webnovel

Pria di Dalam Gelap

Malam kelam. Gerimis turun satu-satu, dan cahaya kilat membentuk sebuah sosok. Sosok seorang pria terseok di antara sepinya hutan. Yang menemaninya hanya sebuah cahaya dari flash gawai yang dikalungkan di lehernya. Tangannya sendiri sibuk menggeret muatan seberat 60 kg seorang diri.

Ini sudah jadi kebiasaannya. Ia melakukan hal ini selama lebih kurang sepuluh tahun. Tak ada yang tahu tentang pekerjaannya. Yang orang-orang tahu pria itu seorang tuna wicara yang akan melakukan apapun yang menurutnya bisa memuaskan dirinya.

Galih namanya. Orang di sekitarnya tak begitu mempedulikan, dan cenderung lupa siapa namanya. Ia tak tahu hukum, ia tak paham norma. Yang ia tahu, ia harus membersihkan sisa kejahatan yang berdarah-darah ini setiap kalinya.

Pagi tadi ia mengirim satu kotak sepatu berisi telinga. Pemiliknya berteriak keras saat telinga itu hilang, ia lalu membekapnya dan membuangnya ke tengah hutan. Membiarkan ia mati sendirian. 

Kali ini sekarung lagi mayat ia bawa dari pinggiran kota sebelum berbau busuk. Tak ada yang seberat hidupnya, jadi sisa kejahatan dengan berat 60 kilogram bukanlah apa-apa.

Di tengah hutan yang sekelam malam itu, ia membuat sebuah lubang dengan dalam dua meter, menggelindingkan karung yang ia bawa, dan menguburnya dalam kegelapan. Satu lagi pekerjaannya selesai.

Beranjak lebih jauh dari pria mencurigakan di tengah hutan. Kali ini kita menuju rumah Mira, janda cantik yang membantuku untuk dapat hidup layak.

Mira tengah mencermati isi naskah yang isinya banyak berubah. Ada kuduk yang berdiri saat ia membaca isinya yang jauh lebih seram dari naskah pertama. Itu menjadi pertanda, bahwa aku sukses memancing reaksinya. 

"Pria ini psikopat." bisiknya, merujuk kepadaku. Namun berkat apa yang sudah ku tulis, Mira tanpa sadar memposisikan diriku sebagai talenta yang tak boleh ia sia-siakan. Maka, setelah tiga lembar naskah selesai ia baca, ia lantas mengirim panggilan vidio ke gawaiku.

"Ya, Mir. Ada apa?" ia melihat tubuhku yang masih terlihat segar di tengah malam yang bercuaca buruk.

"Kau luar biasa gila." Mira menepukkan tangannya. "Kau mau yang lain juga di ubah?"

Aku sengaja mengaitkan tangan ke depan dada, sebagai gerak tubuh bahwa aku bangga dengan diriku. "Aku akan memikirkannya nanti." jawabku singkat.

Ada jeda panjang dalam panggilan itu, "Aku penasaran dengan para penulis horror," gumam Mira. "Apa ada yang salah dengan otak kalian? Kalian begitu nyata saat menakuti, membunuh dan bertingkah seakan tak ada yang terjadi keesokan harinya."

Aku tersenyum. "Kau mau bilang kalau aku sudah tak waras?" Mira tak menjawab. "Anggaplah aku tak waras. Tapi kau harus bersyukur karena aku masih menjaga ketakwarasanku hingga sekarang. Dan lihat! Aku menuangkan ketakwarasanku pada lembar-lembar yang bisa ku tukar dengan rupiah."

"Jadi kau mengakui kalau kau gila?" tanya Mirna. Ia terlalu pada intinya.

Aku sendiri hanya mengedikkan pundakku. Tak ada yang akan menyalahkanku. Toh sampai sekarang aku masih bersih dari segala tindak kriminal yang bisa saja ku lakukan, mengingat imajinasiku akan hal-hal yang dinilai kejam terlampau tinggi.

Aku lantas teringat tentang pesan, dan kejadian tak mengenakkan yang terjadi padaku. "Ngomong-ngomong...," ada jeda saat diriku menahan diri untuk tak bicara. Aku mengulum bibirku, dan mengurungkan niatku. "Tidak jadi. Kapan-kapan saja akan ku beritahu."

Mira curiga. "Hey! Ada apa ini? Kau membuatku bertanya-tanya."

"Lain kali saja." ujarku. 

Mira menaikkan satu alisnya. "Apa kau habis membunuh orang?"

Ada gelak tawa di ujung gawai. "Aku tak seseram itu." aku lalu berpamitan dengan alasan kantuk yang sebenarnya belum datang. Lalu daring di antara aku dan Mira berhenti.

***

Waktu menunjukkan pukul 12 siang hari. Aku duduk di belakang kemudi Corolla tuaku. Mesin mobil ini masih jinak menemaniku, walau usianya terbilang sangat tua. Aku hanya perlu memeriksakannya pada ahli setiap bulan. Namun jika sedang tidak punya cukup uang, biasanya aku meninggalkannya di garasi, dan beralih dengan sepeda.

Tapi bukan itu yang akan ku bahas kali ini. Aku sedang menunggu Sinyo anakku, dan Ayahku yang pulang dari berbelanja kebutuhan bulanan di pasar. 

"Ya, aku melihat kalian." aku melambaikan tangan saat melihat Sinyo yang hapal warna Corola tua milikku mulai melompat-lompat, dan menjerit. "Ayo mampir ke restoran cepat saji setelah ini."

Ada gerutu dari suara yang berat di ujung telepon. "Aku sudah membeli makanan untuk siang nanti. Oh sial, sebentar, ada yang ketinggalan." Ku lihat Ayahku berlalu meninggalkan Sinyo.

Aku terkejut. Aku berteriak memanggil Ayahku, namun Pria tua itu seperti sedang mengabaikan teriakanku begitu saja.

Sinyo terlihat bingung ketika kakeknya meninggalkannya seorang diri. Aku hendak mendekatinya, namun jalan yang tak punya lampu lalu lintas ini begitu padat hingga sulit untuk diseberangi.

Kegugupanku semakin menjadi kala aku melihat seorang pria bergerobak mendekati anakku. Gerobaknya yang penuh sampah menutupi tubuh kecil Sinyo. Ku lihat pria bergerobak itu seperti mendekatinya, atau dia hanya membenahi barang-barangnya dan terlihat seperti hendak melakukan sesuatu pada Sinyo.

Lalu, saat gerobak itu mulai berjalan, tubuh Sinyo sudah tak lagi nampak. Aku panik ketika pikiranku merasa bahwa pemilik gerobak tengah menculik Sinyo, akupun berusaha menerobos kumpulan kuda besi yang klaksonnya memarahiku karena sembarangan menyebrang. Aku tak peduli apapun kecuali Sinyo yang tak lagi ada di tempatnya.

Aku mencoba mengejar pria bergerobak itu, namun saat aku sudah sampai di seberang, gerobak pria itu juga ikut menghilang. Sial.

"Yah, Sinyo hilang!" sebuah panggilan udara ku tujukan pada ayahku.

"Ap..., Sin..., d...." suara putus-putus menjawabku.

"Yah...! Halo!" aku begitu kesal hingga mematikan panggilan itu.

Apa yang harus ku lakukan sekarang? Aku begitu bingung. Seseorang tengah menculik Sinyo. Semua kemungkinan bercokol dalam kepalaku. Tak ada yang lebih menakutkan daripada kehilangan seseorang yang kita cintai, bukan? Aku tahu rasanya.

Lalu aku teringat pada teman online yang belakangan membombardirku dengan hal-hal mengerikan. Dan membayangkan kepala Sinyo yang bercucuran darah membuatku sadar bahwa aku masih punya rasa kemanusiaan.

"Ryo!" suara ayahku muncul dari belakang tempatku berdiri.

"Yah, gawat!" aku hampir terdengar seperti menjerit. Lebih tepatnya, ini rasa putus asa yang hadir di saat yang tepat. "Sinyo hilang, Yah. Bagaimana ini? Ayah juga, seharusnya Ayah tak meninggalkannya sendirian, dan lihat.... "

"Kau ini mengoceh apa? Sinyo ada bersamaku."

"Apa?"

"Papa!" suara manis seorang anak wanita muncul dari balik tubuh ayahku. Senyumnya seperti menebarkan air es yang membunuh rasa panikku.

Aku lekas memeluk anak itu, memarahinya sebentar, namun menangis karena takut kehilangannya kemudian.

"Ayah seharusnya tak meninggalkannya sendirian seperti tadi." aku menyetir memasuki komplek perumahan yang tak jauh dari swalayan. Roda mobil itu berbelok saat mataku menangkap papan penunjuk jalan. "Banyak orang jahat, Yah..., dan lagi pula.... "

"Ya..., Aku salah, aku tak akan mengulanginya." Nada tak iklas itu bukan nada yang ingin aku dengar. Jadi aku terus mengomel, dan melontarkan kekesalanku.

"Oh, itu ibumu! Biarkan dia ikut pulang dengan mobil." kalimat Ayahku mengalun saat mencoba mencari cara agar aku berhenti bicara. Mobil itu lantas berhenti di depan seorang nenek berkaus biru dengan logo partai. Ia nampak jalan dengan terbungkuk-bungkuk akibat faktor usia yang tak bisa ia lawan.

"Bu, ayo pulang bersama!" Ayah mengejutkan Ibuku, dan wanita itu tersenyum dengan amat manis. Aku melihat gurat yang menunjukkan sisa cantik dari kerut-kerut di wajah itu.

Ku dengar ke dua pasangan renta itu bertukar cerita, tentang apa yang mereka lakukan, apa yang akan mereka makan, dan teman-teman mereka yang sudah banyak hilang dimakan maut. Pembicaraan biasa dikalangan sesepuh. Dan berkat itu, aku melupakan kekesalanku.

*

"Aku sedang berada di rumah orang tuaku." aku membalas rentetan pertanyaan yang diberikan Anita di jalur teleponku. "Kita bisa bertemu besok. Apa? Sekarang? Tapi..., bagaimana kalau nanti malam?" aku mengangguk meski Anita tak bisa melihat pergerakanku. "Oke, Bye." lalu sambungan telepon itu terputus.

Aku kembali ke meja makan. Mataku beradu pada tatapan Ayah.

"Kolegamu itu?" aku mengangguk, "Kau bisa dapat apa, sih, dari menulis?" Ayahku mulai memupuk tanda-tanda pertengkaran yang ku ramal akan datang sebentar lagi.

"Kenapa, Yah? Masih soal pendapatanku lagi? Tiap minggu aku dapat rupiah yang lumayan untukku hidup." aku berusaha menentang nada sinis dari mulut orang tuaku itu.

"Halah! Berapa, sih, uang yang kau miliki dari menulis?" ia mulai meninggikan nada. "Lima ratus? Sejuta? Pikir lagi, Yo...! Ada banyak pilihan pekerjaan bergaji besar, dan kau memilih untuk menulis. Bah...."

Aku nampak gusar, lalu meletakkan sendok yang baru ku gunakan sekali. "Apa Ayah tak bisa menghargai usahaku? Setidaknya aku tak menopang dagu." aku berusaha berkelit.

"Otak warasmu tak bekerja, Yo. Menulis itu apa gunanya, sih? Kerja di pabrik bata tempat ayah jauh lebih banyak rupiahnya."

"Tapi bisa buat aku stres seharian." Aku masih tak mau mengalah.

"Stres apa? Kamu hanya harus mencetak di sini, dan di sana, dan semuanya beres.  Bagaimana kau bisa bilang kalau pekerjaan ini membuatmu stres? "

Aku bangkit dari dudukku.

"Mau kemana, kamu?" Ayah menatap tubuhku yang menjauh pelan.

"Akan lebih stres kalau aku lama-lama di sini." aku berhenti sejenak, lalu berbalik, dan meletakkan kartu debitku di meja makan. "Passwordnya 110660, gunakan semau Ayah."

"Aeeee, belaga, kau, ya! Tak butuh aku kartumu. Masih miskin kau jadi penulis."

Aku mendengar teriakan itu menjauh, sejauh badanku yang ku bawa untuk berpacu pada kuda besi milikku. Tak ada yang bisa dijunjung tinggi di mata Ayahku. Semua yang ku lakukan selalu salah. Aku benci itu.

Jalan yang ku lalui terasa panjang. Umpatan dan makian yang terlontar dari si tua itu menggema, dan mengiris-ngiris jantungku. Kalau sudah begini, aku jadi berpikir, apa gunanya jika aku seram dalam torehan cerita. Aku masihlah anak cengeng yang remuk ketika beradu pendapat pada orang tua.

Ku injak rem, dan memarkir Corollaku di sudut kota. Siang ini nampak hening. Yang ada hanya beberapa bapak tua penjual gorengan yang terkantuk-kantuk di tempat duduknya. Seekor anjing mengejar-ngejar ekornya sendiri yang lusuh terkena debu. Aku sendiri terdiam dengan pertimbangan jika aku ingin lari saja dari ucapan Ayahku, lalu hidup mandiri. Tapi bagaimana dengan anakku, aku akan kewalahan jika mengurusnya seorang diri, dan meletakkannya di rumah orang tua adalah pilihan waras selain menghamburkan uang untuk membayar baby sitter.

Sekelebat pikiran untuk memiliki istri terasa jauh lebih menyenangkan. Tapi punya istri berarti punya tanggung jawab baru. Aku tak mungkin membiarkan anak orang hidup susah bersamaku. Lalu bayangan Anita menghampiriku. Senyumnya, gerak tubuhnya, dan baunya seperti nyata ada di hadapanku. Namun angan itu cepat ku tepis sebelum aku berhayal lebih jauh lagi. 

Ku hantam kening ini ke roda kemudi. Membuat klaksonnya berbunyi nyaring, dan membangunkan bapak penjual gorengan.

"Sial!" umpatku.

Bersambung