Chiko bergegas keluar dari ruang kelas, ia akan segera pergi ke cafe perpustakaan tempatnya bekerja. Malam ini Chiko akan ke sana bukan untuk paruh waktu, melainkan untuk makan malam dengan Arui.
Jantung Chiko berdebar, karena malam ini ia bisa saja mengubah statusnya dan Arui ke tahap lebih romantis lagi.
Ketika Chiko sudah hampir melewati tempat parkir, ia justru harus terhenti karena seseorang memanggilnya.
"Chiko, maaf mengganggumu."
Gadis itu, Chiko mengenalnya. Mereka ada di kelas kewirausahaan yang sama. Akan tetapi Chiko bingung mengapa dia harus berlarian seperti itu mengejarnya.
"Ada apa, Cindy?"
"Eh, kamu ingat namaku, Chiko?"
Chiko tersenyum ramah. "Tentu saja ingat. Kita kan sekelas."
Cindy tersenyum malu. "Kamu ingat kan kita ada proyek kelompok berdua?"
Chiko mencoba mengingat-ingat. "Ah, benar. Tugas untuk minggu depan, kan?"
Cindy mengangguk penuh semangat. "Iya, tapi aku hanya kosong malam ini untuk mengerjakannya. Aku juga bekerja paruh waktu sepertimu, jadi apakah kamu punya waktu juga malam ini? Aku bisa mengerjakannya dengan cepat, kok."
Chiko mengerutkan dahinya, sejak kapan gadis ini tahu kalau dia bekerja paruh waktu? Apakah Leo bercerita padanya?
"Aku juga hanya kosong malam ini, tapi-"
"Wah, kebetulan sekali. Apa aku boleh ke rumahmu untuk mengerjakan tugas kita? Rumahku terlalu jauh dari sini."
Chiko menggaruk tengkuknya. "Haruskah malam ini?"
Cindy mengangguk lagi. "Iya, harus malam ini. Oh iya, kamu tidak perlu mengantarku. Aku bisa pulang sendiri dengan bus."
Chiko akhirnya hanya bisa mengangguk pasrah. Ia tidak tega untuk menolak ajakan Cindy. Sepertinya Chiko justru harus membatalkan janjinya pada Arui untuk makan malam bersama.
---
Arui berjalan pulang seorang diri seperti biasa. Ia mematikan ponsel setelah membaca pesan dari Chiko entah yang ke berapa kalinya sejak sore tadi. Sayang sekali, rencana makan malam mereka harus batal mendadak.
Mau bagaimana lagi, Chiko juga tidak bisa mengabaikan tugas kuliahnya hanya untuk menemui Arui. Belum tentu juga Chiko punya waktu untuk kerja kelompok seperti ini di saat dia harus kerja paruh waktu di malam hari.
Saat hampir melewati rumah Chiko, Arui justru mendapati pintu rumah itu dibuka. Arui menghentikan langkah saat melihat gadis asing keluar dari sana.
Mata Arui membulat saat melihat Chiko ikut berjalan keluar di belakang gadis itu.
"Aku mengerjakannya dengan cepat sesuai janjiku, kan?" Gadis itu tersenyum lebar pada Chiko.
"Iya, aku senang satu kelompok denganmu. Terima kasih ya, Cindy."
Gadis yang ternyata bernama Cindy itu mengulurkan tangan untuk menggenggam tangan Cindy. Arui semakin melotot melihatnya.
"Tentu saja, Chiko. Bahkan kalau bukan dosen yang memasangkan kita untuk satu kelompok karena nama kita berdekatan, aku tetap boleh satu kelompok denganmu, kan?"
Chiko mengangguk patah-patah. "Oh, boleh saja."
"Kalau begitu aku pulang dulu ya, sampai besok."
Begitu gadis yang nampak sangat ceria itu pergi, Chiko baru menyadari kehadiran Arui yang sudah ada di situ sejak tadi.
Chiko terkejut dan ingin menyapa Arui, tapi Arui sendiri sudah terlanjur kesal karena adegan saling menggenggam tangan barusan. Perempuan itu langsung saja masuk tanpa mempedulikan Chiko.
Selepas membanting pintu lumayan keras, Arui berjalan menuju kulkas untuk mengambil air minum. Entah mengapa tiba-tiba saja ia merasa haus sekali. Akan tetapi Arui lebih dulu dikejutkan dengan Arin dan Arona yang sama-sama termenung di meja makan.
Mengapa mereka berdua kelihatan menyedihkan sekali?
---
Arona duduk di kursi depan minimarket malam ini. Ia melamun karena terpikirkan kejadian di atap sekolah, tapi ia sendiri tidak berani bercerita pada dua kakaknya karena takut akan dimarahi.
Hari ini pun dia tidak masuk sekolah, hanya berpura-pura berangkat saja, tapi ia justru kembali ke rumah lagi setelah dua kakaknya berangkat kerja. Beruntungnya mereka bertiga punya kunci rumah sendiri-sendiri, jadi Arona tidak perlu ketahuan bolos.
Arona mengacak rambutnya frustasi. Bagaimana dia akan ke sekolah lagi kalau begini?
"Hei, Arona."
Gadis itu mendongak begitu namanya dipanggil. Ia hanya diam saja sampai laki-laki itu duduk di kursi yang berseberangan dengannya.
"Kamu kenapa di sini sendirian, Arona?"
"Bukan urusanmu."
Chiko hanya terkekeh mendengar jawaban Arona. Rupanya Arui memang benar tentang Arona yang tempramental.
Arona melirik Chiko yang menatap kosong jalanan.
"Kamu sendiri sedang apa di sini? Menunggu kakakku?"
Chiko membuang muka. "Kurasa dia tidak mau bertemu denganku."
Arona merasa pembicaraan ini semakin menarik, jadi dia menyangga dagunya dengan kedua tangan di atas meja.
"Kenapa? Kamu bertengkar dengan kak Arui? Astaga, padahal belum pacaran tapi sudah bertengkar. Apa kamu yakin bisa mendapatkan hati kakakku kalau begitu?"
Chiko menoleh keheranan. "Dari mana kamu tahu tentang aku dan kakakmu?"
Arona tertawa lirih. "Kalian terlalu mudah dibaca, tahu. Kak Arin saja sudah tahu, kok. Tapi dia diam saja."
"Kekuatan antar saudara, ya? Aku dan kakakku juga kadang begitu. Kalau ada hal buruk, biasanya kami sudah diberi firasat lebih dulu."
Arona mengabaikan ucapan Chiko yang tidak dia mengerti. "Intinya, kamu akan jadi kakak iparku selanjutnya, kan?"
Chiko begitu malu mendengar ucapan Arona yang blak-blakan. "Kakak ipar selanjutnya?"
"Iya, kamu pasti tahu kan kalau kak Arui punya mantan pacar sebelum ini."
"Iya, aku tahu."
"Jujur kamu lebih tampan daripada kak Fian, hanya saja kamu lebih muda. Kenapa kamu bisa suka kak Arui? Apakah memang seleramu perempuan yang lebih tua?"
Chiko jadi tergagap sendiri begitu Arona memborong banyak pertanyaan untuknya.
"Bukan begitu. Aku tidak peduli kakakmu lebih tua atau muda dariku. Perasaan itu mengalir begitu saja. Bahkan kadang kita tidak sadar kalau sebenarnya kita sudah jatuh cinta."
Arona mencebikkan bibirnya, dia suka pusing sendiri saat seseorang sudah mulai terlalu puitis di hadapannya.
"Ngomong-ngomong kamu ini lebih muda dariku, kenapa tidak memanggilku 'kak'?"
"Tidak mau. Aku hanya akan memanggilmu 'kak' kalau kamu sudah resmi jadi pacar kakakku."
Chiko hanya kembali tertawa pelan. Ia kembali menatap jalanan yang kosong, berharap Arui segera pulang dan ia bisa meminta maaf tentang kemarin. Arui pasti salah paham tentang Cindy yang datang ke rumahnya. Pesan Chiko pun tidak dibalas sama sekali olehnya.
Arona mengetuk-ngetukkan jemarinya di meja plastik minimarket ini. Ingin menanyakan sesuatu, tapi dia ragu.
"Hmm, karena kamu adalah calon kakak iparku, bolehkah aku bertanya sesuatu padamu?"
Chiko kembali menatap Arona. "Tanya apa?"
Arona menggigiti bibir bawahnya, masih ragu-ragu. "Menurutmu sebagai laki-laki, saat kamu mencium perempuan, apa yang sebenarnya kamu pikirkan tentang perempuan itu?"
Chiko hampir menyemburkan tawa mendengar pertanyaan Arona yang begitu polos.
"Apa lagi? Tentu saja aku akan mencium dia karena aku suka padanya."
Arona langsung melemas seketika. "Tapi tidak mungkin dia suka padaku. Kerjaannya tiap hari saja hanya menyiksaku."
Chiko menyipitkan matanya saat mendengar Arona bergumam lirih.
"Kenapa? Ada yang menciummu di sekolah?"
"Hush, jangan keras-keras. Nanti kalau kakakku tahu, bisa bahaya."
"Lebih bahaya kalau kamu menyimpan masalah seperti itu sendirian, Arona. Kamu masih di bawah umur. Kalau ada yang menciummu sembarangan, panggil saja kakakmu agar orang itu mendapatkan hukuman."
Chiko terkekeh pelan melihat Arona yang nampak sangat frustasi. "Yah, kecuali kalau kamu menyukainya juga, kamu bisa langsung pacaran saja dengannya."
Arona membulatkan mata begitu mendengarnya. "Enak saja. Aku tidak bilang aku suka padanya. Kamu ini sok tahu sekali."
Chiko menyemburkan tawa melihat tingkah Arona yang begitu menghibur kesedihannya. Sepertinya dia sudah mendapatkan lampu hijau dari keluarga Arui.
Keduanya sampai baru sadar kalau ada orang lain yang sudah berdiri di depan minimarket dan memperhatikan mereka. Seseorang itu lantas berjalan mendekat.
"Kalian sedang apa di sini?"
Chiko menghentikan tawanya dan berganti tersenyum lebar begitu melihat Arui yang dia rindukan sedari tadi.
"Kak Arui, kita harus bicara."
"Bicara apa? Aku harus pulang. Arona, ayo pulang. Ini sudah malam."
Chiko bangkit dari kursi dan menggenggam lengan Arui. "Kak, kumohon dengarkan aku dulu."
Arona ikut berdiri dan tersenyum misterius. "Aku bisa pulang sendiri kok, kak. Kalian sebaiknya urusi saja dulu masalah kalian sendiri, oke?"
Si gadis 16 tahun itu berjalan meninggalkan dua orang di depan minimarket yang sama-sama canggung.
-TBC-