Leo menatap tubuh kurus itu dengan teliti. Baru menyadari banyak sekali bekas suntikan yang ada ditangannya saat perawat mengganti kemeja lengan panjangnya dengan baju pasien. Gaya berpakaiannya terlalu sederhana menurut Leo, tapi sangat cocok untuknya.
Wajah Asia yang sangat cantik menurut Leo, bahkan terus memandanginya seperti ini sama sekali tidak membosankan. Baru saja bertemu, namun gadis ini seperti telah memberikan efek candu untuknya, bahkan saat Leo belum mencicipinya.
Leo menoleh dikala menyadari kehadiran Alan, tangan kanannya. Leo bangkit melangkah menghampiri Alan, jika biasanya Leo akan tetap anteng saat anak buahnya datang, maka sekarang Leo-lah yang menghampiri anak buahnya, sungguh ia tidak terbiasa melakukan ini, tapi ia tidak ingin Alan menatap gadisnya berlama-lama.
"Kau sudah dapatkan data dirinya?"
Alan mengangguk. "Tuan bisa baca sendiri untuk informasi pribadi." Alan menyerahkan amplop coklat yang dibawanya. "Rupanya nona itu adalah tunangan yang tuan sempat tolak beberapa kali, hingga akhirnya tuan meminta adanya perkenalan dulu, dan seharusnya tuan menemuinya malam nanti. Tapi saya menemukan sesuatu, rupanya nona ini sudah berada di kantor siang tadi mencari-cari informasi tentang tuan ke bagian resepsionis." Leo terkekeh mendengarnya.
"Lalu bagaimana bisa dia berada di area yang sudah disterilkan?"
"Menurut kesaksian resepsionis, tunangan tuan sedang menerima telefon. Sepertinya dia mencari tempat yang tenang."
"Bagus Alan. Kau memang andalanku." Puji Leo pada Alan.
Leo tersenyum miring melihat data diri gadis itu untuk ke sekian kali, karena sebelumnya sudah melihatnya sekilas saat orang tuanya berniat menjodohkannya.
"Jasmine. Aku tidak tahu, kalau ternyata kamu sangat cantik, karena tidak ada foto di data dirimu."
"Wali dari Jasmine." Perhatian Leo beralih pada sosok dokter yang selesai memeriksa Jasmine. Lupa bahwa masih ada dokter dan seorang suster di dalam sana.
"Saya dok. Bagaimana keadaannya?"
"Keadaannya sedikit tidak baik."
"Apa dia memakai narkoba?" Tebak Leo mengingat ada banyak bekas suntikan di lengan Jasmine.
"Tidak ditemukan narkoba dari tes yang kami lakukan."
"Lalu bekas suntikan ditangannya itu?"
"Sepertinya dia memakai obat tidur bentuk suntikan terlalu banyak, ia tertidur lebih dari dua hari. Itu bisa berbahaya ditambah lagi dia baru terbangun pagi ini setelah tertidur dengan waktu yang cukup lama. Pastinya tidak ada asupan makanan selama ia tertidur. Tubuhnya juga belum bisa mencerna dengan baik sarapannya pagi ini."
"Untuk sekarang aku sudah membersihkan perutnya, nanti jika pasien sadar berilah makanan yang lembut." Lanjut dokter itu.
"Baiklah dok. Terima kasih." Sebenarnya apa yang baru saja dialami gadis lugu ini?
*
Clarisa meringis kesakitan, merasakan kepalanya berdenyut dengan hebat. Clarisa berusaha bangkit dari tidurnya, saat itulah pintu terbuka menampilkan sosok gagah dari pria tampan yang ditabraknya tadi siang.
Clarisa tidak lupa, bagaimana kejamnya pria itu membunuh orang lain tanpa mengotori tangannya. Kepalanya semakin berputar mengingat kejadian itu.
Tubuh Clarisa bergetar saat pria itu semakin mendekat padanya dan meletakkan sesuatu di hadapannya. Clarisa tidak berani menatap pria itu, lebih tertarik dengan apa isi dibalik totebag ini.
"Makanlah." Perintah pria itu mengeluarkan mangkuk berisi bubur hangat, namun karena takut pria itu menaruh sesuatu pada bubur itu untuk menghukumnya Clarisa lebih baik kelaparan. Clarisa masih ingat dengan jelas bahwa pria itu akan memberinya hukuman, bagaimana jika setelah makan ini Clarisa mati? Clarisa bergidik ngeri.
"Makan, agar aku bisa menghukummu nanti."
"Kau tidak memasukkan racun bukan?"
"Tidak, aku hanya ingin kau makan dan punya energi untukku hukum." Dengan tangan bergetar meraih mangkuk itu dan membuka penutup plastik yang ada diatasnya.
Clarisa memakannya perlahan, semoga bisa kembali ke keluarganya jika akhirnya ia mati setelah ini. Menyuapkan satu demi satu sendok ke dalam mulutnya. Clarisa tidak bisa memakannya dengan tenang, karena pria itu terus menatapnya dengan dingin.
"Tentu, aku tidak akan meracuni tunanganku sendiri." Clarisa tersedak oleh bubur yang super lembut ini. Pria itu seolah tahu apa yang sedang Clarisa fikirkan.
Tunangan? Clarisa memutar otaknya, rupanya setelah perutnya sedikit terisi kepalanya tidak terasa pening lagi.
Jadi dia Leonard? Sangat berbeda dengan gosip yang beredar. Clarisa menatap buburnya, ketakutan. Bagaimana orang semengerikan dia bisa menjadi tunangannya?
"Aku bahkan tahu, kamu mencari info tentangku di kantor." Leo mencengkeram pipi Clarisa dengan kuat, tidak menyadari bahwa itu menyakitinya. "Kamu tunanganku, jangan harap kamu bisa lepas dariku." Ingin rasanya Clarisa menyemburkan bubur yang masih ada di mulutnya, tapi ia yakin nyawanya akan melayang setelah melakukannya. Clarisa masih sayang akan nyawanya.
Leo memaksa Clarisa membalas tatapan matanya, karena kesal gadis di depannya ini lebih memilih menundukkan tatapannya pada bubur semenjak kedatangannya.
Saat orang lain tahu bahwa Leo memiliki wajah tampan, maka orang itu tidak akan mengalihkan pandangan darinya. Tapi tunangannya ini berani mengabaikannya.
Leo bisa melihat sorot ketakutan dari mata yang bergetar dan hampir mengeluarkan air mata itu.
"Lalu bagaimana caranya aku bisa terbebas darimu?" Leo terkekeh.
"Tidak ada. Karena kamu tunanganku."
"Maka aku akan sebarkan bahwa kamu gay." Entah mengambil keberanian dari mana Clarisa berani mengatakan hal itu. Yang Clarisa tahu Leo terlihat semakin marah.
"Jadi itu yang kamu dapatkan setelah mencari informasi tentangku?" Siapapun yang bekerja di gedung itu tahu siapa Leonard yang sebenarnya, hanya saja identitas sebenarnya sengaja disembunyikan dari orang luar. Jika kau ingin berhenti bekerja, mati adalah satu-satunya jalan yang bisa kau pilih.
Clarisa mendorong tubuh itu dengan sekuat tenaga, namun Leo malah mengangkat tubuh Clarisa ke pangkuannya. Membuat jarum infus yang digunakan Clarisa terlepas, membuat tangannya tergores dan mengeluarkan aliran darah yang segar.
"Apakah kamu ingin tahu apakah aku benar-benar gay seperti katamu?" Clarisa masih berusaha melepaskan kungkungan Leo padanya.
"Aku sama sekali tidak penasaran."
"Kenapa?"
"Lepaskan aku."
"Tidak."
"Aku belum menyelesaikan makanku. Kenapa kamu sekasar ini pada seorang pasien?!"
"Lalu bagaimana? Kamu ingin aku perlakukan dengan lembut? Benar begitu?"
"Apa maksudmu?"
"Kamu pencari alasan yang buruk Jasmine. Kamu tahu kalau aku tidak akan melepasmu begitu saja."
"Jangan panggil aku dengan nama itu."
"Lalu dengan apa? Sayang?"
"Lepas." Darah yang mengalir dari tangan Cla mengalir hingga membekas pada kemeja putih bagian bahu Leo.
"Bukankah kamu ingin tahu apakah aku gay? Kenapa kamu mengalihkan pembicaraan?"
"Kalau begitu tinggal buktikan saja. Kenapa kau bertele-tele?"
"Aku tidak yakin apakah bokong ini mampu memuaskanku." Leo tersenyum remeh, dikala melihat reaksi kaget Jasmine ketika tangannya bermain sedikit, meremas bokongnya.
Clarisa tidak ingin kalah.
"Tentu saja ini tidak akan bisa, karena favoritmu itu bokong laki-laki." Leo menggeram kesal mendengar perkataan Jasmine.
"Juga kenapa kamu begitu yakin ini tidak akan memuaskanmu? Coba saja sekali, kau pasti ketagihan." Tambahnya, sedikit menggoda Leo.
"Kau, apakah lupa dengan apa yang kamu lihat sebelum berakhir di kamar rumah sakit ini?" Otak Clarisa kembali berputar ke kejadian mengerikan itu.
"Maaf, sepertinya aku berlebihan dan tentang memanggil namaku. Kamu boleh panggil aku Jasmine, sayang." Bisik Clarisa tepat ditelinga Leo. Bohong jika Clarisa tidak bergetar, tangannya dengan kuat mencengkeram kemeja bagian bahu milik Leo agar ketakutannya tidak terlalu kentara.
Leo sudah tidak tahan, mendekatkan Jasmine padanya, menangkup kedua pipinya hendak meraup bibir pucat itu. Namun belum sempat bibir mereka bertemu, Jasmine lebih dulu mendorong bahu Leo menjauh dengan kedua tangannya, menyebabkan tubuhnya terjatuh terjembab ke belakang dan pantatnya bertemu dengan dinginnya lantai.
Leo tertawa. "Bodoh."
Yuk, jangan lupa kasih power stone!
Kalau berkenan silahkan pergi ke kolom review dan beri bintang lima ya! :)))))