Keira sedang duduk di halte bersama anak-anak SMA Pahlawan lain saat Benny datang bersama gengnya. Mereka berempat dan langsung mengelilingi Keira.
"Daripada nungguin bus, pulang bareng gue aja gimana?" kata Benny, mengusir beberapa cewek yang duduk di dekat Keira.
"Maaf, Kak. Aku mau pulang sendiri aja," Keira memaksakan diri untuk tidak terlihat takut di depan mereka.
"Gue anterin lo pulang," rayu Benny sambil tersenyum. "Tenang aja. Lo pulang sama gue kok. Nggak sama Febri."
"Nggak usah, Kak. Makasih," tolak Keira sopan. Ia cukup lega saat bus yang ditunggunya datang, tapi kelegaannya seketika lenyap karena Benny dan gengnya menghadang Keira. Mereka sengaja melakukannya hingga bus itu pergi meninggalkan halte, menyisakan Keira seorang diri di sana.
"Kalian mau apa sebenarnya?" Keira mulai ketakutan. Ia sudah ketinggalan bus gara-gara Benny dan gengnya.
"Mau ngajak lo pulang bareng, kan?" Benny tersenyum menang.
"Aku nggak mau, Kak," tolak Keira ketakutan. Ia langsung bergegas pergi dari halte untuk menghindari mereka.
"Hey, mau ke mana, Manis? Gue nggak mau ngapa-ngapain lo kok," kata Benny seraya mengikutinya.
Keira berdebar-debar saat melangkah cepat meninggalkan halte. Ia takut sekali. Apalagi saat sadar Benny dan teman-temannya malah mengikuti.
"Keira!" Benny memanggilnya. "Lo jangan takut sama gue. Gue bukan orang jahat, kok. Lo kan tahu kalo gue kakak kelas lo!" serunya tak diindahkan.
Keira sampai di ujung jalan yang biasa dilewati bus menuju arah rumahnya. Gawat. Tidak mungkin ia jalan lebih jauh lagi. Tidak bisa, kecuali ia memilih jalan yang bukan ke arah rumahnya. Tapi memang Keira mau ke mana? Pulang ke rumah adalah tujuan satu-satunya.
"Gue mau anterin juga, malah lari. Lo kenapa sih?" tanya Benny yang telah tiba di belakangnya.
"Aku nggak mau, Kak. Tolong jangan maksa," jawab Keira dengan suara gemetar. "Biarin aku pulang sendiri."
"Niat gue baik lagi," Benny menyaku kedua tangannya di celana.
"Gue cuma pengen lebih kenal aja sama lo. Gue pengen kita deket. Jadi nggak usah lari, deh. Karena semakin lo lari, gue malah semakin pengen ngejar lo."
Keira merinding mendengar ucapan itu. Keira benar-benar takut dengan Benny. Terlebih lagi ia bersama gengnya. Tidak mungkin Keira bisa lepas dari mereka begitu saja. Mustahil bagi cewek lemah sendirian sepertinya.
"Keira," Benny tiba-tiba menyentuh tangan Keira. "Ayo, gue ajak jalan. Abis itu gue anter lo pulang."
"Nggak!" Keira segera menepis tangan Benny darinya. "Tolong jangan pegang-pegang seenaknya, Kak." Suaranya tampak goyah. Keira benar-benar sudah gemetaran.
"Uupss!" Benny pura-pura terkejut. "Tapi jangan kasar-kasar juga, dong," katanya sinis. Ia malah coba meraih tangan Keira lagi. Sontak Keira mundur lalu kakinya berlari menjauh dari mereka.
"Keira, mau ke mana?" Benny terus memanggilnya. Keira tak berani menoleh. Perasaan takutnya sudah tak terlukiskan. Akhirnya ia masuk ke sebuah toko roti yang dilewatinya.
"Mari silakan!" Pelayan di toko roti itu menyambut kedatangan Keira.
"Mm-mbak, ada kue tart?" tanya Keira asal-asalan.
"Tentu ada, Kak. Silakan Kakak ingin yang bentuk dan ukuran yang seperti apa." Pelayan itu menunjuk etalase di depan Keira, memperlihatkan beberapa kue ulang tahun di sana.
"Sebentar ya, Mbak. Saya milih dulu." Keira berlagak melihat-lihat isi etalase. Sebentar-sebentar ia menoleh keluar. Benny dan yang lain masih di depan. Sepertinya mereka sengaja menunggu Keira di sana. Benar-benar mengerikan.
Keira coba mengambil ponsel dan berniat menghubungi Mama. Tapi ia lalu sadar. Mama pasti akan kelewat cemas mendengarnya. Papa juga pasti berpikir ini sangat berbahaya. Bisa-bisa mulai besok dia akan dikawal ketat selama berangkat dan pulang sekolah. Keira ingat Fadil sedang ada kerjaan di luar kota. Keira semakin gemetar dan panik saja. Mana hari sudah sore dan hampir hujan lagi.
Keira memeriksa semua kontak nomor di ponselnya. Sedikit sekali nomor ponsel teman yang ia punya. Semua nomor yang ada hanyalah teman cewek. Itu pun cuma teman sekelas dan beberapa anak mantan 10-3. Tidak ada sama sekali nomor teman cowok yang ia simpan di ponselnya.
Tiba-tiba Keira melihat nama Zein di daftar kontak terakhir. Tapi yang benar saja. Tidak mungkin kan minta bantuan dia? Tidak sudi! Bukankah baru saja di sekolah mereka habis bertengkar besar-besaran? Keira habis mengatainya berandalan. Preman kelas. Tidak mungkin sekarang Keira tiba-tiba menelpon dan meminta bantuan Zein.
Dreeetttt. Dreeeetttttt.
Ponsel Keira mendadak bergetar, membuat rasa takutnya kian bertambah. Nama Zein terpampang di layar ponsel. Panjang umur sekali, Keira baru saja memikirkannya.
"Ha-hallo?" angkat Keira dengan suara gugup.
"Nih! Gue udah nemuin tugas kelompok kita. Ternyata jatuh di garasi rumah gue. Sekarang gue udah di sekolah lagi buat nyerahin ke Pak Joseph. Lo bisa tenang sekarang?" Suara Zein terdengar galak di sana. Jelas dia masih diliputi amarah gara-gara perseteruan mereka tadi.
"Jadi lo udah pulang dan sekarang balik ke sekolah lagi?" Keira terkejut.
"Biar lo puas, kan?" sinis Zein. "Dan kabar baiknya, Pak Joseph mau nerima ulang tugas kelompok kita." Ia menambahkan.
Sesaat baik Keira maupun Zein tak ada yang bersuara. Keira hanya mendengar desahan napas Zein. Sepertinya Zein masih marah sekali dengannya. Itu memang pantas setelah apa yang terjadi di antara mereka sebelumnya.
"Ya udah. Gue cuma mau ngomongin ini. Sekarang lo bisa tidur tenang, kan?"
"Z-zein...!" Keira berteriak saat Zein hendak menutup telponnya.
"Apalagi?" Zein malah membentak. "Lo nggak percaya?"
"Ng-nggak, maksud gue..." Keira menjawab dengan suara hampir menangis.
"Apa? Gue mau pulang keburu hujan!" katanya sebal dan emosi.
"Zein," Keira berusaha mengumpulkan keberanian untuk membuang rasa gengsinya.
"Apa sih?" Zein agaknya terdengar benar-benar emosi.
"Lo... lo bisa dateng ke toko roti lurusan halte, dekat jalan sekolah?"
"Apa?" Zein terdengar heran meskipun suaranya masih bernada tinggi.
"Kenapa emangnya?"
"Gue... gue dari tadi diikuti Benny," ucap Keira akhirnya. "Dia sama gengnya. Mereka maksa gue buat pulang bareng Benny. Gue dibikin ketinggalan bus sama mereka. Sekarang gue lagi sembunyi di sini."
"Apa?" Sekali lagi Zein berseru. Namun kali ini suaranya lebih seperti orang kaget daripada marah-marah.
"Sekarang Benny dan lainnya masih nungguin gue di depan toko roti." Suara Keira mulai parau.
"Tunggu gue di sana! Lo tetap di situ aja. Jangan ke mana-mana!" pesan Zein sebelum menutup teleponnya.
Keira membuang napas berat sambil menggenggam ponselnya. Tidak tahu malu. Ia memaki dirinya sendiri. Bisa-bisanya meminta pertolongan pada orang yang satu jam lalu baru ia maki habis-habisan.
Keira tampak merasa takut sekaligus serba salah. Tapi memang siapa lagi yang bisa menolongnya? Siapa juga yang mampu menandingi Benny dan gengnya? Bukankah satu sekolah takhluk dengan mereka? Cuma Zein. Cuma dia satu-satunya anak yang berani melawan mereka.
Keira menoleh lagi ke luar toko. Benny dan lainnya masih nongkrong di sana. Entah sampai mereka akan bertahan. Apakah Zein benar-benar akan segera menjemputnya? pikir Keira ragu. Apalagi mengingat apa yang telah dikatakannya tadi di sekolah. Walau begitu Keira berharap, Zein benar-benar akan segera datang menolongnya.