Clarisa turun dari mobil dengan kemeja berwarna biru dan celana jeans yang nyaman, sudah Clarisa duga gaya seperti inilah yang sangat ia sukai. Sudah diputuskan bahwa dia akan mencari tahu siapa orang yang akan di jodohkan dengannya siang ini di kantornya. Barulah Clarisa memiliki persiapan matang untuk menemuinya malam nanti.
Clarisa menoleh ke kanan dan ke kiri melihat siapapun yang sekiranya bisa jadi tempat Clarisa bertanya segala hal tanpa menimbulkan rasa curiga. Clarisa menghampiri dua orang wanita cantik yang berada di meja resepsionis.
"Selamat pagi. Apa pak CEO Leonard ada?"
"Mohon maaf sebelumnya, nona sudah punya janji?"
"Saya tunangannya."
"Ah nona Jasmine. Kami sudah diberi tahu nona akan kesini. Tapi pak Leo sedang tidak di tempat."
"Begitu ya?" Kedua resepsionis itu mengangguk bersamaan.
"Begini, aku mau tanya sesuatu boleh?"
"Silahkan nona."
"Kira-kira bagaimana wajah tunanganku itu."
"Bukankah nona tunangannya? Seharusnya nona lebih tahu daripada kami."
"Aku baru sampai di New York pagi ini dan akan menemuinya malam nanti. Sebenarnya kami belum bertunangan secara resmi, jadi tolong beritahu aku."
"Sebenarnya kami sendiri jarang melihatnya. Dia itu seperti hantu datang dan pergi sesukanya. Ada gosip mengatakan bahwa dia itu sudah tua dan memiliki perut buncit. Satu lagi, dia gay."
"Benar, jika nona mencari di internet pun tidak akan ada informasi tentang pak pemilik perusahaan. Seperti itulah gosip yang beredar di antara karyawan di sini."
"Ah begitu. Terima kasih." Clarisa hendak pergi dari sana ketika mendapat sebuah telefon. Clarisa mengangkatnya.
"Halo Cla." Clarisa membulatkan matanya mengenali suara ini, melirik ke kanan dan ke kiri mencari tempat teraman untuk menerima telefon ini.
Clarisa berlari ke arah tangga darurat yang sedikit jauh dari keramaian loby.
"Jasmine. Apa itu kamu?" Ucap Clarisa setelah merasa aman.
"Cla, bagaimana kabarmu?"
"Itu yang kamu tanyakan padaku setelah melakukan semua ini padaku?"
"Maafkan aku Cla."
"Tunggu itu tidak penting. Kamu harus dengarkan aku. Paman dan bibi membohongimu, selama ini kamu diculik oleh mereka dan.."
"Cla, aku tau semuanya. Fakta bahwa orang tua angkatku menculikku. Tapi Cla, aku ingin bersama Geraldi, aku mencintainya. Ketahuilah Cla, aku tidak menginginkan posisimu saat ini. Kamu harus ingat bahwa aku sudah memiliki calon bayi. Juga aku ingin hidup bebas tanpa kekangan dari siapapun Cla. Bantu aku."
Sambungan terputus sepihak. Apa ini berarti Jasmine melakukan hal setega ini padanya, karena sudah mengetahui semua kebenarannya?
Asssh, Clarisa hampir gila rasanya. Clarisa mengacak-acak rambutnya sendiri.
Dengan frustrasi Clarisa membuka pintu tangga darurat.
*
Aku menubruk seseorang saat keluar dari tangga darurat. Aku membelalakkan mata saat melihat sekumpulan orang sedang menodongkan pistol kepada pria yang terlihat memiliki banyak luka itu.
"Tuan tidak apa-apa?" Tanya seseorang pada orang yang aku tabrak tadi. Sontak aku melirik seseorang yang senantiasa masih memeluk pinggangku agar aku tak terjatuh. Dia sangat tampan, bahkan aku bisa tahu tubuhnya memiliki bentuk yang sangat sempurna hanya dengan memegang bahu kokohnya.
"Apa kalian tidak memeriksa lokasi saat akan melakukan ini!" Bentaknya. Entah mengapa aku ikut ketakutan mendengar itu.
"Maafkan kami Tuan. Kami kurang pecus, kami pantas dapat hukuman." Tuan? Apa pria yang ada di hadapanku sekarang adalah bos dari sekumpulan orang yang sedang melakukan kekerasan itu.
"Baiklah, setelah ini aku akan beri kalian hukuman. Lanjutkan tugas kalian." Kata pria itu masih setia menatap mataku.
"Baik tuan."
Satu tembakan membuatku memekik tertahan, bersamaan dengan pria itu beralih memeluk tubuhku agar aku tidak bisa melihat peristiwa penembakan itu.
"Jangan dilihat dan jangan takut peluk saja aku." Kata pria itu berbisik ditelingaku. Aku ketakutan hingga membuat kakiku lemas dan ingin berlari, tapi karena tubuhku yang ditahannya membuatku terpaksa menuruti keinginannya untuk memeluknya. Jantungku berdebar dengan kencang hingga membuatku tak sanggup untuk membuka mata dan melihat apa yang terjadi.
Disela-sela suara tembakan yang saling bersahutan itu aku bisa mendengar kekehannya. Apa dia menikmati reaksi ketakutanku? Aku memeras kemeja bagian punggungnya dengan erat, berharap bukan aku yang menjadi korban selanjutnya.
Aku mendongak ketika suara tembakan tidak lagi terdengar, pria itu menatapku sambil menunjukkan seringainya. Aku yakin seluruh wajahku sekarang memucat dan memancarkan sorot ketakutan.
"Dan aku akan memberimu hukuman juga pastinya." Seluruh bulu kudukku merinding seketika mendengarnya. Siapa pria gila ini? Aku masih ingin hidup dengan tenang.
Aku melepaskan pelukannya segera. Tubuhku bergetar hebat saat matanya menatapku tajam, selolah-olah ingin membunuhku saat ini juga.
Tubuhku yang baru saja terbangun pagi tadi terasa semakin berat melihat kejadian mengerikan ini. Aku bisa merasakan bulir keringat terjun bebas dari keningku di gedung ber-ac ini.
Pria ini berhasil membuatku kehilangan seluruh energiku hanya dengan sebuah tatapan. Aku takut, aku ingin lari tapi tubuhku seakan membeku oleh tatapannya yang dingin.
Saat tangannya hampir meraihku kembali, aku jatuh terduduk. Pria itu mendekat dan tangannya meraih daguku dengan paksa untuk membalas tatapan matanya.
Aku menoleh ke belakang, mendapati sebuah jasad yang bermandikan dengan darah. Ini mengerikan, aku ingin pulang. Baru sehari di sini, tapi kejadian seperti ini sudah menimpaku.
Tangannya menarik daguku kembali untuk menatapnya lagi. Aku bisa merasakan tangan hangatnya beralih mengusap sebutir air mata yang turun di pipiku.
"Sudah kubilang peluk saja aku, maka kamu tidak perlu melihat hal menakutkan itu." Setelah pria itu mengatakannya, seluruh pandanganku menggelap.
*
Leo menangkap tubuh kurus yang limbung ke belakang itu dengan cepat. Baru kali ini menemukan wanita yang ketakutan seperti ini karena melihatnya melakukan penembakan. Semua wanita yang pernah Leo bawa untuk jadi kekasihnya, satupun tidak ada yang ketakutan dengan kejadian seperti tadi, yang ada malah menikmati kejadian-kejadian serupa seperti menonton film. Tapi gadis ini malah jatuh pingsan, ketampanan yang Leo miliki seakan tidak berpengaruh sama sekali bagi gadis ini.
Gadis yang lugu, pikir Leo.
"Biar saya saja tuan yang bawa wanita ini tuan." Belum sempat tangan kanan Leo mengambil alih tubuh wanita itu, Leo sudah lebih dulu menggendongnya.
"Tidak usah Alan. Biar aku saja."
"Tapi.."
"Siapkan saja mobil untuk membawanya ke rumah sakit. Dia terlihat sakit. Jangan lupa suruh mereka membereskan kekacauan ini. Setelah selesai temui aku di rumah."
"Baik tuan."
Alan pergi penuh dengan tanda tanya besar, belum pernah melihat tuannya menaruh perhatian lebih pada seorang wanita, apalagi dengan wanita yang baru saja di temuinya.
Leo menggendong wanita itu menuju parkiran basement yang sepi, diikuti dua orang yang mengawalnya. Tempatnya biasa datang dan pergi dari kantor, untuk menghindari keramaian. Leo membawa kepala wanita itu untuk tidur dipangkunya, menjadikan pahanya sebagai bantal.
Leo menyadari tangan kanannya yang sesekali meliriknya dari spion.
"Kenapa kau melirik seperti itu Alan?" Alan masih terdiam, tidak berani menjawab apapun, takut Leo marah karenanya.
"Bukankah dia sangat cantik untuk ukuran gadis berwajah Asia?"
"Benar tuan."
"Kau tertarik padanya?"
"Tidak tuan."
"Bagus, jika iya, maka aku berniat mencari penggantimu." Alan sangat tahu maksud dari tuannya. Jika hanya mendepak dan memecatnya saja itu sudah sangat beruntung, tapi bosnya ini akan menghancurkan siapa pun sesuai keinginannya hingga ke akar-akarnya.
Leo merapikan anak rambut yang menghalangi rambut gadis itu, memandangi setiap inci kecantikan yang belum pernah ditemukannya pada wanita lain. Leo bersumpah akan membuat gadis ini jadi miliknya.
"Oh hampir lupa. Selidiki siapa dia."
"Baik tuan."
*