Clarisa bisa merasakan tatapan tajam dari Denise. Clarisa terpaksa meminta bantuannya untuk mencari cincin ditengah malam, karena besok sudah hari-h acaranya. Seharian tadi Clarisa tidak dibiarkan lepas oleh mama Anya.
Pagi hari pergi ke galeri seni, menyapa setiap tamu yang datang ke pameran sekaligus memperkenalkan Clarisa kepada semua kolega mama Anya. Siangnya, Clarisa atau Jasmine palsu dan mama Anya pergi makan siang bersama papa Robert. Sorenya, Clarisa melakukan fiting baju yang akan digunakannya pada acara ulang tahun Leo. Rasanya acara itu seperti pernikahan saja. Repot.
Setelah sampai di apartemen dimalam yang cukup larut, Clarisa segera menghubungi Denise untuk membantunya mencari cincin yang hilang itu.
Lain hal, mungkin kedua adiknya sudah menerima paket darinya kemarin. Clarisa harap kedua adiknya menyukai hadiah ulang tahun darinya.
"Kau sedikit tidak waras Jasmine. Kita sedang kesulitan mencari cincinmu. Tapi kau malah melamun dan tersenyum tidak jelas. Mohon jangan tunjukan kebahagiaanmu itu padaku yang jomblo. Semua orang tahu kau akan bertunangan." Cerocos Denise.
"Sebenarnya aku memang sedikit gila. Aku sedih karena cincin itu hilang, tapi aku juga bahagia karena mungkin adikku sudah menerima paket yang kukirim."
"Adik?" Denise mengernyit heran.
"Maksudku keponakan. Mereka sudah seperti adikku sendiri." Clarisa merutuki mulutnya yang berbicara dengan sembarangan.
"Sebegitu bahagiakah kamu Jasmine? Jangan berharap dulu paketmu sudah sampai. Nyatanya kedua keponakanmu itu belum menelfonmu." Mendengar penjelasan Denise membuat semangat Clarisa luntur.
"Kamu benar Denise. Ayo kita cari lagi." Clarisa kembali memfokuskan matanya kearah semak-semak untuk mencari cincin.
"Kau mengganggu jam tidurku, Jasmine." Clarisa menunjukkan deretan gigi putihnya.
"Maafkan aku Denise, tapi aku butuh bantuanmu." Denise menghela nafas kasar. Clarisa jadi sedikit tidak enak hati pada Denise.
"Untung saja tunanganmu itu ganteng. Oh, jangan lupa undang aku di acara besok." Raut kemarahan Denise berubah memelas, memohon pada Clarisa untuk mengundangnya ke acara itu.
"Itu bisa diatur. Sekarang bantu aku dulu." Clarisa dan Denise kembali menyusuri rumput-rumput, hanya berbekal tangan yang dibungkus oleh sarung tangan karet. Entah kapan mereka akan menemukan cincin itu.
"Aku menyerah." Ujar Denise membuat Clarisa membulatkan matanya tak percaya.
"Apa?! Ini belum ada sepuluh menit Denise dan kau sudah menyerah?!"
"Kau tahu, di tempat seluas ini. Maksudku kau menjatuhkannya dari atas sana. Cincin itu bisa saja terlempar kesana, kesana atau bahkan kesana." Ucap Denise sembari menunjuk seluruh area taman apartemen ini.
"Maka dari itu kamu harus membantuku Denise. Mustahil menemukannya sendiri." Clarisa mengikuti langkah Denise yang masuk kedalam loby apartemen. Clarisa berusaha membujuk Denise.
"Ayolah, Jasmine semua itu mustahil. Kenapa kamu tidak minta bantuan saja sama tunangan tampanmu itu? Mungkin dia akan memberikanmu cincin baru." Clarisa hampir menangis sekarang. Andai Clarisa bisa mengatakan hal yang sebenarnya pada Leo, tapi itu tidak mungkin. Denise hanya tahu Leo tampan saja, sama sekali tidak tahu dengan kekejaman Leo.
"Aaah, come on Denise. Bantu aku sekali ini saja. Anggap saja kamu menyelamatkan nyawaku." Mohon Clarisa masih setia mengikuti langkah Denise menuju apartemennya.
"Aku lelah, tolong biarkan aku istirahat di apartemenmu." Ucap Denise semabari melangkah keluar menuju apartemen Clarisa. Namun Clarisa masih berusaha menahan Denise.
"Tapi bantu aku dulu."
"Oke. Kamu tinggal bilang seperti ini, sayang aku tidak sengaja menghilangkan cincin yang kamu beri, bisakah kamu memberiku cincin yang baru?" Clarisa menatap Denise penuh harapan. "Tinggal begitu saja susah."
"Aku gak bisa dengan gamblangnya mengatakan bahwa cincin itu hilang, atau aku..." Ucapan Clarisa terhenti saat melihat pria tampan, ah salah, Leo yang menatap Clarisa dengan urat-urat kemarahan tertahan.
*
Aku tidak bisa mengatakan kelanjutan dari kalimatku, karena aku melihat Leo sedang berdiri di depan pintu apartemenku. Tatapan matanya yang tajam sangat menakutkan, seolah-olah Leo bisa melahapku saat ini juga.
Aku rasa dia sangat marah. Sangat bodoh jika aku berharap Leo tidak mendengar perkataanku ke Denise barusan.
Refleks aku segera menyembunyikan tubuhku di belakang Denise.
"Hai Leo." Bodoh. Denise melangkah mendekati Leo dengan centil.
"Maaf, bisa kau memberiku waktu bersama dengan Jasmine." Denise menunjukkan senyum bodohnya.
"Silahkan." Denise mundur beberapa langkah, kemudian mendorongku maju hingga kini aku berdiri tepat dihadapan Leo. Aku rasa, aku tidak kuat untuk berdiri karena kakiku bergetar dengan hebat. Mataku menatap kedua pasang sepatu Leo yang mengkilap, tidak berani mendongak menatap matanya.
Sial!
Leo mencengkram pergelangan tanganku dengan kuat hingga membuatku mendesis kesakitan.
"Maaf yang ku maksud adalah waktu selama semalam penuh." Aku rasa Denise tidak tahu kalau aku sedang kesakitan sekarang.
"Ah, selama semalam penuh. Kalau begitu aku akan pulang saja. Nikmati waktu kalian." Pamit Denise pergi meninggalkanku. Sekarang apa yang akan terjadi padaku?
Leo menarikku kasar kehadapan pintu apartemen. Tangan kirinya melingkar di bahuku dengan kuat.
"Berapa nomor kode akses pintumu?" Tanyanya. Saking ketakutannya aku, aku tidak bisa mengeluarkan suara.
"Beritahu aku! Atau aku akan merusak pintu ini!"
*
Bibir Clarisa yang memucat dan keringat dingin di pelipisnya, menunjukkan bahwa saat ini Clarisa sangat ketakutan.
"Du..a dua empat lima satu dua." Ucap Clarisa lirih, namun Leo masih bisa mendengarnya dengan jelas.
Leo menekan nomor yang Clarisa sebutkan dan pintu apartemen itu berhasil terbuka. Tidak peduli dengan ringisan Jasmine, Leo menarik Jasmine kearah meja makan.
"Apa kau ketahuan berbohong?" Clarisa terdiam, tubuhnya membeku. Clarisa tidak tahu harus berkata apa, jantungnya berpacu dengan sangat cepat.
Clarisa tidak bisa mengeluarkan perlawanan saat Leo mengungkung tubuhnya dari belakang. Leo menarik tangan Clarisa hingga terulur di meja makan.
Clarisa bisa merasakan sebelah tangan Leo melingkar di perutnya dan nafas hangat Leo yang menerpa kulit lehernya. Clarisa semakin bergetar ketakutan saat tangan Leo meraih sebuah pisau dapur yang terdapat ditengah meja makan.
"Rupanya kau sangat ingin kuhukum." Mata Clarisa mengikuti pergerakan tangan Leo yang berseok-seok membawa pisau.
"Kau ingin sisakan berapa jari ditangan lentikmu ini?" Clarisa menggeleng kuat.
"Jangan." Lirih Clarisa kemudian, Leo tertawa keras.
"Kenapa? Ini bagus karena kalau jarimu ku potong maka kau tidak perlu memakai cincin dari siapapun lagi." Buliran air mata turun ke pipi Clarisa. Kenapa Leo sangat kejam? Clarisa bukannya sengaja menghilangkan cicin itu.
"Aku minta maaf." Leo menyeret pisau dapur itu melukis jari jemari Clarisa. Hingga membentuk pola pada kaca yang ada diatas meja makan.
"Kecerobohanmu itu tidak bisa dimaafkan, Jasmine." Clarisa menahan tangisnya kuat-kuat. Ia sama sekali tidak boleh lemah.
"Aku salah. Aku minta maaf." Permintaan maaf itu bagaikan angin lalu oleh Leo. Leo mengangkat tinggi-tinggi pisau yang digenggamnya. Lalu dengan cepat mengayunkannya, hendak menancapkannya pada jari jemari Jasmine. Leo berniat membelah jari-jari itu saat ini.
Clarisa memejamkan matanya, bersiap menerima rasa sakit itu.