webnovel

Kebersamaan yang Tak Kekal

BAB 23

Tanah Deli, pertengahan Februari 1934

Dalam mobil yang melaju dari Belawan menuju ke tengah-tengah Tanah Deli, Boy Eddy hanya terlihat membisu seribu bahasa. Dia sama sekali tidak bicara. Tatapan mata tampak begitu dingin; raut wajah tampak begitu kaku; dan sekujur tubuhnya seakan-akan membeku di tempat duduknya. Dia hanya berkonsentrasi pada setir kemudinya dan pada jalanan yang ada di depannya.

Valencia duduk di samping suaminya. Sesekali, ia melihat ke kedua orang tuanya yang duduk di jok belakang. Boy baru saja pulang dari Batavia naik kapal. Boy ke Batavia menjemput ayah Valencia yang masuk penjara karena dituduh sebagai seorang pemberontak oleh orang-orang Dedrick de Groot, Terry Liandy dan Rio Augusto Wiranata. Atas permintaan Valencia, mau tidak mau Boy Eddy ke Batavia selama dua minggu dan meyakinkan pihak pemerintah Belanda di sana bahwasanya Pak Roberto Fang bukanlah seorang pemberontak. Demi menyelamatkan ayahnya keluar dari penjara, dan demi membersihkan nama baik ayahnya, Valencia sempat beradu mulut dengan suaminya dan hubungan mereka sempat mendingin selama beberapa minggu.

"Aku harap dengan kejadian ini, Ayah bisa berhenti berbisnis dengan orang-orang Dedrick de Groot, Terry Liandy dan Rio Augusto Wiranata itu. Percuma saja kan Ayah bekerja sama dengan mereka selama ini? Sekarang mereka menuduh Ayah sebagai seorang pemberontak karena mereka sudah tidak punya cara lain lagi untuk menghadapi tiga sahabat The Amazing Boys." Raut wajah Valencia juga tampak kaku nan tegang. Keriap kesal masih menggelincir di lereng pikirannya.

"Terima kasih, Boy… Terima kasih, Valencia… Kalian telah bantu membersihkan nama baikku dan menjemputku keluar dari penjara di Batavia sana." Pak Roberto menanggalkan harga dirinya dan mau tidak mau mengucapkan terima kasih kepada menantu dan anak perempuannya.

"Tidak apa-apa… Kau adalah ayah Valencia. Jadi, kau adalah orang tuaku juga. Sudah seharusnya seorang anak berbuat sesuatu yang berguna kepada orang tuanya. Itu adalah hal yang tidak perlu dibesar-besarkan." Nada suara Boy Eddy masih terdengar begitu dingin nan membekukan sumsum tulang.

Pak Roberto Fang dan Bu Fernanda Fang terdiam kemudian. Sisa perjalanan ditempuh dalam kebisuan dan kekakuan yang menggelimuni seisi mobil. Valencia juga tidak bicara lagi. Hubungannya dengan suaminya masih mendingin dan dia masih memikirkan cara bagaimana suaminya bisa kembali bicara padanya.

Setengah jam berlalu… Akhirnya mobil yang dikemudikan Boy Eddy tiba di depan pintu rumah besar Pak Roberto Fang dan Bu Fernanda Fang. Kedua suami istri tua itu turun dari mobil. Valencia juga turun dari mobil dengan maksud mengantar kedua orang tuanya masuk ke dalam rumah.

"Ayah… Ayah… Ayah masih mengharapkan kau bisa hidup bahagia, Valencia… Semoga rumah tanggamu dengan Boy bisa langgeng sampai anak cucu kalian nanti. Ayah dan Ibu takkan ikut campur ke dalam pilihan kebahagiaanmu lagi. Tapi… Jika suatu saat nanti kau membutuhkan bantuan, jangan sungkan-sungkan ke sini mencari Ayah dan Ibu," kata Pak Roberto Fang dengan nada pelan dan datar.

"Ayah dan Ibu akan senantiasa membantumu, Valencia," sahut Bu Fernanda Fang sedikit lirih.

Valencia mengangguk. Segelintir air mata gelingsir di pelupuk mata Valencia.

"Yang kukhawatirkan sekarang adalah Xavier, Yah, Bu… Dia masih kecil…"

"Kau dan Boy akan selamat dari semua ini, Valencia… Kalian akan selamat dan hidup berbahagia sampai anak kalian besar, sampai kalian tua nanti. Jangan memikirkan hal yang tidak-tidak, Valencia… Jika kau sudah memilih, kau harus maju terus, dan tidak boleh menoleh ke belakang lagi." Keriap duka mulai berkerumun dalam padang pikiran Pak Roberto Fang.

"Aku hanya berpikir sampai suatu kemungkinan yang terburuk, Yah… Jika… Jika… Jika memang aku dan Boy tidak bisa selamat nanti, aku berharap… berharap Ayah dan Ibu bisa menggantikan kami membesarkan Xavier. Dia masih kecil… Bagaimanapun juga, dia membutuhkan kasih sayang kedua orang tuanya. Aku tidak ingin dia menjadi korban konflik sosial. Aku ingin dia tumbuh normal seperti anak kecil lainnya. Bisakah… Bisakah Ayah dan Ibu berjanji padaku?" Kelumun getir merecik duka dan nestapa di perbukitan pikiran Valencia.

Mau tidak mau pasangan suami istri Fang menganggukkan kepala mereka. Mereka melambaikan tangan kepada anak perempuan mereka dan masuk ke dalam rumah. Valencia juga melambaikan tangannya kepada kedua orang tuanya. Firasat buruk masih menyelangkupi muara batinnya.

Valencia kembali ke dalam mobil. Boy menginjak pedal gas. Mobil perlahan-lahan meninggalkan halaman rumah besar keluarga Fang.

Ketidakberdayaan melaung dalam tudung sanubari Pak Roberto Fang dan Bu Fernanda Fang. Entah kenapa, mereka juga berfirasat sesuatu yang buruk akan terjadi. Kehidupan ini yang begitu tidak pasti selalu menyisakan tanda tanya dan misteri besar bagi umat manusia…

Pak Roberto Fang menghela napas panjang lagi. Penampilannya terlihat begitu lunyai nan kusam; dirinya tampak begitu capek nan tak bertenaga, begitu lemah nan tak berdaya. Manusia sungguh tak kuasa melawan nasib.

***

Tanah Deli, awal Maret 1934

Beberapa minggu berlalu sudah… Pagi ini, keadaan masih sama dalam rumah Boy Eddy dan Valencia. Boy Eddy masih sedikit bicara dengan sang istri. Dia masih sedikit sakit hati pada sang istri soal perkara mengeluarkan Pak Roberto Fang dari penjara di Batavia waktu itu.

Valencia keluar dari kamarnya… Tampak sang suami menggendong Xavier dan memberinya susu secara perlahan-lahan. Xavier terlihat sangat menikmati susu yang diberikan oleh sang ayah.

"Xavier ketika sudah besar nanti mau jadi apa?" tanya Boy Eddy sambil tersenyum cerah nan lebar di depan sang anak. Xavier yang melihat senyuman lebar sang ayah, juga ikut meringis.

"Xavier harus jadi anak yang pintar ya… Sesudah besar nanti, Xavier harus sepintar Ayah supaya bisa menemukan gadis pendamping yang secantik dan sehebat Ibu. Tahu ya…?" kata Boy Eddy lagi. Entah kenapa, Valencia merasa semacam ada perasaan yang tidak enak mendengar pesan Boy Eddy kepada anaknya itu. Semacam ada salam perpisahan dan pesan terakhir seorang ayah kepada anaknya sebelum si ayah berangkat ke suatu tempat dan tak pernah kembali lagi.

Valencia berjalan menghampiri sang suami dan anaknya.

"Aku sudah mau ke klub 3P… Kau bisa meneruskan menyusuinya?" tanya Boy Eddy kepada istrinya dengan nada datar.

Valencia menerima Xavier dan merengkuhnya ke dalam gendongannya. Si anak mulai menangis.

"Ayah pergi kerja dulu… Xavier tidak boleh menangis ya…" kata Boy Eddy sambil mencolek dan menggelitik-gelitik sebentar badan anak lelakinya sebelum akhirnya ia berjalan ke arah pintu depan.

"Xavier tidak boleh menangis… Ayah lagi pergi kerja. Sepulangnya dari kerja nanti, Ayah akan membelikan susu yang lezat buat Xavier… Xavier jangan menangis ya…" kata Valencia lemah lembut, berusaha menenangkan si anak supaya tidak menangis lagi.

Saat tangan sang suami sudah meraih tangkai pintu, dan saat pintu depan sudah dibuka, Valencia memanggil lagi nama sang suami,

"Boy…"

Boy Eddy berpaling dan menatap istrinya dengan sorot mata ganjil.

"Ada apa? Ada yang mau kautitip aku beli saat pulang kerja nanti?"

Valencia menggeleng lembut. "Cepat pulangnya… Xavier dan aku menunggumu di rumah."

Boy Eddy tersenyum simpul sambil menganggukkan kepalanya. Dia keluar dan akhirnya menghilang dari pandangan mata istri dan anaknya. Pintu kembali ditutup dengan perlahan di belakang punggungnya.

Gelisah kembali menggelimuni pucuk hati Valencia. Pada tengah hari, Valencia mendengar suara tembakan pistol dan senapan yang beruntun di tengah-tengah kota Tanah Deli. Takut segera menyalib, tanda tanya tanda seru segera meragas tudung sanubari, dan gamang segera menyelisir tepian pantai pikiran Valencia.

Valencia segera bersiap-siap. Dia berganti pakaian dan mendandani dirinya dengan cantik. Dia mengumpulkan segala perlengkapan Xavier dalam satu tas. Dia menggendong Xavier dan segera bergegas ke rumah orang tuanya.

***

"Ada apa ini? Kok tiba-tiba…?" pertanyaan Pak Roberto Fang terhenti seketika tatkala dia melihat gelingsir air mata sang anak perempuan di hadapannya.

"Ada apa, Valencia? Ada apa-apa, kau bisa bicarakan dengan kami. Kami akan berusaha membantumu…" kata Bu Fernanda Fang merasa sungguh terperengah.

"Ayah dan Ibu masih ingat janji Ayah dan Ibu padaku kan? Jika… Jika terjadi sesuatu padaku dan pada Boy, Ayah & Ibu akan menggantikan kami merawat dan membesarkan Xavier. Apakah… Apakah… Apakah aku bisa menitipkan Xavier ke sini, Yah, Bu?" air mata terus menganak sungai dari kedua bola mata Valencia.

Valencia mendekap Xavier ke dalam dekapannya sekali lagi, suatu salam perpisahan dari seorang ibu kepada anaknya. Anak itu tiba-tiba saja menjerit dalam tangisan tidak berdaya ketika ia berpindah tangan dari sang ibu ke sang nenek. Air mata Valencia terus bercucuran. Dia sungguh tidak berdaya menyagang takdir. Dia mundur perlahan selangkah demi selangkah.

Maafkan Ibu, Xavier… Maafkan Ayah… Maafkan kami berdua… Bukan berarti kami tidak sayang padamu. Namun, ada kekuatan lain yang jauh lebih kuat, yang telah memisahkan kita. Jika ada kesempatan mendatang, jika ada kesempatan di kehidupan mendatang, kami masih ingin menjadi orang tuamu, Nak… Kami akan menebus segala utang waktu dan perhatian yang tidak sempat kami berikan kepadamu di kehidupan ini…

"Ada apa sebenarnya?" Dahi Pak Roberto Fang berkerut dalam.

"Aku ada firasat buruk, Yah… Aku berfirasat sesuatu yang buruk terjadi pada Boy di klub 3P. Aku akan ke klub 3P guna melihat apa sebenarnya yang tengah terjadi pada Boy. Aku tidak bisa meninggalkannya sendirian, Ayah. Aku harus berada di sampingnya sekarang…"

"Namun, ke klub 3P itu membutuhkan waktu hingga setengah jam. Kau naik apa ke sana? Lagipula, jika memang terjadi sesuatu di sana, kau ke sana sendirian begini… Itu sangat berbahaya, Valencia…" kata sang ayah.

Valencia terus menggeleng-gelengkan kepalanya dengan sejuta bulir air matanya yang menganak sungai. Dia semakin mundur dan semakin mundur… Akhirnya ia mencapai pintu depan. Ia membuka pintu depan dan menerjang keluar. Sama sekali tidak terlihat lagi…

"Kembali, Valencia… Kembali, Valencia… Kau tidak boleh ke 3P, Nak… Di sana sangat berbahaya… Valencia…" terdengar jeritan dan lolongan Bu Fernanda yang berlari keluar rumah mengejar anak perempuannya sambil menggendong cucu laki-lakinya.

Tangisan Xavier Wangsa terus berkumandang… Anak itu sedikit banyak memiliki ikatan batin dengan kedua orang tuanya. Dia tahu selamanya dia takkan bisa bertemu dengan kedua orang tuanya lagi. Beginilah hidup… Pertemuan datang sekonyong-konyong… Perpisahan datang mendadak… Pertemuan dan perpisahan bagai misteri abadi yang takkan pernah terpecahkan. Tidak ada remedinya… Hanya saling menghargai, saling mencintai, dan saling menyayangi yang bisa menjadi obat dalam misteri abadi ini…

Bu Fernanda berjongkok ke tanah halaman rumahnya sembari meledak dalam tangisan dan lolongannya yang berkepanjangan – tiada pangkal, tiada ujung…

Pak Roberto meraih istri dan cucu laki-lakinya ke dalam dekapannya. Air mata gelingsir di pelupuk matanya. Untuk pertama kalinya, Pak Roberto Fang meledak dalam isak tangis yang mendayu-dayu nan tersedu-sedu.

"Valencia pasti belum jauh, Roberto… Dia pasti hanya naik becak tarik ke klub 3P itu. Kita masih sempat mengejarnya…" kata Bu Fernanda Fang di tengah-tengah kesadaran dan kepanikannya.

"Bagaimana kita bisa mengejarnya, Fernanda? Mobil masih berada di bengkel dan minggu depan baru bisa kita ambil…" kata Pak Roberto sedikit lirih.

"Naik becak tarik saja… Naik becak tarik saja, Roberto… Apa kau ingin menyaksikan kematian anak perempuanmu? Apa kau ingin anak perempuanmu mati sia-sia dalam keganasan konflik sosial?" nada suara Bu Fernanda Fang naik beberapa oktaf.

Mau tidak mau Pak Roberto menuruti kemauan istrinya. Dia memanggil satu becak tarik. Bu Fernanda Fang langsung naik ke atas becak tarik, masih sambil menggendong Xavier Wangsa, cucu laki-lakinya. Pak Roberto Fang terpaksa juga ikut istrinya naik ke atas becak tarik.

Bu Fernanda Fang menyebutkan alamat bangunan klub 3P tanpa menawar harga lagi. Dia suruh si tukang becak tarik tersebut mempercepat laju becaknya supaya dia bisa sampai di bangunan klub 3P lebih dulu sebelum Valencia.

Tampak becak melaju dengan kencang di sepanjang sisi Sungai Deli dan akhirnya tampaklah jalan besar di depan.

"Lebih kencang, Bang! Lebih kencang lagi! Aku ingin tiba di klub 3P sebelum putriku!" terdengar Bu Fernanda Fang sedikit berteriak.

Si tukang becak tarik sedikit menoleh ke belakang dan hanya menganggukkan kepalanya.

"Bersabarlah, Fernanda… Kita akan segera sampai," kata sang suami menenangkan.

"Kita harus tiba di sana lebih dulu sebelum Valencia, Roberto… Aku tidak ingin dengan mata bulat-bulat menyaksikan Valencia masuk ke dalam bangunan klub 3P dan mengantar nyawanya. Aku tidak ingin Valencia menghadapi kematiannya hanya demi cintanya terhadap ayah anak ini. Setidaknya, jika ayahnya tidak bisa selamat, ibunya bisa selamat. Jika tidak, kelak anak ini akan menjadi anak yatim piatu, Roberto…" terdengar Bu Fernanda menangis sesenggukan di dalam becak tarik tersebut.

Pak Roberto hanya bisa merengkuh sang istri dan cucu laki-lakinya ke dalam pelukan. Tangisan Xavier Wangsa masih terdengar sesekali.

Becak tarik sudah mencapai jalan besar yang ada di depan sana. Tampak sebuah jembatan besar yang melintang di atas Sungai Deli. Si tukang becak tarik tidak memperhatikan kondisi jalan besar lagi. Dia main menyeberang begitu saja, karena penumpangnya sudah memintanya cepat-cepat dan mereka harus tiba di tempat tujuan secepat mungkin. Dari arah berlawanan, datanglah sebuah mobil juga dengan kecepatan yang tinggi.

Alhasil, tabrakan tidak terhindarkan lagi. Jeritan Pak Roberto dan Bu Fernanda Fang lenyap seketika seiring dengan suara tabrakan yang begitu keras. Semua orang yang kebetulan lewat di jalan besar itu terhenyak kaget seketika menyaksikan tubuh tiga orang terhempas jauh beserta dengan becak tariknya. Becak tarik tersebut jatuh menghantam jalanan dan hancur seketika. Si tukang becak tarik terhempas melewati jembatan dan akhirnya jatuh di pinggiran sungai dengan kepalanya yang tepat menghantam ke bebatuan yang ada di pinggiran Sungai Deli. Dia tewas seketika dengan darah merah segar yang segera bercucuran dari mata, mulut, hidung, dan telinganya. Tampak sebagian tubuhnya terendam ke dalam Sungai Deli.

Tubuh Pak Roberto Fang juga terlihat terhempas jauh. Kepalanya langsung mencapai pagar jembatan besar. Tampak ia terkulai kaku dalam posisi telungkup dengan sepasang matanya yang membelalak hampa. Darah merah segar segera menodai pagar jembatan dan sebagian tanah jalanan yang ada di sekitar pagar jembatan.

Tubuh Bu Fernanda Fang juga terhempas jauh. Ya Tuhan… Jika memang aku tidak selamat kali ini, setidaknya Engkau selamatkan anak ini… Anak ini tidak bersalah… Dia tidak bersalah… Dia tidak meminta untuk dilahirkan di tengah-tengah era keganasan konflik sosial seperti ini… Selamatkanlah dia, Ya Tuhan…

Bu Fernanda Fang memeluk dan mendekap erat cucu lelakinya. Tak lama kemudian, dia merasakan suatu nyeri tak terperikan pada kepalanya. Darah merah segar segera bercucuran dari mata, hidung, mulut, dan telinganya. Dunianya sudah gelap dan dia tidak bisa merasakan apa-apa lagi setelah itu. Tampak dari atas jembatan, tubuh Bu Fernanda Fang sudah terbaring telentang di bantaran sungai dengan sepasang matanya yang setengah terbuka dan setengah tertutup. Akan tetapi, Xavier Wangsa yang sejak tadi berada dalam dekapan neneknya masih selamat. Dia tidak menderita luka sedikit pun. Terdengar tangisannya yang berkumandang ke segala arah karena shocked terhempas dari atas jembatan ke bantaran sungai dengan jarak yang cukup tinggi.

"Kecelakaan! Kecelakaan! Panggil ambulans! Panggil ambulans! Panggil polisi!" terdengar teriakan beberapa masyarakat sekitar Sungai Deli yang menyaksikan kecelakaan tersebut.

Nyonya Gladys Yiandra kebetulan lewat di jembatan besar Sungai Deli dalam perjalanannya pulang dari mengajar memasak di sebuah restoran. Dia juga terhenyak kaget melihat ada darah di pagar jembatan dan sesosok tubuh yang terbaring telungkup di samping pagar jembatan. Dia menyuruh becaknya berhenti sebentar dan segera turun dari becak. Dia menutupi mulutnya dengan kedua tangannya tatkala dia melirik ke pemandangan yang ada di bawah jembatan.

"Ada bayi kecil… Kita harus menyelamatkan bayi itu… Kasihan dia… Kedua orang tuanya tewas begitu saja dan meninggalkan seorang bayi kecil di pinggiran sungai…" terdengar suara beberapa anggota masyarakat yang mengira Pak Roberto Fang dan Bu Fernanda Fang adalah kedua orang tua dari Xavier Wangsa.

Nyonya Gladys mengikuti beberapa anggota masyarakat turun ke bantaran Sungai Deli. Dari jarak dekat, dia bisa melihat kalung warna hijau yang biasa dikenakan oleh Xavier Wangsa tatkala kedua orang tuanya membawa anak itu ke rumahnya.

"Astaganaga! Xavier…! Xavier!" teriakan Nyonya Gladys langsung berkumandang tatkala dia bisa mengenali anak itu. Dengan sigap, dia menggendong Xavier Wangsa yang masih menangis ke dalam dekapannya.

"Ibu kenal dengan anak ini?" tanya salah seorang anggota masyarakat.

"Saya kenal dari kalung yang ia kenakan… Kalung warna hijau, Pak… Saya kenal dengan kedua suami istri yang meninggal ini juga. Mereka adalah orang tua dari teman anak saya. Saya heran kenapa anak ini bisa bersama kakek neneknya, dan bukan dengan ayah ibunya…" kata Nyonya Gladys Yiandra sedikit terperengah.

"Oke… Berarti Ibu adalah kenalan dekat anak ini ya…? Oke… Ibu ini bisa menyerahkan anak ini kembali kepada kedua orang tuanya dan mengabari mereka bahwasanya kakek nenek anak ini sudah meninggal karena kecelakaan. Ayo… Kita kembali ke atas dan tunggu sampai ambulans datang…" kata salah seorang anggota masyarakat yang agak senior.

Nyonya Gladys kembali mendekap Xavier Wangsa ke dalam pelukan kehangatannya. Dia bergerak menjauh dari mayat Bu Fernanda Fang yang sudah tidak bergeming tersebut. Sedikit air mata terbit di pelupuk mata Nyonya Gladys. Ada di mana Boy dan Valencia sekarang? Apakah… Apakah mereka tahu kedua orang tua Valencia sudah tewas karena kecelakaan dan Xavier ini hampir saja ikut meregang nyawa karena kecelakaan barusan? Aku tidak tahu di mana rumah Boy dan Valencia… Lebih baik aku bawa Xavier pulang dulu ke rumah. Nanti Jacky atau Ivana yang mengembalikan anak ini kepada kedua orang tuanya.

Setengah jam kemudian, Nyonya Gladys tiba di rumahnya. Akan tetapi, di rumahnya sendiri juga kosong melompong. Hanya terdengar tangisan cucu lelakinya sendiri dari dalam kamar. Nyonya Gladys cepat-cepat menengok ke dalam kamar. Tampak sang cucu lelaki sedang berbaring sendirian dalam keranjang bayi. Dia membaringkan Xavier Wangsa ke tempat tidur di samping keranjang bayi, dan menggendong cucu lelakinya sendiri guna menenangkan anak itu.

"Kasihan si Xavion ini… Sini… Sini sama Nenek… Xavion jangan menangis lagi ya… Xavion pasti terkejut ya karena ditinggal tiba-tiba di rumah seperti ini? Iya ya…? Ayah lagi mengajar les di luar sana… Ibu keluar sebentar… Mungkin ada sedikit keperluan, Xavion… Xavion jangan menangis lagi ya… Sebentar lagi, Ayah dan Ibu pulang…" kata Nyonya Gladys sembari menimang Xavion Yiandra. Memang nama ketiga anak tiga sahabat The Amazing Boys semuanya berawalan huruf X, karena tiga sahabat The Amazing Boys menginginkan nama-nama yang lain daripada yang lain untuk ketiga anak lelaki mereka.

Ke mana Ivana? Bukankah tadi jam sepuluh ketika aku berangkat mengajar dia masih ada di sini bermain-main dengan Xavion? Sekarang kok mendadak tidak ada? Main meninggalkan anaknya sendirian di rumah tanpa pesan lagi… Ada apa ini…? Tidak biasanya Ivana seperti ini… Sekelumit pikiran buruk segera menyelangkupi tudung sanubari Nyonya Gladys Yiandra.

Sampai dengan jam dua siang hari, Jacky dan Ivana juga belum muncul di rumah mereka. Akibatnya, Nyonya Gladys serasa memiliki dua cucu lelaki. Xavier Wangsa dan Xavion Yiandra terus menangis tanpa henti. Nyonya Gladys terus diberondong oleh pikiran buruknya sendiri. Seiring dengan berjalannya waktu, pikiran buruk mulai menjelma menjadi sebentuk kecemasan dan kekhawatiran.

Sedikit khawatir dan gulana bergelitar di padang sanubari Nyonya Gladys Yiandra.

***

Masih di hari yang sama… Namun, waktu dimundurkan sampai ke pagi harinya ketika tampak Jacky Fernandi bermain-main dengan anak lelakinya dan istrinya sedang menyiapkan sarapan mereka sekeluarga di dapur. Sesekali tampak istrinya menyeka ekor matanya sendiri yang berair.

"Xavion… Xavion… Nama adik siapa? Namaku Xavion… Xavion Yiandra…" kata Jacky Fernandi bercanda dengan anak lelakinya. Melihat senyuman sang ayah yang begitu cerah nan bersemangat, sesekali si anak juga melemparkan senyuman imutnya. Tampak jelas garis wajah si anak dan si ayah mirip betul.

Melihat sang istri sedang menyusun peralatan makan di meja makan, Jacky Fernandi menggendong anak lelakinya ke bagian belakang rumah mereka dan mendekatkan anak itu kepada ibunya.

"Lihat nih… Ibu sedang memasak sarapan mi pansit buat kita… Mi pansit buatan Ibu paling enak sedunia… Xavion mau makan mi pansit buatan Ibu?" celetuk Jacky Fernandi dengan nada candaan.

Mau tidak mau Ivana tersenyum juga. Dia mendaratkan satu kecupan mesra ke kening anaknya. Xavion Yiandra mungkin merasa geli dikecup mesra oleh ibunya secara tiba-tiba seperti itu. Dia meledak dalam tawa gelinya.

"Xavion baru minum susu tadi, Ayah…" senyuman geli Ivana masih terus berlanjut. "Jelas-jelas kau tahu dia masih belum bisa makan makanan berat. Nanti dia ngiler dan ingin makan, aku ingin lihat bagaimana kau bisa membohonginya supaya dia tidak makan."

Jacky Fernandi meledak dalam tawa renyahnya. "Xavion masih belum bisa makan ya…? Minum susu tadi sudah kan?"

Tampak Xavion Yiandra menguap beberapa kali.

"Xavion mengantuk ya…? Kemarin malam asyik terbangun beberapa kali ya… Ayo… Xavion tidur lagi ya… Ayah akan menemani Xavion sampai tidur ya… Xavion harus banyak tidur, supaya kelak bisa tumbuh menjadi anak yang sepintar dan sehebat Ayah. Habis itu, baru bisa menemukan satu gadis pendamping yang secantik dan sehebat Ibu. Oke ya…?" masih terdengar nada gurauan Jacky Fernandi ketika ia menimang-nimang anaknya dan membawanya masuk kembali ke dalam kamar.

Ivana meneruskan memasaknya. Dia merebus mi, menyiapkan kuahnya, menyiapkan sayur-mayur dan lauk-pauknya. Tampak Nyonya Gladys Yiandra belum bangun karena waktu masih menunjukkan jam setengah tujuh pagi, jadi Ivana sendiri yang mengerjakan semua itu.

Lima belas menit berlalu. Jacky Fernandi keluar dari kamar. Anaknya sudah terlelap. Dia menghampiri sang istri dari belakang. Dua lengan yang kekar nan bedegap tampak melingkar di pinggang Ivana dari belakang. Ivana tersenyum lembut. Dia menghentikan pekerjaannya sejenak dan berpaling ke belakang. Kini ia berdiri berhadap-hadapan dengan sang suami.

"Aku… Aku… Aku sangat berterima kasih padamu karena kau ingin menerimaku ke dalam hidupmu, Jack…" kata Ivana merebahkan kepalanya ke dada sang suami. Kemudian, dia mengangkat kepalanya lagi dan memegangi kedua belahan sang suami.

"Justru aku dong yang berterima kasih padamu karena telah mau menerimaku yang bukan siapa-siapa ini ke dalam hidupmu. Kau menolak Rio Augusto dengan sejumlah persyaratannya yang jauh lebih baik daripada aku dan memilih menghabiskan hidupmu bersamaku, yang jelas-jelas adalah seorang… seorang pemberontak…" tukas Jacky Fernandi dengan sedikit raut wajah masam. Dia membuang pandangannya ke sisi lain dari ruangan dapur tersebut dengan sorot mata menerawang.

Ivana mengecup mesra bibir sang suami. Dia terlihat tersenyum lembut sembari masih memegangi kedua belahan pipi sang suami.

"Kau terlalu rendah hati. Kau sendiri yang tidak bisa melihat dan menyadari kelebihan apa yang kaumiliki dibandingkan dengan Rio Augusto itu."

"Kelebihan apa memangnya yang kumiliki?" tanya Jacky Fernandi dengan sebersit senyuman kecut.

"Banyak dong… Justru itulah kau menjadi sangat rendah hati di depan mataku, dan hal itulah yang membuatmu terlihat sangat spesial," celetuk Ivana.

"Aku hanya seorang guru les, mengajar beberapa murid privat di rumah, dan di beberapa tempat di luar. Selain itu, aku hanya sibuk dengan kegiatan korespondensiku dengan beberapa teman yang ada di Tanah Aceh, Tanah Padang, dan di Batavia sana. Dibandingkan denganku, jelas Rio Augusto memiliki sejuta keunggulan yang lain, Ivana. Ayahnya ada banyak usaha: usaha tekstil sedikit, usaha garam, usaha kopi, teh, dan bahkan usaha tembakau. Dia adalah anak tunggal lagi. Jika seandainya kau menikah dengannya, tentu saja sebagian usaha ayahnya itu akan menjadi milikmu juga," kata Jacky Fernandi meledak dalam tawa renyahnya.

"Sekarang aku mau bersamanya juga sudah terlambat kan?" kata Ivana dengan nada bergurau.

"Tentu saja, Sayang…" Jacky Fernandi meraih sang istri ke dalam pelukan kehangatannya. "Aku sudah meninggalkan cap stempelku di dalam sana. Kau tidak bisa meninggalkanku lagi."

Ivana tersenyum nakal. "Aku takkan lari, Sayang… Selamanya aku akan berada di sisimu. Apakah kau ingin aku pergi? Tidak kan?"

Jacky Fernandi menggeleng manja, "Tidak…"

"Oke… Aku anggap itu sebagai janjimu ya… Jangan pernah menolakku ya… Kau takkan bisa menolakku lagi. Kau akan terus mengizinkanku menemanimu."

Jacky Fernandi mengangguk manja lagi.

Ivana tersenyum puas. Dia meneruskan pekerjaannya. Kuah tinggal dipanaskan. Mi tinggal direbus. Dia tinggal memindahkan segala sayur-mayur dan lauk-pauk ke piring makan masing-masing sebelum akhirnya sarapan pagi bisa dihidangkan.

Sepuluh menit berlalu. Tercium aroma semerbak dari ruang makan ketika Jacky Fernandi dan Ivana terlihat menikmati sarapan mi pansit mereka.

"Ibu belum bangun? Perlu kubangunkan?" tanya Ivana lembut.

"Tidak usah… Cukup sisakan saja makanan, Ivana… Begitu Ibu bangun nanti, dia sudah bisa langsung sarapan. Kemarin malam Ibu juga mengajar memasak sampai dengan jam sepuluh lewat. Cukup melelahkan juga…" kata Jacky Fernandi sambil terus menyantap mi pansitnya dengan lahap.

"Makanya itu kau jangan makan terlalu banyak, Jack. Nanti jatah Ibu jadi tidak ada loh."

"Kan kau bisa masakkan lagi… Masih ada stok persediaan mi tambahan tuh di kulkas kulihat."

Ivana hanya merapatkan bibirnya. Dia meneruskan sarapannya.

"Oke, Ivana Sayang… Aku sudah siap. Mau ke klub 3P dulu ya… Ada sedikit rencana perlindungan diri yang akan kubahas dengan Boy di sana," kata Jacky Fernandi langsung berdiri dari tempat duduknya.

Sang suami langsung menanggalkan baju kotornya sambil melangkah ke kamar mandi. Baju kotor dimasukkan ke dalam sebuah ember besar yang memang sengaja Ivana letakkan di samping kamar mandi. Begitu hendak melangkah ke dalam kamar mandi, sang suami bisa langsung menanggalkan baju kotornya dan memasukkannya ke dalam ember.

Ivana membereskan meja makan. Terdengar suara air mengguyur di dalam kamar mandi. Sejurus kemudian, tampak Jacky Fernandi sudah siap dengan pakaian model China klasik dengan warna merah yang sangat khas. Ivana mengulum senyumannya. Memang sang suami adalah penyuka warna merah yang loyal.

"Aku pergi dulu, Ivana Sayang… Mau kautitipkan aku beli sesuatu sepulangnya siang nanti?" tanya sang suami.

Ivana hanya menggeleng. Dia kembali merengkuh sang suami ke dalam pelukannya dan mendaratkan satu kecupan mesra ke bibir sang suami.

"Cepat pulang saja, Jack… Aku akan selalu menunggumu. Bisa saja… Bisa saja… Bisa saja aku mendahului langkah-langkahmu, tapi kau harus tahu… Meski aku sudah keduluan berada di depan, aku akan selalu menunggumu menyamakan langkah-langkah kita-kita. Aku ingin kau berjalan di sampingku, Jack. Kau mengerti kan?" Ivana memejamkan sebentar matanya. Rinai air mata bergulir turun dari kelopak mata.

Jacky Fernandi mengangguk. Semacam firasat, ini akan menjadi perjumpaan mereka yang terakhir. Semacam ada firasat, ini akan menjadi terakhir kali dia bisa berada dalam pelukan istrinya. Semacam ada firasat, ini akan menjadi terakhir kali dia berdiri berhadap-hadapan dengan sang istri.

Jacky Fernandi menganggukkan kepalanya. Tampak air mata gelingsir di pelupuk mata. Jacky Fernandi memejamkan matanya sejenak. Air mata bergulir turun dari pelupuk mata.

Ya Tuhan… Apakah ini perjumpaan terakhir kami? Apakah kami bisa bertemu lagi di kehidupan mendatang? Adakah kehidupan mendatang itu? Jika seandainya ada kehidupan mendatang itu, perkenankanlah aku menjadi suaminya lagi. Aku akan mencintainya selamanya… Aku akan terus berada di sisinya. Aku akan terus melangkah bersamanya. Izinkanlah doaku ini menjadi kenyataan.

Jacky Fernandi membuka pintu depan. Sambil melemparkan sebersit senyuman simpul kepada istrinya, dia melangkah keluar. Pintu berayun menutup kembali.

Tinggallah Ivana seorang diri di ruang tamu. Dia memandang ke sekeliling ruang tamu. Dia mau melihat ruang tamu ini untuk yang terakhir kali. Sambil tersenyum sumbang, Ivana membiarkan air matanya terus bergulir turun dan membasahi kedua belahan pipinya.

Beginikah firasat seseorang yang akan menemui pintu kematiannya sendiri? Orang itu akan tahu waktunya tidak bakalan lama lagi di dunia ini. Dia akan mempersiapkan segala sesuatu dengan baik, termasuk dirinya sendiri. Apa yang kurasakan sekarang…? Takut…? Bimbang…? Aku bahkan sudah tidak bisa mengenali perasaanku lagi sekarang. Namun yang jelas, aku tidak menemukan adanya penyesalan dalam perasaanku. Aku akan maju terus karena aku tahu aku tak bakalan bisa mundur lagi…

Terdengar isakan tangis si anak dari dalam kamar. Ivana ke kamar dan menggendong anaknya sebentar. Didekapnya Xavion Yiandra ke dalam pelukannya – suatu pelukan yang terakhir. Kali ini, terlihat air mata menganak sungai dan deras mengguyur turun membasahi kedua pipi Ivana dan sebagian dari wajah Xavion Yiandra.

Maafkan Ibu, Nak… Maafkan Ayah… Jika seandainya ada kehidupan mendatang, Ayah & Ibu tetap mau menjadi kedua orang tuamu. Ayah dan Ibu akan selalu memperhatikan dan menjagamu dari atas sana. Sampai jumpa, Xavion… Sampai jumpa di kehidupan berikutnya… Ayah & Ibu akan selalu menantikan pertemuan kita yang berikutnya di kehidupan mendatang.

Ivana meletakkan kembali anaknya ke dalam keranjang bayi setelah tangisan anak itu sudah agak mereda.

Ibu… Ibu… Aku harap Ibu bisa membesarkan Xavion, menggantikan Jacky dan aku… Aku akan sangat berterima kasih pada Ibu. Meski tanpa Jacky dan aku, aku berharap Xavion bisa tumbuh besar menjadi anak yang sehat, berbakti dan berguna baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang-orang di sekelilingnya. Semoga Xavion bisa menemukan impiannya sendiri dan bisa mewujudkan impiannya itu. Itulah satu-satunya harapan kami di sini…

Ivana berlalu meninggalkan anaknya selangkah demi selangkah. Air mata masih terus menganak sungai. Terlihat kedua bahu Ivana sudah berguncang lembut, mengiringi irama tangisannya yang tersedu-sedu.

Kehampaan dalam hidup… Ketidakberdayaan dalam hidup… Jelas manusia tak kuasa menyagang takdir. Namun, aku tidak menyesal. Seandainya ada kehidupan mendatang, aku akan bertemu dengan Jacky lagi dan kami tetap akan jatuh cinta seperti dalam kehidupan yang sekarang. Aku akan terus mencari dari satu kehidupan ke kehidupan yang berikutnya. Ini bukanlah akhir dari segalanya… Ini justru akan menjadi awal dari kehidupan baru yang penuh dengan harapan, impian, dan penantian…

Ivana melangkah semakin mundur dan semakin mundur. Ia akhirnya keluar dari kamar tidurnya. Ia menutup pintu kamar tidur secara perlahan.

Pada tengah hari, Ivana mendengar suara-suara tembakan pistol dan senapan di tengah-tengah kota Tanah Deli. Ivana tahu sudah saatnya dia keluar, bergegas menuju ke klub 3P dan mengakhiri segalanya. Penghakiman akan segera datang – harus dihadapi, bukan dihindari…