"Kenapa tak menunda sampai anak besar dulu?" tanyanya.
"Lantas apakah Anda sudah benar-benar sehat?" lanjutnya.
"Hmm
Sebenarnya itu bukan anak kandung saya, Pak." Akhirnya aku berbicara jujur perihal Kiara. Aku memang bukan tipe pembohong yang ulung.
"Bukan anak kandung? Maksudnya?"
"Saya sampai sekarang belum hamil dan melahirkan. Anak itu saya temukan di depan rumah beberapa hari yang lalu," jelasku. Biar sajalah aku dianggap tak profesional menceritakan urusan rumah di kantor.
Tapi sepertinya ini perlu aku sampaikan. Urusan aku diterima atau ditolak biarlah aku pasrah saja. Toh, kalau rejeki tak akan ke mana.
"Anak itu dibuang orang tuanya?" tanyanya.
"Iya, Pak. Saya dan suami memutuskan untuk merawatnya," ucapku.
"Lantas kenapa sekarang ditinggal kerja?" tanya Pak Anton masih mengujiku.
"Saya tak ingin bergantung pada suami seratus persen, Pak. Selain itu, saya berencana memberikan pendidikan yang terbaik dan kehidupan yang layak pada anak saya. Meski ia bukan darah daging saya," jelasku mantap.
"Wah, mulia sekali hati Anda. Baik, kalau begitu selamat bergabung di perusahaan kami. Anda bisa mulai bekerja pekan depan." Pak Anton dengan antusias memujiku.
Hatiku bersorak gembira ketika mendengar Pak Anton mengucapkannya. Aku diterima.
"Pastikan anak Anda mendapatkan pengasuh yang baik."
"Baik, Pak, Bu. Terima kasih atas kesempatannya," ucapku bahagia.
Langkahku ringan, beban dipundakku sedikit terangkat. Tinggal meyakinkan Mas Denis agar mengijinkan aku bekerja.
***
"Pengasuh?" tanya Mas Denis saat aku mengutarakan niatku bekerja dan meminta bantuan pengasuh untuk mengasuh Kiara.
"Nanti aku yang bayar, deh, Mas," ucapku pada Mas Denis.
"Ya, terserah kamu saja, deh." Mas Denis beranjak kemudian masuk ke kamar kami.
Aku menimang Kiara sambil memberinya susu. Ada rasa tak tega meninggalkannya, tapi aku trauma dibilang beban suami. Selama ada kesempatan aku bisa bekerja, aku akan ambil kesempatan itu.
"Dek, nanti aku saja yang cari pengasuh. Banyak temanku yang biasa pakai pengasuh," ucap Mas Denis tiba-tiba saja. Entah sejak kapan ia ada di sampingku.
"Oh, oke enggak apa-apa, Mas. Asalkan ia telaten mengurus Kiara."
"Iya, kata temanku ia bagus mengurus anak. Kami tenang saja," ucap Mas Denis.
"Mas sudah enggak marah lagi sama aku?" tanyaku pada Mas Denis.
"Emang kapan aku marah?" Ia balik bertanya.
"Dari pagi bicaranya ketus banget soalnya," ucapku sambil cemberut.
"Oh ... maaf, deh. Aku sedang pusing pekerjaan. Tapi kamu tiba-tiba ngasih kabar mendadak."
"Iya, Mas, maaf," ucapku.
"Jadi tadi keterima? Kapan mulai kerja?" cecarnya.
"Iya, alhamdulilah, Mas. Mulai pekan depan aku kerja," jawabku riang.
"Oh, baguslah kalau begitu. Nanti kamu yang bayar pengasuh, ya. Job ku sedang sekarang."
"Eh, i, iya, Mas," ucapku.
"Kalau kebutuhan Kiara biar sama aku saja," ucapnya.
"Baik, Mas."
Tak apa aku mengalah membayar pengasuh. Lagipula aku bekerja juga untuk Kiara.
***
"Namamu siapa?" tanyaku pada gadis di hadapanku.
"Nita, Bu," jawabnya.
Nita adalah pengasuh yang dibawa oleh Mas Denis untuk mengasuh Kiara. Dari yang aku dengar ia belum menikah, wajahnya pun lumayan, selain itu ia berpakaian sopan. Meski tak berkerudung, ia memakai pakaian yang longgar dan celana panjang.
"Gimana, Dek? Cocok?" tanya Mas Denis.
"Iya, Mas gimana lagi, kan katamu cuma tersisa dia doang," ucapku.
"Iya, yang lulusan SMA cuma dia. Yang lain lulusan SMP. Aku mau yang ngasuh Kiara punya pendidikan yang bagus," ujar Mas Denis.
Aku mengangguk setuju dengannya. Ternyata Mas Denis memikirkan sampai ke sana.
"Iya, Mas aku setuju denganmu. Sepertinya Nita juga bagus dari pakaian sopan. Nanti mulai besok bisa kita lihat kerjanya."
"Nita, untuk sekarang kamu bisa istirahat dahulu di kamarmu di belakang, ya, dekat dapur."
"Lho, enggak di kamar tamu saja, Dek? Di belakang belum dibersihkan. Selain itu kamarnya kecil dan pengap," ujar suamiku
"Oh, enggak apa-apa kalau semalam, Mas. Takutnya ada Papa sama Mama ke sini. Gini aja, malam ini Nita tidur di kamar tamu. Besoknya kamar belakang dibersihkan. Kalau sudah bersih, bisa pindah ke kamar belakang," jelasku.
"Iya, Bu."
"Baik, silahkan kamu istirahat dulu, ya. Biar besok agak segeran."
"Saya tunjukkan kamarnya, Nit," ucap Mas Denis.
"Iya, Pak."
Mas Denis mengangkat tas Nita dan berjalan mendahului Nita ke kamar tamu.
Aku hanya memandangi mereka, menepis pikiran buruk dan perasaan cemburu yang menghampiri.
'Mungkin Mas Denis hanya bermaksud bersikap baik agar pengasuh Kiara kerasan di sini.'
Aku terus mengucapkan kalimat positif itu. Sekarang sulit mencari pengasuh. Beruntung kami mendapatkan Nita. Selain bersih dan sopan, ia juga berpendidikan yang lumayan.
***
"Nita, Nit!" Aku memanggil Nita berulang-ulang. Namun, tak terdengar jawabannya.
Akhirnya aku menggendong Kiara menuju kamarnya di kamar tamu. Kamar tamu ini terletak dua kamar di kanan kamarku. Letaknya memang agak lebih depan dari kamarku, karena diperuntukkan untuk tamu. Biasanya kalau ada Ayah, Ibu atau Papa, Mama Mas Denis mereka akan menginap di kamar itu.
Sedangkan dua kamar di antara kamarku dan kamar tamu adalah ruang kerja Mas Denis jika sedang berada di rumah. Sedangkan kamar satunya lagi kamar yang kami persiapkan untuk Kiara saat agak besar nanti.
Tok! Tok! Tok!
"Nita!" Aku sedikit berteriak saat memanggil Nita. Ada rasa kesal saat memanggilnya. Bagaimana tidak, ia baru pertama kali bekerja. Namun, tak tanggap ketika aku panggil.
Cklek!
Pintu terbuka. Wajah Nita muncul dari dalam kamar.
"Bu, maaf sa-"
"Kamu sakit?" tanyaku memotong ucapan Nita.
"Eh, anu, Bu. Semalem agak demam. Tapi sekarang sudah mendingan. Tapi enggak apa-apa, kok, Bu."
"Oh, baiknya kamu istirahat sajalah dulu. Nanti kalau sudah sehat betul baru kerja. Kebetulan saya belum mulai ke kantor hari ini."
Sebenarnya aku tak ingin Kiara tertular. Nita sepertinya sedang flu, terlihat dari wajahnya yang memerah dan matanya sayu.
"Oh, begitu baik, Bu. Maafkan saya, Bu." Nita mungkin merasa sungkan padaku.
"Enggak apa-apa, kamu benar-benar istirahat, ya. Biar cepat sehat dan bisa kerja," ucapku.
"Iya, Bu." Nita kemudian masuk kembali ke dalam kamarnya.
Aku kembali ke kamar hendak memandikan Kiara. Kulirik Mas Denis yang masih tertidur pulas.
Aku tak berani membangunkannya. Mas Denis belakangan ini suka marah kalau tidurnya terganggu.
"Sayang, kita mandi dulu, ya, Nak," ucapku pada Kiara.
Meski masih bayi, aku akan mengajak Kiara mengobrol agar kemampuan bicaranya bagus. Sedikit demi sedikit nanti ia pasti akan mengerti.
Aku bergegas membawa Kiara ke kasur setelah selesai memandikannya. Ternyata Mas Denis sudah bangun. Tapi ke mana perginya ia?
Tak biasanya ia bangun tak menyapaku atau Kiara terlebih dahulu.