"Bodoh."
Sampai sekarang, kata-kata yang dilontarkan oleh Leo masih terngiang-ngiang ditelinga Clarisa. Setelah mengejeknya waktu itu, Clarisa diselamatkan oleh Ayahnya yang datang karena mendengar kabar, bahwa anaknya yang baru saja ditemukan terjatuh pingsan.
Karena itu, sekarang Clarisa sedang berada di rumah besar milik keluarga Owen, keluarga kandung Jasmine yang kini jadi keluarga Clarisa. Mulai hari ini namanya akan resmi menjadi Jasmine Anetta Owen, yang sebelumnya hanya Jasmine Anetta.
Mari kita berbicara tentang keluarga Owen. Keluarga Owen adalah sebuah keluarga terpandang di kota New York dengan reputasi keluarga berpengaruh nomor dua setelah keluarga Leo. Ya keluarga tunangannya.
Tidak heran, jika Jasmine dipaksa menikah demi menggabungkan kedua kekuatan itu menjadi satu. Apakah Jasmine bodoh? Karena lebih memilih pacarnya yang masih berusaha menyelesaikan kuliahnya, bahkan menjerat pacarnya dengan bayi.
Sedangkan, keluarga biologisnya memiliki kekayaan yang melintir, hingga mungkin tidak akan habis selama sepuluh turunan, tidak tujuh lagi. Ditambah dengan seseorang yang akan menjadi tunangannya lebih kaya dari pada dengan kekayaan keluarga kandungnya.
Bukan hanya itu, kita beralih pada Leo. Leonard Hamas, seorang manusia paling tampan yang pernah Clarisa temui, wajahnya bagaikan pahatan langsung dari tangan malaikat. Alis matanya yang tebal, mata hazel yang indah dengan bulu mata lentik, hidung tinggi yang menjulang hendak menyentuh langit, bibir tipisnya dan jangan lupakan rahang tegasnya.
Sayangnya, dengan wajah rupawan itu. Clarisa bisa mengetahui beberapa hal, tentang Leo yang seorang penikmat wanita dan juga seseorang yang kejam dengan pekerjaan kotornya. Dibalik itu semua, dia sangat pandai menyembunyikan semua hal tentang dirinya dengan sangat rapi.
Sama sepertinya, Clarisa akan menjadikan Leo panutannya karena Leo mampu dengan baik menyembunyikan diri.
Dengan wajahnya mungkin Clarisa tidak bisa menyembunyikan dirinya yang sebenarnya, karena umur Clarisa dan Jasmine terpaut cukup jauh. Lima tahun, jarak yang cukup membuat Clarisa harus bisa memerankan seorang wanita dewasa berumur dua puluh enam tahun, dengan banyak gelar penari balet yang Jasmine miliki.
Tapi jika masalahnya uang, seharusnya Jasmine tidak perlu khawatir akan menjadi miskin bukan? Namun kenyataannya Jasmine malah mengirimnya kesini. Apa yang sebenarnya Jasmine pikirkan?
Clarisa menghela nafasnya berat. Jika saja hidup tidak serumit ini. Seandainya.
*
Satu harian ini aku hanya bergulat dengan sebuah laptop yang menampilkan banyak film yang memiliki rata-rata durasi satu jam lebih.
Aku bosan!
Aku bisa saja meneriakkan betapa bosannya aku dirumah besar ini. Tapi aku tidak ingin banyak pelayan datang hanya untuk bertanya 'ada apa? Butuh apa' dan mengganggu kesendirianku.
Semenjak aku pingsan, mama Anya membuatku terkurung dirumah yang sangat sangat besar seperti sebuah istana ini. Sialnya, Ayah Robert mengizinkannya. Ya, lebih baik dari rencana awal mereka yang ingin aku dijaga oleh Leo. Gila saja! Aku masih ingin hidup tenang tanpa penyakit jantungan karena tatapan yang diberikan Leo.
Jika selama beberapa hari lalu Mama Anya menemaniku untuk bermain dirumah besar ini, tidak dengan hari ini. Hari ini mama Anya sedang sibuk dengan pameran yang diadakan di galeri seninya.
Papa Robert, hanya ada dirumah jika Mama Anya dan aku sudah tertidur nyenyak.
Aku melirik jam dinding yang terpajang indah dikamar yang sudah resmi menjadi kamarku sejak beberapa hari lalu. Pukul 19. Ini masih terlalu sore untuk kota yang tidak pernah tidur ini.
Ceklek!
"Mama sudah pul.." Ucapanku terhenti ketika melihat sosok tampan berperawakan tinggi itu. Aku kira mama, ternyata Leo yang datang.
Dengan cepat aku menutup laptop yang sedang kugunakan dan segera bangun untuk menjauh darinya.
"Ada apa kemari?" Tanyaku dengan kaki yang bergetar. Aku ingin sekali berteriak memanggil pelayan diluar, sayangnya suaraku tiba-tiba entah hilang kemana.
"Kenapa kau terlihat takut?" Tanya Leo masih terus melangkah mendekatiku. Aku menggeleng cepat.
Aku bisa merasakan keringat dingin keluar dari dahiku saat ini.
"Apa kau berusaha menggodaku dengan pakaian itu?" Aku melirik kebawah, kulihat pakaian yang kugunakan sangatlah tipis, nyaris seperti lingerie. Tidak ada pakaian lain disini, daster ataupun babydoll tidak tersedia di negara ini.
Bahkan menurutku pakaian yang kugunakan sekarang adalah pakaian paling tertutup diantara semua yang ada di lemari. Namun dengan tatapan tajam milik Leo, aku merasa telanjang dihadapannya.
Aku meraih selendang yang sengaja ku tinggalkan di tepi kasur siang tadi, segera kututupi bagian tubuhku yang menurutku sedikit terbuka.
"Kau yang seenaknya masuk ke kamar ini." Kataku setelah berhasil menenangkan otakku.
"Oh kalau begitu maafkan aku sayang. Aku rasa tidak ada yang salah dengan memasuki kamar tunangan sendiri." Aku hampir percaya permintaan maafnya yang terlihat tulus, tapi raut bibirnya yang terlihat menyesal berubah menjadi seringaian jahat hanya dalam hitungan detik.
Kakinya mendekatiku sekali lagi dan aku semakin menjauhinya dengan cepat.
"Kau tidak tanya mengapa aku kemari?" Tanyanya membuatku ingin menggigit tangannya hingga berbekas.
"Aku kan sudah tanya tadi." Entah mengapa seringaian jahatnya semakin tercetak jelas di wajah tampan itu.
"Kau masih berani menjawabku setelah apa yang kamu lihat dipertemuan pertama kita." Aku mengingat kembali kejadian tak menyenangkan itu.
"Bahkan aku belum memberimu hukuman, apa aku perlu memberimu hukuman sekarang?" Tanya Leo yang tanpa kusadari kaki telanjangku sudah bertemu dengan sepatu kulitnya. Aku tidak berani mendongak, hingga akhirnya Leo menangkup kedua pipiku kuat untuk memaksaku menatap matanya.
"Apa kesalahan ku hingga membuatku pantas dapat hukuman?" Tanganku mencengkram tangan Leo yang menangkup pipiku hingga terasa sangat sakit. Aku ingin meminta tolong padanya untuk melepaskan ini, tapi egoku tidak ingin membiarkanku menjadi wanita lemah dihadapannya.
"Coba fikirkan." Sebelah tangan Leo yang bebas, menjatuhkan selendang yang bertengger sempurna dibahuku. Aku menatap tajam matanya dikala Leo menarik seutas tali gaun tidur yang kukenakan hingga bahuku telanjang dibuatnya.
"Lepaskan aku!" Ujarku ketika tangannya merambat dengan halus, menyentuh kulit leherku bagai bulu yang menggelitik dan berhenti diujung bahuku.
"Bermainlah dengan jalangmu!"
Aku mendorongnya kuat-kuat namun tenaganya benar-benar tak terkalahkan.
"Lepas!" Aku menghela nafas lega dikala Leo benar-benar melepaskan tangannya dari kedua pipiku yang memerah. Tangan kanannya beralih menggenggam tangan kiriku.
Aku tidak akan luluh dengan perlakuannya yang sekarang, mengingat beberapa detik lalu Leo melecehkannya.
Aku masih menatapnya dengan tajam, hingga tangannya yang menggenggam tanganku, membawa tanganku untuk dikecupnya. Aku tidak percaya dengan perlakuan tiba-tiba ini.
"Aku hanya ingin memberi tunanganku ini. Kamu tidak perlu menyuruhku untuk bermain dengan wanita jalang, karena pasti akan kulakukan."
Tubuhku membeku melihat sebuah benda berkilau yang melingkar indah di jari manisku. Sebuah cincin berlian yang anggun itu sangat manis.
Saat aku mengalihkan pandangan dari cincin. Sosok Leo sudah pergi entah kemana, menyisakan ku dengan penampilan dan otak yang sangat berantakan.
Dasar Leo! Apa tidak bisa memberi sesuatu padaku tanpa membuatku kelimpungan bagai orang gila? Atau paling tidak secara normal?
Hai jangan lupa kasih author semangat berupa:
Power stone
Komentar
dan juga review ya ><