webnovel

Masa Lalu Bagai Mimpi Bagai Asap

BAB 21

Tanah Deli, pertengahan Oktober 1932

Pagi yang sedikit kelabu… Setelah kematian Bruce Julian Tango, Melva Cendana hanya bisa memilih untuk mengasingkan diri sampai ke daerah Belawan. Dengan sisa-sisa uang yang dimilikinya ketika menjadi istri Kenny Herry Yanto Wangdinata, dia mengasingkan diri dengan menyewa satu rumah sederhana dekat dengan pelabuhan sampai kematian Bruce Julian Tango dan usaha percobaan pembunuhannya terhadap Belinda Yapardi mendingin.

"Mendadak saja kau bisa mencariku sampai ke daerah Belawan sini, Wanita Jalang…" kata Melva Cendana masih saja dengan senyuman sinisnya. Walau sudah kalah dan gagal total dalam mendapatkan Kenny Herry, dia tetap saja sinis dan selalu memusuhi orang-orang yang ada di sekelilingnya.

"Kenapa nggak? Aku ingin melihat kekalahanmu, Melva Cendana… Aku ingin melihat bagaimana penderitaanmu setelah kau gagal mendapatkan laki-laki yang begitu kauidam-idamkan dan kauharapkan. Aku ingin melihat hari-harimu dalam kesepian tanpa cinta dan harapan."

"Kalau kau ke sini hanya untuk menertawakanku, pintu depan rumah ini ada di sebelah sana. Kau sudah cukup menertawakanku. Kau sudah boleh pergi dari sini," pandangan mata Melva Cendana mulai mendelik tajam.

"Eh! Eh! Kau selalu bilang aku ini wanita jalang kan? Sekarang coba lihat… Siapa di antara kita berdua yang lebih hina? Seorang wanita jalang yang masih bisa mendapatkan banyak uang dari banyak lelaki yang mengagumi dan menikmati kecantikannya atau seorang istri muda yang bahkan statusnya tidak lagi diakui oleh suaminya?" tampak senyuman sinis sang gadis penghibur yang pernah dijumpai Melva Cendana tatkala ia mencari Bruce Julian Tango di rumah bordil.

"Aku akan kembali ke Tanah Deli… Cepat atau lambat, aku akan kembali muncul di hadapan keluarga Wangdinata dan mengklaim apa yang seharusnya menjadi milikku. Aku akan mencari cara lain lagi untuk menyingkirkan Belinda Yapardi."

"Berhentilah bermimpi!" si gadis penghibur meledak dalam tawa renyahnya yang berkepanjangan. "Kau kira semuanya adalah orang bodoh dan tidak tahu apa-apa saja yang selama ini kaurencanakan di belakang mereka! Kau kira Tuan dan Nyonya Besar Wangdinata tidak tahu niat jahatmu terhadap Belinda Yapardi selama ini!"

"Aku akan mengklaim kembali Kenny! Kenny adalah milikku! Seharusnya aku yang menjadi istrinya dan tengah mengandung saat ini, bukan si Belinda Yapardi itu… Sejak kecil aku sudah menitipkan hatiku kepadanya… Sejak kecil aku sudah berjanji pada diriku sendiri aku akan menjadi istrinya suatu saat nanti. Aku tidak rela dia jatuh ke pelukan Belinda Yapardi itu begitu saja. Jika aku tidak bisa mendapatkannya, wanita mana pun di dunia ini juga tidak boleh mendapatkannya!"

Si gadis penghibur melemparkan sebersit senyuman sinis. "Kenny Herry bukan orang yang bodoh, Melva Cendana… Dia tentu saja tidak mau bersama-sama dengan wanita yang jelas-jelas adalah seorang pembunuh."

"Apa kau bilang?"

Merah padam wajah Melva Cendana. Dia menatap si gadis penghibur dengan sinar matanya yang menyala-nyala.

Si gadis penghibur mendekatkan mulutnya ke telinga Melva Cendana dan mulai membisikkan kata-kata penghinaannya yang berikutnya.

"Kau menyuruh Bruce Julian Tango menyelinap ke rumah Kenny Herry untuk membunuh istri pertamanya yang lagi mengandung itu bukan? Esok harinya, Kenny Herry sudah mengeluarkan surat pernyataan putus hubungan denganmu di koran. Semua orang yang ada di Tanah Deli juga tahu hal itu! Dan semuanya sudah tahu Bruce Julian Tango adalah orang suruhanmu yang kauutus ke rumah Kenny Herry untuk membunuh Belinda Yapardi! Ayah ibumu saja sekarang sudah mengasingkan diri ke Tanah Perbaungan karena mereka tidak tahan menjadi bahan gunjingan dan bulan-bulanan para tetangga! Anak perempuan mereka satu-satunya adalah seorang pembunuh! Anak perempuan mereka satu-satunya adalah manusia keji yang bisa menghalalkan segala cara, bahkan dengan membunuh sekalipun, untuk mendapatkan apa yang diinginkannya!"

Plakk!! Satu tamparan didaratkan Melva Cendana ke wajah si gadis penghibur. Emosi si gadis penghibur naik sampai ke ubun-ubun. Dia menjambak rambut Melva Cendana. Emosi Melva Cendana semakin menguasainya. Dia balas menjambak rambut si gadis penghibur. Jambak-menjambak tidak terhindarkan lagi di antara kedua wanita tersebut.

Dengan sekuat tenaga, Melva Cendana mendorong si gadis penghibur. Si gadis penghibur mundur dengan cepat dan tubuhnya langsung menempel ke dinding. Jambak-menjambak masih berlangsung. Si gadis penghibur balas mendorong tubuh Melva Cendana sekarang. Melva Cendana mundur dengan cepat. Kakinya tersandung ke kaki meja tamu yang ada di tengah ruangan tersebut. Melva Cendana jatuh ke atas sofa tamu. Tubuh si gadis penghibur juga jatuh ke sofa tamu dan menindih tubuh Melva Cendana. Adegan jambak-menjambak masih berlanjut tak kunjung usai.

"Kupastikan ini yang terakhir kalinya kau menamparku dan mengatakan aku ini wanita jalang, Melva Cendana… Jika kau berani menghinaku lagi dengan mengatakan aku ini wanita jalang, aku akan merobek mulutmu itu! Kau paham itu kan?" terdengar gigi-gigi si gadis penghibur yang bergemeretak menahan emosi dan amarahnya.

"Lepaskan aku! Lepaskan aku! Kau sudah gila! Kau benar-benar sudah gila! Lepaskan aku! Aku akan melaporkanmu ke polisi! Aku akan melaporkanmu ke polisi!" Melva Cendana yang panik mulai berteriak.

Si gadis penghibur mendekatkan lagi mulutnya ke telinga Melva Cendana dan berbisik,

"Laporkan aku ke polisi! Ayo lapor sekarang! Ayo lapor sekarang kalau kau bisa! Sebelum kau sempat melaporkanku ke polisi, aku duluan yang akan mengirimmu ke neraka. Gara-gara kau, aku kehilangan Bruce yang sangat kucintai! Gara-gara kau, aku kehilangan kebahagiaanku! Gara-gara kau, Bruce harus menemui ajalnya di rumah Kenny Herry ketika ia gagal menunaikan tugasnya dalam membunuh Belinda Yapardi! Semuanya gara-gara kau, Melva Cendana! Aku takkan membiarkanmu hidup tenang! Kau harus membayar semua yang telah kauperbuat! Kau harus bertanggung jawab atas kematian Bruce!"

Mata si gadis penghibur melihat adanya sebuah gunting di atas sebuah bufet yang terletak di samping sofa tamu. Tangan menyambar gunting tersebut dengan secepat kilat dan gunting langsung dihujamkan ke dada Melva Cendana secara bertubi-tubi.

Melva Cendana tidak bisa berteriak nyaring lagi. Dia hanya mengerang-erang halus seiring dengan rasa sakit tak terperikan yang menguasai sekujur tubuhnya. Dia hanya bisa memekik halus seiring dengan darahnya yang muncrat dan memancar ke segala arah. Gunting terus dihujamkan ke dada Melva Cendana selama beberapa kali lagi sebelum akhirnya si gadis penghibur membuangnya ke lantai. Kini darah sudah menodai tangan, leher, dan hampir seluruh wajah si gadis penghibur. Dengan napas yang sedikit ngos-ngosan, akhirnya ia hanya bisa terduduk di lantai, di samping sofa tamu tempat mayat Melva Cendana terbujur kaku dengan sepasang bola matanya yang terbelalak lebar.

"Aku sudah membalaskan dendammu, Bruce… Bruce… Bruce… Kini kau sudah bisa beristirahat dengan tenang di sana… Aku akan menemanimu sebentar lagi, Bruce… Jangan khawatir, Bruce… Sebentar lagi aku akan datang… Kau takkan sendirian. Aku takkan membiarkanmu sendirian di sana…" tangisan si gadis penghibur pecah berderai dengan derasnya air mata yang mengguyur turun.

"Di kehidupan yang berikutnya, Bruce hanya akan mencintaiku seorang, Melva Cendana… Kau juga akan mencintainya, tapi dia sama sekali tidak mencintaimu. Di matanya hanya ada aku, dan dia sama sekali tidak pernah menoleh ke arahmu walau hanya sedetik pun. Kau akan tersiksa dan tertekan dalam perasaan cinta dan kerinduanmu sendiri! Di kehidupan yang berikutnya, aku masih ingin berkenalan denganmu dan menyaksikanmu mati pelan-pelan akibat tidak tahan terhadap siksaan cinta dan kerinduanmu sendiri!"

Tawa mulai pecah membahana di ruang tamu Melva Cendana. Terdengar suara kereta api yang lewat di belakang rumah Melva Cendana. Si gadis penghibur akhirnya tahu di belakang rumah Melva Cendana, terdapat rel kereta api.

"Bersabarlah, Bruce… Aku akan datang menemuimu sebentar lagi…" kata si gadis penghibur seolah-olah sedang bersenandika dengan dirinya sendiri.

Perlahan-lahan, kaki mulai melangkah ke bagian belakang rumah. Tangan mulai membuka pintu belakang. Kaki diayunkan dengan gamang ke rel kereta api. Angin di areal rel kereta api berhembus lembut dan menerpa rambut dan wajahnya.

Rel kereta api mulai terasa bergetar. Kereta api yang jurusan berikutnya akan segera lewat. Perlahan-lahan, sekeping memori masa lalu mulai menyelisir di pesisir pikiran si gadis penghibur.

"Kenapa tinggal kau seorang? Mana dua yang lain?" tanya Bruce Julian Tango agak kebingungan karena tadi ada tiga gadis penghibur yang akan menemaninya. Sekarang tinggal satu yang balik ke kamarnya.

Si gadis penghibur menanggalkan seluruh pakaiannya dan langsung terjun ke dalam pelukan Bruce Julian Tango, "Mereka mendadak tidak begitu enak badan. Ternyata lagi dapat, Bruce… Mama titip salam mohon maaf sekali… Sebagai gantinya, aku akan berusaha memuaskanmu siang ini… Kau bisa menerapkan posisi dan jurus apa saja terhadapku dan aku bisa menemanimu sampai dengan besok pagi… Kau tidak marah kan…?"

Tangan mulai membelai-belai dan mencapai bagian-bagian yang paling sensitif dari tubuh Bruce Julian Tango.

"Lho…? Kenapa tubuhmu penuh bekas-bekas luka begitu?" Bruce Julian Tango agak sedikit terperanjat karena ternyata tubuh gadis penghibur yang melayaninya ini penuh dengan bekas-bekas luka yang memang tidak terlalu mencolok. Namun, jika diperhatikan dari dekat secara saksama, Bruce Julian Tango bisa melihat semua bekas luka itu.

"Apa yang terjadi? Terakhir kali kau melayaniku, aku tidak melihat adanya bekas-bekas luka ini di badanmu. Kenapa sekarang ada? Siapa yang berani melukai permaisuriku sampai sebegini parah?" tanya Bruce Julian Tango lagi ketika si gadis penghibur hanya tampak diam.

"Apa yang terjadi? Cepat jujur padaku… Atau kalau tidak, aku takkan memberimu bonus tambahan kali ini loh…" terdengar suara Bruce Julian Tango yang sedikit mengancam.

"Aku dipukuli oleh Mama… Aku tidak mau melayani laki-laki lain lagi setelah aku melayanimu waktu itu, Bruce… Aku… Aku… Aku tidak ingin laki-laki lain lagi selain dirimu…" kata si gadis penghibur kini dalam posisi duduknya yang membelakangi Bruce Julian Tango.

Bruce Julian Tango hanya diam beberapa saat. Sejurus kemudian, ia tampak meraih si gadis penghibur ke dalam pelukannya.

"Jangan menanyakan cerita ini kepada Mama lagi ya, Bruce… Mama bisa marah besar padaku karena aku telah menceritakan hal internal begini kepada seorang tamu. Mama bisa memukulku lagi dengan cemetinya. Sakit sekali… Aku sungguh-sungguh tidak tahan lagi…" si gadis penghibur mulai menangis terisak-isak dalam pelukan Bruce Julian Tango.

"Oke… Oke… Setelah malam ini, aku akan membelimu saja, Sayang… Kau akan menjadi kekasih Bruce Julian Tango setelah itu. Dengan demikian, kau tidak perlu menelan penderitaan yang seperti ini lagi."

"Hah…? Setelah malam ini?" mata si gadis penghibur naik beberapa senti mendengar pernyataan Bruce Julian Tango.

"Aku akan membantu Melva Cendana itu untuk yang terakhir kalinya. Setelah itu, aku hanya akan memperhatikanmu seorang, Sayang… Takkan ada lagi Melva Cendana di hatiku… Di hatiku hanya ada kau seorang, Sayang… Aku hanya akan berkonsentrasi pada dirimu seorang. Aku hanya akan berkonsentrasi padamu, dan pada keluarga kecil kita kelak…"

"Permintaan apa lagi memangnya dari Melva Cendana kali ini, Bruce?" tangan naik dan membelai-belai kedua belahan pipi Bruce Julian Tango.

"Dia meminta tolong padaku… padaku… padaku untuk melenyapkan nyawa istri Kenny Herry Yanto Wangdinata itu…" sahut Bruce Julian Tango sedikit menundukkan kepalanya.

"Tapi itu sangat berbahaya, Bruce… Rumah Kenny Herry Yanto Wangdinata selalu ada banyak pengawalnya…"

"Kenny Herry lagi tidak ada di Tanah Deli, Sayang… Sebagian pengawalnya ikut mengawalnya sampai ke Tanah Aceh sana. Dia lagi berbisnis di sana. Maka dari itu, Melva Cendana meminta tolong padaku untuk menyelinap ke rumahnya malam ini dan membunuh istrinya yang tengah mengandung itu. Jangan khawatir, Sayang… Aku akan bisa menyelesaikan tugasku dengan baik… Aku akan kembali… Setelah malam ini, tidak ada yang bisa mengambilku darimu lagi. Tenanglah… Tenanglah…" gantian Bruce Julian Tango yang membelai-belai rambut si gadis penghibur yang terurai panjang.

Mau tidak mau, si gadis penghibur hanya mengangguk mengiyakan. Bruce Julian Tango bisa membalas perasaannya saja, dia sudah sangat puas. Dia tidak berani meminta lebih dari itu. Dia hanya bisa berdoa dalam hati semoga Bruce Julian Tango bisa menyelesaikan tugasnya dengan baik dan kembali ke hadapannya dalam keadaan sehat walafiat. Dengan demikian, dia bisa menyongsong masa depannya yang penuh dengan sejuta impian dan harapan bersama-sama dengan Bruce Julian Tango.

Nyatanya, Bruce Julian Tango kembali ke hadapannya dalam keadaan sudah dimakamkan dan ia hanya bisa berlutut di depan batu pusaranya. Di saat itulah, si gadis penghibur berjanji pada dirinya sendiri, dia akan membalaskan dendam Bruce Julian Tango.

Hari ini, detik ini, dia sudah membalaskan dendam Bruce Julian Tango. Tidak ada lagi yang diinginkannya dari hidup ini. Dia hanya ingin menemani Bruce Julian Tango di mana pun lelaki itu berada. Gemeletap langkah di atas rel kereta api terasa semakin gamang.

Kereta api sudah semakin mendekat. Dari kejauhan, sudah terdengar klakson kereta api yang panjang, nyaring nan memekakkan telinga. Namun, tubuh si gadis penghibur sama sekali tidak menyingkir ke samping. Beberapa orang di samping rel kereta api bahkan sudah berteriak padanya bahwa kereta api sudah semakin dekat. Namun, tetap saja si gadis penghibur sama sekali tidak bergeming.

Kereta api lewat dengan begitu cepat. Kini tampak tubuh si gadis penghibur hancur-lebur di atas rel kereta api dengan darah merah segar sebagai latar belakangnya. Masyarakat sekitaran rel kereta api mulai mendekati mayat si gadis yang baru saja mati bunuh diri, dan memandangi kondisi mayatnya yang begitu mengenaskan.

Tidak ada yang tersisa lagi… Semuanya sudah tidak bersisa lagi… Semuanya sudah pergi… Segala cinta dan kerinduan telah lenyap. Semua sakit hati dan kebencian juga telah binasa. Yang tersisa hanyalah darah yang perlahan akan mengering; daging yang perlahan akan membusuk; dan tulang-belulang yang perlahan akan berubah menjadi abu dan terbang tertiup angin.

***

Tanah Deli, akhir November 1932

Valencia Fang memegangi tangan Boy Eddy dengan lembut. Tampak tangan itu sudah rapi terbalut dalam perban. Peluru sudah dikeluarkan dan obat antiseptik juga sudah dioleskan.

Boy Eddy juga mengelus-elus luka pada pundak kanan Valencia yang kini sudah terbalut rapi dalam perban. "Kau tidak kenapa-kenapa kan, Sayang?"

Valencia menggeleng lembut. "Tidak apa-apa… Lukamu yang jauh lebih parah daripada lukaku. Lukaku hanya di pundak dan tidak mengenai tulang yang ada di dalamnya. Sementara lukamu sudah tembus sampai ke tulang. Dokter tadi bilang untuk sementara waktu kau tidak boleh mengetik dulu."

Tampak raut kecemasan pada wajah sang putri pujaan. Sambil tersenyum lemah lembut dan sedikit cengar-cengir, Boy Eddy hanya mengangguk santai dan berujar, "Ada kau kan, Sayang…? Tadi kau bilang pada si Terry Liandy ingin menemaniku terus dalam memperjuangkan kebebasan negeri ini bukan? Aku sudah menganggap itu sebagai janjimu. Kan kau bisa membantuku dalam mengetikkan naskah-naskah dan cerita-ceritaku ke depannya…"

Boy Eddy mendekatkan dahinya ke dahi si putri pujaan. Tampak Boy Eddy sedikit cengar-cengir. Mau tidak mau Valencia juga tersenyum lembut.

"Aku sudah cemas setengah mati ketika dokter mengeluarkan pelurunya dari tanganmu ini, kau masih bisa cengar-cengir begini ya… Memang benar apa yang dikatakan oleh Kenny dan Jacky tentangmu ya…"

"Mereka bilang apa memangnya?" Boy Eddy sedikit mengangkat alisnya.

"Kau itu tidak takut pada apa pun di dunia ini… Sekarang aku lihat kata-kata mereka itu memang ada benarnya… Kau bahkan berani membunuh seorang jenderal perang tertinggi di Tanah Deli ini. Apa lagi yang bisa membuatmu gentar dan takut coba?" tukas Valencia dengan sedikit sebersit senyuman kecut.

"Sekarang, hanya ada satu hal yang membuatku takut dan gentar, Sayang… Serius… Tadi aku begitu takut peluru itu akan membuatmu terluka parah. Serius, Sayang… Peluru itu mengenaiku tidak apa-apa, asalkan aku tidak melihatmu terluka gara-gara menangkis peluru itu untukku." Boy Eddy merengkuh sang putri pujaan ke dalam sebuah pelukan kehangatan.

Valencia mengangkat tangan Boy Eddy yang terbalut perban sekarang. "Ada tangan ini yang akan melindungiku, Boy… Tangan ini sudah melindungiku tadi. Tangan ini sudah memberiku kehidupan yang kuinginkan selama ini. Tangan ini sudah mengembalikan jati diriku selama ini. Tangan ini menjadi benda yang paling berharga buatku saat ini. Oleh karena itu, ketika melihat satu peluru mengenai tangan ini tadi dan datang lagi peluru yang kedua, aku memutuskan menggunakan pundakku saja untuk menangkis peluru yang kedua itu."

Boy masih belum mau melepaskan Valencia yang berada dalam pelukannya. Dia mendaratkan satu kecupan mesra ke kepala sang putri pujaan.

Valencia melepaskan diri dari pelukan sang pangeran pujaan sejenak. Dia mengangkat kepalanya sejenak dan sekonyong-konyong mendaratkan satu ciuman mesra ke bibir sang pangeran pujaan. Sepasang mata sang pangeran pujaan tampak sedikit membelalak seolah-olah ia tersengat aliran listrik bertegangan tinggi.

"Apa itu, Valencia?" tanya Boy Eddy pura-pura tidak mengerti.

Valencia mendaratkan satu kecupan mesra lagi ke bibir sang pangeran pujaan. Tampak wajah Boy Eddy masih hampa dengan sepasang matanya yang membelalak lebar. Valencia mendaratkan satu kecupan mesra lagi ke bibir sang pangeran pujaan.

"Aku menjadi ketagihan sekarang, Valencia… Kau tidak boleh menelantarkan aku sendirian lagi setelah aku ketagihan terhadap apa yang kauperbuat padaku tadi…" Boy Eddy sedikit bergurau.

Boy Eddy ingin berdiri. Namun, kakinya terasa kesemutan… Mungkin karena terlalu lama duduk. Dia salah langkah dan jatuh kembali ke sofa tempat dia duduk tadi. Valencia terperanjat kaget sejenak dan mencoba menampung tubuh sang pangeran pujaan yang jatuh tadi. Akibatnya, kini tubuh Boy Eddy kembali tergeletak di atas sofa dengan posisinya yang menindih tubuh sang putri pujaan. Wajah keduanya begitu dekat. Terasa napas sang pangeran yang begitu cepat dan memburu. Tampak jelas sang pangeran pujaan sudah kurang bisa mengendalikan cinta dan kerinduannya pada detik itu.

Sekonyong-konyong lagi, kedua lengan Valencia naik. Valencia melingkarkan kedua lengannya ke leher sang pangeran pujaan.

"Miliki saja aku, Boy… Terakhir kali ketika kita dalam momen-momen seperti ini, waktu itu aku belum siap. Namun, sekarang… sekarang… sekarang aku sudah siap…" Valencia perlahan-lahan mulai memejamkan matanya.

"Aku… Aku… Aku begitu menginginkanmu, Valencia. Namun, aku… aku… aku kurang yakin…" kalimat Boy Eddy terhenti hanya sampai di sana. Suaranya mulai terdengar parau nan kurang jelas.

"Kau tidak yakin pada dirimu sendiri atau tidak yakin pada masa depan kita?" tanya Valencia dengan sorot mata lembut kepada sang pangeran pujaan.

"Kau sendiri yakin?" tanya Boy Eddy lagi sedikit ragu-ragu.

Valencia hanya mengangguk lembut.

"Kau sudah yakin mau menyerahkan dirimu ke laki-laki yang tidak punya apa-apa ini, Valencia? Itulah yang aku takutkan sebenarnya… Aku takut aku akan membuatmu menderita. Setelah ini, waktu tidak bisa ditarik mundur lagi. Setelah ini, kau bukanlah lagi seorang gadis dewasa muda. Setelah ini, kau sudah menjadi seorang wanita dewasa sejati. Kau yakin?"

Valencia sedikit menaikkan kepalanya dan ia mendaratkan satu kecupan mesra ke bibir sang pangeran pujaan.

"Aku sangat yakin, Sayang… Mari sini aku yang meyakinkanmu saja…"

Akhirnya, Boy Eddy menyerah ke dalam panggilan kodratinya. Dia menyerah ke dalam buaian cintanya terhadap sang putri pujaan. Waktu berlalu dengan begitu cepat. Segala kata tidak diperlukan lagi. Semuanya melebur jadi satu ke dalam samudra cinta – ke dalam samudra keinginan – terus menggeligit, terus menggeliat dalam nada-nada asmara yang tak berujung.

***

Medan, 30 Mei 2018

Seminggu berlalu sudah… Carvany melewati hari-harinya dengan sejuta keceriaan dan canda tawa bersama-sama dengan Jacky Fernandi, sang malaikat merahnya.

Untuk sementara Carvany bisa bernapas lega. Tidak ada tanda-tanda ayahnya telah mengetahui kebohongan ibunya selama ini. Carvany diam-diam berdoa dalam hati. Mudah-mudahan di kehidupan ini, kebohongan ibunya tak pernah ketahuan dan perlahan-lahan bisa lenyap tertelan ke dalam waktu yang bergulir.

Saat merenungkan hal tersebut di dalam kantornya, mendadak saja seberkas sinar warna merah terbang melayang masuk ke dalam kantornya. Sinar warna merah tua terbang melayang dan berputar-putar di sekujur tubuh Carvany sebelum akhirnya berubah menjadi sesosok laki-laki dengan tubuh tinggi putih nan bedegap.

Sang malaikat merah muncul di hadapan Carvany dengan sebersit senyuman imut yang menghiasi wajahnya yang tampan.

"Mesti kali ya berputar-putar dulu baru memunculkan diri, Jack…" kata Carvany dengan sedikit muka cemberut.

"Ada apa, Sayang? Kau tampak sedikit murung hari ini? Apakah… Apakah… Apakah kau sudah mengingat lagi sebagian kehidupan masa lampaumu?" Jacky Fernandi menarik kursi dan duduk di samping Carvany.

Carvany menghela napas panjang. "Aku sudah mengingat apa yang Ibu lakukan terhadap Ayah di kehidupan lampau. Dan… Dan di kehidupan yang sekarang, Ibu kembali mengulang kebohongan dan sandiwaranya terhadap Ayah. Apakah mereka memang saling berutang dari satu kehidupan ke kehidupan yang berikutnya dan utang itu tak selesai-selesai?"

"Hanya karma mereka sendirilah yang tahu, Carvany… Selesai tidak selesainya jalinan jodoh kita dengan seseorang itu kan kita sendiri yang menentukan. Jika kita memang berniat memutuskan pertalian jodoh kita dengan seseorang itu, ya selesailah semuanya. Jika kita memang berniat melanjutkannya lagi di kehidupan yang akan datang, dengan tekad yang kita tanamkan ke dalam pikiran dan kesadaran kita, ya di kehidupan yang akan datang kita tetap akan bertemu dengan orang itu dan pertalian jodoh tetap berlanjut."

"Apakah… Apakah… di kehidupan masa lampau, Ayah mengetahui kebohongan Ibu? Apa kau sempat menyaksikan pertalian jodoh mereka sampai dengan akhir?"

Jacky Fernandi menggeleng lembut. "Tidak, Carvany… Aku bahkan hanya sempat melihat anak kita selama satu bulan lebih setelah kau melahirkannya."

Air mata sedikit menggenang di pelupuk mata Jacky Fernandi. Carvany berpaling ke sang malaikat dengan sorot mata yang sedikit nanar.

"Kau baru saja menjadi seorang ayah dan setelah itu kau sudah berakhir?"

Jacky Fernandi mengangguk. "Aku diburu oleh para petinggi Belanda karena aku dan kedua sahabatku telah membunuh jenderal tertinggi mereka. Seharusnya kau sudah mengingat sampai sana bukan?"

Carvany mengangguk mengiyakan. "Ya… Kalian merampok bank Jenderal Ambrose Vanderbilt itu dan ia sangat marah. Ia mengejar mobil kalian dan menembaki mobil kalian dengan senapannya. Kalian balas menembak. Mobilnya kena… Sopirnya kena… Dan mobilnya terjatuh ke areal perkebunan yang ada di samping jalan dan meledak."

"Begitulah… Sejak saat itu kehidupan kita tak lagi tenteram. Aku sering mengamankan diriku di rumahku yang satu lagi di Tanah Karo. Aku tinggal di atas gunung selama beberapa bulan dan hanya sesekali pulang ke Tanah Deli. Atau kalau tidak, kau yang naik ke atas gunung menjumpaiku dan kita melewatkan beberapa minggu bersama di Tanah Karo yang ada di atas gunung."

Carvany mengangguk perlahan. Apa yang sudah menjadi masa lalu, tetap akan tertanam di masa lalu dan tidak bisa diulang lagi. Semuanya hanya akan menjadi kenangan… Semuanya hanya akan tertinggal dalam catatan…

***

Tanah Deli, awal Desember 1932

Tiga wanita siang ini berkumpul di sebuah rumah makan yang cukup terkenal di daerah Kesawan. Ketiganya sudah tahu apa yang diperbuat suami mereka terhadap Jenderal Ambrose Vanderbilt. Walaupun ketiga sahabat The Amazing Boys berusaha menyembunyikan fakta itu dari ketiga istri mereka, ketiga istri mereka tetap saja tahu pada akhirnya. Belinda Yapardi dan Ivana Pangdani sedikit terkaget-kaget mendengarkan penuturan Valencia Fang.

"Kau sudah menemukan Boy? Ternyata Boy bersembunyi di rumah Jacky yang ada di Tanah Karo itu?" Ivana Pangdani sedikit tidak percaya. "Waktu aku ke sana menjumpai Jacky, aku sama sekali tidak melihat adanya Boy di sana loh…"

"Waktu kau ada di sana, Boy tinggal di penginapan kecil yang dekat sana. Setelah kau balik, dia juga balik ke rumah Jacky. Boy tidak ingin kau melihat kehadirannya di sana karena dia tahu tentu saja kau akan bilang padaku kau melihatnya di sana."

"Lalu bagaimana akhirnya kau bisa tahu dia ada di sana, Valencia?" tanya Belinda Yapardi sedikit mengerutkan dahinya.

"Dahulu pada masa-masa awal perkenalan kami, dia selalu menghindariku karena dia merasa dia tidak pantas untukku, dia tidak mempunyai apa-apa yang bisa diberikannya kepadaku untuk bisa membuatku bahagia. Waktu itu, dia juga bersembunyi di rumah Jacky yang ada di atas gunung Tanah Karo itu. Itu terjadi sebelum dia bekerja di redaksi koran dan majalahnya yang sekarang. Sekarang dia mendadak menghilang dan banyak orang-orang petinggi Belanda yang mencari-carinya ke rumah. Aku juga mencarinya di rumah Kenny dan rumah orang tua Kenny. Dia juga tidak ada di sana. Sedikit banyak, aku sudah bisa menduga dia pasti bersembunyi di rumah Jacky yang ada di atas gunung Tanah Karo. Aku ke sana tanpa pemberitahuan dan memang benar dia ada di sana. Tapi… Tapi…"

"Terry Liandy membuntutimu secara diam-diam dan kau tidak mengetahui hal itu. Akhirnya persembunyian Jacky dan Boy di sana menjadi ketahuan." Ivana Pangdani sedikit menundukkan kepalanya dan meneteskan air matanya.

"Maafkan aku, Ivana… Aku benar-benar tidak tahu Terry Liandy diam-diam membuntutiku dari belakang." Sedikit paras penyesalan tampak menghiasi wajah Valencia Fang.

"Tapi, sekarang mereka sudah aman di rumah Kenny yang ada di Kuala Simpang sana, Ivana… Kau tidak usah khawatir. Kenny pagi ini baru saja mengabariku bahwa mereka baik-baik saja. Ada sedikit orang Belanda yang tinggal di daerah perbatasan seperti itu. Tidak ada yang mengetahui tempat persembunyian mereka," tukas Belinda dengan sebersit senyuman menenangkan.

"Dan sampai sekarang orang-orang Terry Liandy, Rio Augusto dan Dedrick de Groot itu sama sekali tidak memiliki bukti konkret bahwa ketiga sahabat The Amazing Boys yang telah membunuh Jenderal Ambrose Vanderbilt. Aku rasa untuk sementara mereka aman." Valencia Fang juga melemparkan sebersit senyuman menenangkan.

Baru saja Ivana Pangdani hendak membuka mulutnya untuk menanggapi penuturan Valencia Fang, dia sudah melihat kemunculan Terry Liandy dan Rio Augusto Wiranata di depan rumah makan. Mereka memarkirkan mobil mereka di jalan besar Kesawan yang di depan dan turun dari mobil mereka. Dalam sekejap saja, pasang mata mereka sudah bisa melihat kehadiran tiga wanita yang mereka kenal dalam rumah makan tersebut.

"Wah! Wah! Wah! Tiga istri dari tiga sahabat The Amazing Boys ada di sini rupanya…" terdengar nada suara Rio Augusto yang agak sinis.

"Kebetulan sekali bisa bertemu denganmu di sini, Valencia. Bagaimana… Bagaimana dengan luka pada pundakmu? Sudah… Sudah baikan?" tanya Terry Liandy sedikit merasa bersalah karena ia telah melukai wanita yang sangat ia cintai.

"Aku baik-baik saja, terima kasih… Terima kasih karena telah memperhatikanku…" balas Valencia apa adanya.

"Kau… Kau… masih tinggal di Tanah Deli atau kau berencana pindah ke Tanah Karo juga?" tanya Terry Liandy sedikit ragu.

"Aku akan lebih berterima kasih lagi jika kau tidak menggangguku lagi dan tidak ikut campur ke dalam kehidupanku lagi, Terry. Aku akan sangat menghargai itu. Bisakah…?" tanya Valencia kepada Terry Liandy dengan sedikit pandangan memelas.

Valencia beranjak dari kursinya dan ia berpaling ke kedua sahabatnya, "Belinda… Ivana… Aku kembali ke 3P saja sekarang. Masih ada beberapa hal di sana yang belum kuselesaikan."

Valencia berlalu begitu saja. Tampak Terry Liandy yang mengekorinya dan mencegat lengannya.

"Aku juga kembali ke 3P sekarang. Masih ada beberapa surat Kenny di sana yang belum aku ketik, Ivana… See you later ya…" kata Belinda juga beranjak dari rumah makan tersebut dan segera berlalu.

Ivana hanya memberikan anggukan kepalanya ketika Belinda melambaikan tangannya.

"Kandunganmu sudah mulai membesar, Ivana…" tampak sorot mata nanar dari Rio Augusto. "Aku juga bisa memberimu anak jika itu yang kauinginkan."

"Aku tidak menginginkan anakmu, Rio," kata Ivana dingin dengan sedikit sebersit senyuman sinis. Angin siang hari berhembus dan menerpa lembut wajah dan rambutnya. Meski dalam keadaan mengandung, dia tetap tampak cantik di depan Rio Augusto. Rio Augusto sama sekali tidak bisa membenci Ivana Pangdani karena ia begitu mencintai wanita itu.

"Kau tengah mengandung anak seorang pemberontak, asal kau tahu saja! Sebentar lagi ayah anakmu akan ditangkap dan dia akan dihukum mati!"

"Dan kau juga akan menyaksikan kematianku juga!" Ivana Pangdani menatap Rio Augusto Wiranata dengan sorot mata yang begitu dingin nan membekukan sumsum tulang.

Rio Augusto hanya membuang pandangannya ke arah lain dan kemudian ia menatap wanita yang sangat dicintainya sekali lagi.

"Tinggalkan pemberontak itu, Ivana… Bersama-sama denganku… Aku akan menjadi ayah dari anak yang kaukandung itu. Kelak jika kita punya anak lagi, aku akan tetap menyayanginya seperti anak kandungku yang lain. Percayalah padaku… Bersama dengan pemberontak itu, kau sama sekali takkan mempunyai masa depan. Hanya kematianlah yang akan kauhadapi. Tidakkah kau pernah memikirkan masa depan, setidaknya masa depan anakmu ini?"

"Jangan khawatir, Rio Augusto… Aku sudah menyusun semuanya dengan rapi. Aku akan menyerahkan anakku ini pada orang yang bisa kupercayai jika seandainya aku memang tidak bisa lolos dari rintangan terakhir yang menantiku di depan sana. Yang jelas orang itu bukan kau… Berhentilah menggangguku dan biarkanlah aku hidup tenang di hari-hari terakhirku di Tanah Deli ini, Rio Augusto. Bisa kan…?" Ivana memejamkan sebentar matanya. Tampak dua bulir air matanya yang bergulir turun.

Rio Augusto langsung mencekal lengan kanan Ivana. "Kenapa kau begitu keras kepala dan tidak pernah berpaling padaku? Apa yang dimiliki oleh si pemberontak itu, aku juga bisa memilikinya. Apa kekuranganku sampai-sampai kau rela mengorbankan segalanya demi si pemberontak itu? Apa…? Apa…?"

"Lepaskan aku, Rio Augusto! Lepaskan aku!" Ivana mulai menaikkan oktaf suaranya.

Mendadak satu tangan yang dibalut oleh lengan baju warna merah muncul dari belakang Rio Augusto. Dia menepiskan tangan Rio Augusto dan mendorong Rio Augusto ke samping. Rio Augusto bergerak ke samping secara terhuyung-huyung. Dia terhenyak kaget karena Jacky Fernandi telah muncul di rumah makan tersebut dan mengklaim kembali istri dan anaknya.

"Jangan pikir aku tidak ada di sini, kau bisa seenaknya terhadap istri dan anakku ya!" terdengar suara Jacky Fernandi yang lemah lembut, tapi sarat akan keseriusan dan tanggung jawabnya.

"Jack… Jack… Kau bisa ke sini?" Ivana Pangdani menyentuh kedua belahan pipi sang suami. Sang suami hanya mengangguk dan menatap kedua mata istrinya dengan penuh cinta.

"Kau pemberontak sampah! Sebentar lagi kau akan ditangkap dan dihukum mati! Nikmatilah hari-hari terakhirmu di sini!" kata Rio Augusto dengan sepasang matanya yang menyala-nyala.

Mendadak tamu-tamu yang lain, yang duduk di dalam rumah makan tersebut, sekonyong-konyong berdiri dan mengangkat senjata mereka. Senjata mereka semua diarahkan ke Rio Augusto.

Rio Augusto sama sekali tidak bisa berkutik. Dia hanya memandangi rival cintanya dengan matanya yang masih menyala-nyala.

"Sebelum kau menangkapku dan menghukum mati aku, setidaknya kau harus bisa melewati senjata-senjata mereka dulu bukan?" terdengar nada suara Jacky Fernandi yang teramat sinis. Tampak sebersit senyuman sinis menghiasi wajah Jacky Fernandi yang tampan.

"Aku akan kembali lagi, Ivana… Sebelum aku mendapatkanmu, aku takkan menyerah… Aku akan mendapatkanmu cepat atau lambat. Cepat atau lambat, kau akan menjadi Nyonya Wiranata, bukan Nyonya Yiandra…"

Rio Augusto berlalu dari rumah makan itu.

"Apa yang terjadi padamu? Dia tidak sempat berbuat yang tidak-tidak kepadamu kan?" Jacky Fernandi memeriksa kondisi sang istri dari ujung rambut hingga ujung kaki.

Ivana tersenyum lembut dan dia juga menggeleng lembut. "Ada kau di sini, takkan ada yang berani berbuat kurang ajar padaku, Jack… Ada kau di sini, segala duniaku sudah membaik. Kau akan ikut aku pulang ke rumah kan? Kau akan kembali beraktivitas di klub 3P kan? Mau kan…?"

Jacky Fernandi mengangguk. "Kami bertiga memang memutuskan kembali ke Tanah Deli untuk sementara. Tak ada bukti yang bisa memberatkan kami. Tak ada yang bisa menuduh kami bertiga sebagai pembunuh Jenderal Ambrose Vanderbilt. Aku rasa untuk sementara posisi kami bertiga di Tanah Deli ini masih aman."

Ivana Pangdani hanya bisa menenggelamkan diri ke dalam pelukan sang suami. Riak-riak cinta selalu bermunculan tatkala ia bertemu dengan sang suami. Serasa cinta kembali menggeligit dan menyelangkupi dasar muara pikiran Jacky Fernandi dan Ivana Pangdani.

Sementara itu, Valencia Fang menepiskan tangan Terry Liandy yang mencegatnya.

"Sudah kubilang lepaskan aku… Jangan menggangguku lagi bisa tidak sih…!" Valencia Fang tidak tahu apa yang telah terjadi dengan dirinya sehingga kini ia memiliki sebegitu banyak keberanian untuk mengungkapkan apa yang ia suka dan apa yang tidak ia suka.

"Bersama denganku, kau bisa memperoleh kembali segala kenikmatan dan kemewahan hidupmu dulu. Bersama denganku, kau bisa kembali menjadi Valencia yang dulu. Bersama denganku, Valencia… Tinggalkan pemberontak itu… Tinggalkan dia… Sebentar lagi dia akan ditangkap dan dihukum mati…" Kini kedua tangan Terry Liandy mencekal kedua lengan atas Valencia.

"Lepaskan aku… Lepaskan aku…"

Suara Valencia kian lemah. Ia mendadak merasa pusing dan mual. Isi perutnya sedikit bergejolak dan ia merasa ingin muntah. Ia tidak bisa menahan isi perutnya lagi. Ia akhirnya muntah di tepi jalan besar.

"Apa yang terjadi denganmu? Apa yang terjadi denganmu? Jangan-jangan kau… Jangan-jangan kau sudah mengandung… Anak… Anak siapa itu? Anak siapa itu, Valencia? Jelas-jelas kau belum menikah, kau belum menjadi istri orang. Kenapa sekarang kau bisa mengandung? Anak siapa itu? Kenapa… Kenapa kau bisa begitu murahan dan tidak bernilai? Kenapa kau bisa langsung menyerahkan dirimu pada lelaki yang barusan kaukenal tidak lebih dari setahun?" teriakan Terry Liandy semakin meninggi seiring dengan kedua bola matanya yang semakin membesar.

"Itu adalah anakku… Dan Valencia bukanlah wanita murahan. Murahan atau tidak seorang wanita, itu tergantung bagaimana suaminya memperlakukannya dan bagaimana ia bersikap kelak. Sebentar lagi kami akan menikah…" terdengar suara Boy Eddy dari belakang mereka. Terry Liandy berpaling dan menatap Boy Eddy dengan sorot matanya yang mendelik tajam.

"Kedua orang tuamu takkan merestui pernikahan kalian, Valencia! Mereka akan sangat malu jika mereka tahu kau bahkan sudah menyerahkan dirimu pada si pemberontak ini dan kini kau tengah mengandung anaknya! Mereka takkan datang dan merestui pernikahan kalian!"

"Aku sudah bukan anak mereka, Terry. Kau sudah lupa…? Ayah sudah menyerahkan aku kepada Dedrick de Groot waktu itu dan Dedrick de Groot sudah menjualku ke rumah bordil. Kini Boy yang membeliku dan aku sudah menjadi milik Boy seutuhnya. Siapa yang lebih berhak atas diriku sekarang kalau menurutmu?" Valencia berkata dengan pandangan nanar kepada Terry Liandy.

Terry Liandy mulai kehabisan kata-kata. Dia menuding Boy Eddy sekarang. Dia melampiaskan emosi dan kemarahannya pada Boy Eddy.

"Kau sudah tancap gas sebelum kau sanggup menikahi Valencia! Apa maksudmu, Boy Eddy! Apa maksudmu!" teriak Terry Liandy sembari mencengkeram kerah baju Boy Eddy.

Sembari tersenyum ringan, Boy Eddy menepiskan kedua tangan Terry Liandy dan mendorongnya mundur. Terry Liandy mundur beberapa langkah secara sempoyongan.

"Itu adalah urusan di antara kami berdua. Kau jangan coba-coba untuk ikut campur ke dalam hubunganku dengan Valencia ya! Siapa bilang aku tak sanggup menikah dengan Valencia! Persiapan pernikahan kami hanya tinggal sepuluh persen. Bulan depan kami akan segera menikah. Jangan cemas… Kau juga akan diundang. Tunggu saja undangan pernikahan kami diantarkan sampai ke depan pintu rumahmu, Terry Liandy…" terdengar nada suara Boy Eddy yang sinis di sini.

"Aku akan menghancurkan pernikahan kalian! Aku akan menggagalkan pernikahan kalian! Kalian takkan bisa menikah! Anak itu juga takkan bisa lahir ke dunia ini! Ingatlah ini, Boy Eddy… Aku akan terus menghantui hidup kalian sampai kalian benar-benar terpisahkan. Aku akan terus menghantui hidup kalian sampai aku mendapatkan Valencia. Valencia adalah milikku… Tidak ada laki-laki mana pun di dunia ini yang boleh mendapatkannya…"

"Cobalah kalau kau berani! Seperti yang kukatakan padamu sebelumnya… Aku takkan membiarkan seorang pun mengusik apalagi merusak kebahagiaan rumah tangga kami. Coba saja dan kau akan melihat apa-apa saja yang bisa kulakukan…" terdengar nada keseriusan Boy Eddy di sini.

Terry Liandy terpaksa berlalu dari rumah makan di daerah Kesawan tersebut karena pangeran yang asli telah muncul mengklaim kembali sang putri dan anak mereka.

"Kau sudah kembali, Boy… Akhirnya kau kembali…" Valencia Fang memegangi kedua belahan pipi sang pangeran pujaan.

"Kita akan segera menikah bulan depan. Aku harus kembali, Valencia. Aku harus kembali ke Tanah Deli mengklaim istri dan anakku." Boy Eddy terlihat tersenyum ringan. Dia menatap ke calon istrinya dengan sinar matanya yang penuh cinta.

Valencia hanya tersenyum ringan menanggapi perkataan sang pangeran pujaan. Dia menganggukkan kepalanya dan kembali menatap ke calon suaminya dengan sorot mata penuh cinta.

"Kenapa kau tidak pernah bilang padaku, Sayang? Kau tahu seberapa besar kebahagiaanku begitu aku mendengar dari mulut Terry Liandy tadi bahwa kau kini tengah mengandung?" Boy Eddy membelai-belai dan merapikan rambut Valencia yang bergeser lemah karena tertiup angin.

Valencia menunduk malu. "Aku pikir bulan depan kita akan segera menikah. Cepat atau lambat kau akan segera mengetahuinya. Aku menunggu sampai kau balik ke sini dulu baru aku memberitahumu, Boy…"

"Mulai detik ini, kau tidak boleh bekerja terlalu keras lagi… Aku akan menggaji seorang pembantu di rumah sehingga kau tidak perlu mengerjakan segala pekerjaan yang berat-berat lagi."

"Memangnya anggaran kita cukup?" sebersit senyuman malu tampak merekah di sudut bibir Valencia Fang.

"Tentu saja… Walau dalam status tersangka utama, redaksi majalah dan koran itu tidak memecatku, Sayang. Pekerjaanku tetap jalan loh walau aku berada di daerah-daerah lain yang ada di luar Tanah Deli selama ini," tukas Boy Eddy dengan sedikit nada kebanggaan dalam suaranya.

"Kenapa bisa begitu?" Valencia mengangkat alisnya – sedikit bingung.

"Direksi dan jajaran-jajaran petinggi redaksi itu kebanyakan orang Inggris. Sedikit banyak mereka juga kurang cocok dengan sistem kepemimpinan jenderal Belanda itu di Tanah Deli kita ini. Sedikit banyak mereka merasa lega karena sang jenderal diktator sudah tewas."

Valencia Fang hanya mangut-mangut mendengarkan penuturan calon suaminya.

"Ayo kita jalan sekarang, Boy… Aku ingin ke 3P sekarang. Ada beberapa artikel beritamu yang belum selesai aku ketik. Aku tadi datang ke sini barengan Belinda dan Ivana untuk melewatkan jam istirahat siang kami," tampak Valencia sedikit cengengesan.

"Tidak ke 3P dulu, Sayang…" Boy Eddy mencegat lengan sang putri pujaan sekaligus menahan langkah-langkahnya yang sudah hendak bergerak maju.

"Jadi kita mau ke mana?" Valencia sedikit mengangkat kedua alis matanya.

"Ke dokter kandungan kenalanku dulu, Sayang… Aku akan membelikan beberapa obat dan vitamin yang cocok buatmu dan buat anak kita…" kata sang pangeran pujaan sambil mengelus-elus perut Valencia.

Valencia hanya tersenyum geli dengan sikap protektif yang ditawarkan oleh Boy Eddy. Boy Eddy menggandeng tangan Valencia dan keduanya meninggalkan rumah makan tersebut. Valencia mengikuti ke mana pun Boy Eddy menarik tangannya.

Nada-nada cinta kembali bergelitar di padang sanubari Boy Eddy dan Valencia Fang.