siap mengucapkan omong kosong lagi. Tapi dia tidak tega melakukan itu pada keluarga Valias yang begitu peduli padanya. Berbeda dengan saat berhadapan dengan Frey tiga hari lalu.

"Apapun yang ada di pikiran kalian, anakku, Valias Bardev tidak akan melakukan hal yang salah. Danial. Apa yang membuatmu berpikir begitu?"

Danial menurunkan pandangannya. Menyatukan kedua tangannya di balik datar permukaan meja. "Maafkan aku ayah. Aku sudah memikirkan hal ini sejak kita pulang dari istana. ...Aku juga mendengar para pelayan dan ksatria berbisik tentang kejadian itu. Berita dan gosip menyebar dengan cepat. Jika ingin melindungi kakak, ...aku pikir setidaknya kita harus mendengar cerita kakak."

"Tapi kau tidak seharusnya membahas itu sekarang. Kakakmu baru saja pulang." Hadden memberi penekanan pada suaranya.

"Hadden.." Ruri merasakan atmosfer buruk yang muncul. Mencoba meraih tangan Hadden yang memegang garpunya erat.

"...Maaf.. ayah. ...Aku berucap tanpa pikir panjang.." Danial semakin menundukkan kepalanya. Berwajah menyesal. Tidak kunjung mengangkat kepalanya.

"..Ayah.." Dina merasakan jantungnya berdetak dengan cepat. Dia merasakan tangannya mendingin. Dia tidak begitu mengerti kenapa ruangan yang hangat dan bahagia karena kepulangan kakaknya berubah.

"..Tidak apa-apa. Aku akan memberi tahu kalian."

"Valias.." Ruri bersuara khawatir.

"Tidak apa-apa ibu. Maaf membuat kalian khawatir."

Valias tidak ingin keluarga itu berkonflik karena dia. Dia sudah mengakibatkan situasi itu, dia harus mengambil tindakan. "..Aku menerima pesan dari dewa."

Valias memulai omong kosongnya lagi.

"..Dewa?" Hadden melihatnya tidak sabar.

Valias mengangguk. "Ya."

Valias menjelaskan sebagaimana dia berbohong kepada putra mahkota.

Satu persatu bicara setelah keheningan yang berlangsung akibat sang pembuat omong kosong.

"..Ayah.. ..Ayah tidak menyangka ini.."

"...Sejak kapan kau menerima pesan dari dewa seperti itu?"

"K, Kakak dipilih Dewa?"

"...."

Valias merasa begitu canggung membohongi orang lagi. Apalagi kini semua anggota keluarga Valias Bardev melihatnya tidak menyangka.

Danial yang memulai situasi itu pun tidak mampu berkata-kata.

"..Ini pertama kalinya." Valias menyuap sedikit porsi makanan untuk membuat dirinya tampak tenang. "Dan itulah, bagaimana aku melukai diriku sendiri. Mungkin hal itu yang membuatku selamat. Aku tidak berharap banyak sama sekali."

"..Kau bisa mati. Bisa-bisanya kamu menganggap enteng itu!" Hadden mengeratkan genggamannya. Ruri menenangkannya lagi. Mereka masih belum menyentuh makanan mereka sama sekali. Begitupun dengan Danial dan Dina yang sudah melupakan keberadaan makanan yang sudah termakan sedikit.

"..Ayah.. ayah tidak mau kehilanganmu lagi. ..Ayah belum meminta maaf dengan benar padamu. Ayah belum menjelaskan alasan ayah pergi meninggalkanmu dan ibumu.." Suara Hadden terdengar bergetar. Begitu juga dengan kedua bahu dan tangannya.

"Ayah belum menjadi ayah yang baik untukmu.." Mata Hadden mulai memanas. Ruri melihat suaminya jadi ikut merasa ingin menangis. Dia sudah menyaksikan kesedihan dan penyesalan suaminya selama ini. Dan akhirnya suaminya mendapatkan kebahagiaanya.

Valias semakin terpuruk. Dia tidak menyangka Hadden akan merespon omong kosongnya seperti itu. Putra mahkota tidak menunjukkan reaksi seperti Hadden sama sekali.

Tapi kira-kira Valias juga mengerti kenapa Hadden berpikir seperti itu.

Keluargamu sangat menyayangimu Valias.

Valias tidak tahu apa-apa tentang Valias Bardev tapi melihat bagaimana sikap keluarga itu, terutama Hadden padanya, Valias merasa, Valias yang asli terlalu buruk dalam membalas perhatian keluarganya.

"..Maafkan aku, ayah. Aku berjanji tidak akan membuatmu khawatir lagi."

Valias mengucapkan itu dengan sungguh-sungguh. Dia membalas mata sedih Hadden dengan tenang dan memasang senyum tulusnya.

Air mata keluar dari mata Hadden. Dia mengambil sapu tangan dari kantung bajunya dan mengusap air matanya sendiri. "..Berjanjilah untuk memberi tahu ayah tentang apapun. Beritahu kami jika kamu mendapatkan pesan dari dewa seperti itu lagi."

"...Tentu.."

"..Ayah.. Apakah apa yang kakak alami itu.. pernah terjadi sebelumnya?"

Pertanyaan Danial membuat ruangan hening kembali.

"..Ayah belum pernah mendengar hal seperti itu. Ini pertama kalinya. Ayah juga masih belum bisa percaya hal ini. Ah.. bukannya ayah tidak percaya padamu Valias.." Hadden terlihat panik ketika kembali memalingkan kepalanya pada Valias.

"Tidak apa-apa ayah. Aku mengerti. Aku juga berpikir itu tidak masuk akal."

Valias merutuki dirinya sendiri.

Abimala, bukankah kemampuan beromong kosongmu terlalu bagus? Kenapa kau tidak mulai menulis buku saja?

Abimala si anak jurusan seni akhirnya berpikiran untuk mencoba mempelajari sastra.

"..Valias, apakah kamu mungkin... kita harus mencari tahu soal ini? Mungkin... kita harus ke kuil?"

"Ya, Ruri benar. Mungkin kita bisa bertanya pada Pater tentang apa yang kau alami."

"K- Kakakku dipilih dewa?"

"...."

"...Tidak perlu ayah. Aku juga tidak tahu apakah mimpi seperti itu akan terjadi lagi atau tidak. Tidak perlu terlalu memikirkannya." Valias semakin merasa bersalah. "..Ayah. Ayah bahkan belum menyentuh makanan ayah. Aku pikir ini waktunya makan malam?"

"A- Ah.." Hadden, Ruri serta Danial dan Dina langsung secara bersamaan menyentuh alat makan mereka dan mulai makan.

Valias menghela nafas dalam hati.

Ketika semua orang selesai sibuk dengan makanan mereka dan membiarkan ruangan tidak diisi dengan pembicaraan apapun, Ruri yang pertama membuka mulutnya.

"Makan malam sudah selesai. Apakah kalian sudah mau beristirahat?" tanya Ruri lembut.

Dina tidak merespon apa-apa. Danial menganggukan kepalanya ragu. Valias meraih gelas dan meminum air di dalamnya. "Aku akan pamit. Kalian juga beristirahatlah, ayah, ibu."

"Iya.." Hadden menonton Valias berdiri dengan ekspresi yang agak rumit.

"A- Aku juga."

"Selamat malam." Dina dan Danial mengikuti Valias keluar pintu. Dua pelayan tadi dan Alister mengekor tanpa suara di belakang mereka bertiga.

Valias berpikir mungkin kamar Danial dan Dina berada di arah yang sama dengannya. Dia memulai pembicaraan. "Kalian suka makanannya?"

"A- Apa? ...Iya. Makanannya enak." Dina menjawab gugup di sampingnya. Berjalan beriringan dengan Valias.

"Bagaimana denganmu?"

Valias melirik Danial yang berjalan di kiri belakangnya. "..Iya.." Danial menjawab pelan.

Mereka berjalan tanpa ada yang berbicara lagi. Tapi Danial akhirnya memutuskan untuk mengatakan sesuatu.

"Maafkan aku, kakak."

Valias mengeluarkan kekehan kecil. "Tidak apa-apa. Kau memikirkan aku. Aku senang."

"..Kakak tidak marah?"

"Tidak sama sekali. Kau pintar dan tajam. Aku sudah menduga kau akan menanyakan itu. Sudah sepantasnya ayah dan ibu tau." Valias menjeda sebentar. "Kalian juga. Kau melakukan hal yang benar."

"...Baiklah.."

Danial mulai merasakan beban di hatinya terangkat. Danial mengamati Valias dari belakang. Kakaknya lebih tinggi darinya. Tapi Danial rasa dirinya akan tumbuh lebih tinggi dari kakaknya itu. Guru dan instruktur pedangnya selalu bilang kalau Danial dan Dina tumbuh lebih cepat dan lebih tinggi dari anak-anak seumuran mereka.

Danial pikir, dia akan mencapai tinggi kakaknya cepat atau lambat.

Dia mengamati rambut kakaknya. Rambut merah panjang yang diikat dengan pita hitam. Danial belum pernah melihat seorang pria dengan rambut panjang seperti kakaknya itu. Danial bertanya-tanya kenapa kakaknya tidak pernah memotong rambutnya.

Tapi, setelah dia pikir-pikir lagi,

Mungkin memang lebih baik seperti itu.

Kakaknya terlihat begitu anggun dengan rambut merah yang mulai melewati bahu. Rambut kakaknya lurus, berbeda dengan rambutnya dan Dina yang sedikit lebih ikal seperti ayahnya.

Danial berpikir mungkin ibu mereka juga berambut lurus?

Danial, dengan melihat Valias, merasa dirinya tidak akan melupakan sosok wanita yang pernah mengandung dan melahirkannya.

"A, Aku tidak pintar.."

Dina bergumam. Valias mendengar itu dan menepuk kepala Dina.

"Kau juga pintar. Kau masih muda. Kau masih punya waktu untuk belajar. Kau bisa mencontoh Danial dan orang tuamu. Kau pasti bisa tumbuh menjadi perempuan yang hebat."

Mata Dina berbinar. "Menurut kakak begitu?"

"Tentu. Kau dan Danial akan menjadi pemimpin keluarga ini menggantikan generasi orangtua kalian. Aku yakin kalian akan menjadi kakak adik yang hebat."

"Aku akan meneruskan posisi ayah." Jawab Danial dengan penekanan.

Danial sudah belajar sejak kecil sebagai anak sulung keluarga Bardev. Meski sekarang status anak sulungnya sudah berpindah pada kakaknya, Danial tidak akan melepaskan cita-citanya.

Danial mendengar perkataan Valias dan menjadi lebih bersemangat. Jika kakaknya berpikir seperti itu, maka Danial akan membuktikannya.

"Tepat sekali. Aku akan mendukung kalian." Valias menepuk kepala Dina lagi sebelum mengangkat tangannya.

"M- Menurutku kakak juga hebat. Kakak tinggi. Kakak tampan seperti Danial. Aku juga selalu melihat kakak ke ruang baca. Kakak juga menulis kertas-kertas itu. Aku tidak tahu apa yang kakak kerjakan. Tapi aku yakin kakak hebat. K.. Kakak juga," Dina terdengar berhenti sebentar.

"Kakak juga orang yang dipilih dewa!"

"...."

Valias benar-benar tidak menyangka hal itu akan keluar dari mulut Dina.

"...Aku tidak dipilih Dewa. Itu hanya pertanda mimpi. Semua orang mengalaminya." ucap Valias.

Seperti bagaimana teman-teman kuliahnya kadang memamerkan mimpi mereka. Dejavu, mereka bilang. Temannya bermimpi telat, lalu dua hari kemudian dia benar-benar telat.

"Saya tidak pernah memiliki mimpi seperti itu, tuan muda."

Dari belakang, Alister ikut bicara.

Valias melirik ke belakang dan mendapat senyum palsu pelayan itu. "Aku juga tidak pernah! Aku yakin kakak benar-benar dipilih dewa!" Dina terdengar begitu bersemangat.

Valias tidak mengatakan apa-apa. Danial tampak sibuk dengan pikirannya.

04/06/2022

Measly033