webnovel

Penjahatnya....

Cepat ku berbalik arah menuju rumah sakit. Aku cukup bingung dengan apa yang terjadi. Apa motif manusia di balik semua ini?

Aku kembali menelepon Anita saat jalanan berubah macet di saat yang tak tepat.

"Ta, kamu sudah melaporkan ke polisi?" aku menekannya dengan pertanyaan apapun yang ada di pikiranku.

"Ya, polisi lekas datang setelah aku menelepon mereka."

"Sudah cek cctv?" tanyaku lagi.

Ku dengar Anita mendesah lelah, "Ini rumah sakit daerah yang kecil, Yo. Mana ada cctv di sini."

Aku mengetuk roda stir. Perlahan mobil tuaku memasuki area parkir. "Aku segera ke sana, Ta."

Tak butuh waktu lama hingga aku bisa menemui Anita. Ku lihat ia melipat tubuhnya pada satu kursi tunggu di dalam ruangan. Ada dua polisi yang menanyai perawat jaga, namun sepertinya belum ada info yang bisa dikorek.

Beberapa perawat berkata, Mira pergi tak lama setelah penjaganya, Anita ke luar dari paviliun. Tak ada sedikitpun kecurigaan, mereka hanya menganggap Mira sedang pergi untuk mendapat udara segar, dan akan kembali setelahnya.

Aku memarahi perawat-perawat itu. Bagaimana bisa mereka membiarkan seorang korban penculikan untuk keluar seorang diri. Tapi aku mencoba menenangkan emosiku kembali. Percuma memarahi mereka. Mira tak akan kembali karena itu.

Polisi berjanji untuk menemukan Mira secepatnya. Aku sendiri undur diri bersama Anita, untuk kembali ke rumah, dan menentukan langkah kami setelahnya.

Tak ada suara saat tubuh kami menaiki Corolla tuaku. Aku sendiri terlalu bingung ketika melihat air mata mengucur di wajah Anita.

"Kau tak perlu menangis, Ta" bujukku.

Anita terisak, namun berusaha tegar dengan menghapus genangan yang tersisa. "Aku takut sesuatu terjadi pada Mira." nafasnya tersenggal.

Aku tak berharap Mira kembali mendapat masalah buruk. Tapi penculikan, dan terror adalah satu paket komplit yang harus ku hadapi. Ku harap semua segera selesai.

Tiba-tiba Anita menjerit. Ia menunjuk ke arah jalan dimana aku juga melihat satu hal yang sama dengan apa yang Anita lihat.

Sosok Mira berlari di tengah jalan, dan masuk ke semak, dan hilang. Seseorang di belakangnya mengejar. Ia berperawakan tegap, dan garang. Di tangannya ada sebuah pemukul, yang berayun seiring kakinya berlari.

Aku berteriak agar sosok itu berhenti, namun ke dua sosok yang ku lihat terus berlari menembus lebatnya semak dan pepohonan.

"Yo, kejar, Yo!" Anita memancingku agar mengikuti mereka. Penjahat itu tak boleh dilepaskan.

Anita mengikutiku, namun karena langkahku terlalu cepat, ia tertinggal jauh di belakang.

Akhirnya aku berhasil menemukan mereka. Pria di belakang Mira menyeret pemukul, mencoba mengayunkan ke tubuh Mira, namun berhasil ku halau dengan satu tonjokan tangan kananku.

Pria itu terjatuh.

Aku mencoba mendekati Mira yang terlihat lemah, dan takut. Tak ada luka, namun bisa ku lihat ada trauma di sana.

"Kau tak apa-apa?" tanyaku, sembari mengecek jika Mira tak terluka. Namun Mata Mira membelalak dan berteriak ketika satu pergerakan menumbuk kepalaku. Penjahat itu berhasil bangkit.

Ada rasa limbung, yang membuat pandanganku berputar. Aku mencoba berbalik untuk melihat siapa di sana, namun lagi-lagi sebuah pukulan benda tumpul menghajarku.

Lalu aku terguling, namun sekejap ku coba berputar, dan menangkap pukulan tongkat yang dipegang penjahat itu.

Berhasil.

Ku genggam erat pemukul itu dengan ke dua tanganku, dan menendang organ vitalnya yang membuatnya jatuh terduduk.

Ku dengar Mirna meneriakkan namaku berulang kali, namun kepalaku yang berputar menyaring suara itu hingga tak sampai ke otak.

Aku berjalan terseok, "Jangan melawan," ujarku, dengan suara terputus-putus. Lalu ku lihat pria itu mencoba bangkit, tapi naas, belum juga posisinya sempurna, aku sudah mengayunkan tongkat itu membabi buta, membuatnya tersungkur sembari memegangi kepala. Aku terus memukulnya, hingga ku lihat ia tak bergerak dengan keringat yang bercampur darah.

Kakiku bergetar. Tubuhku seperti tersiram air es, yang membuatku jatuh terduduk. Nafasku tersenggal, sedikit-demi sedikit aku menyadari bahwa tanganku sudah membunuh seseorang.

Anita datang, ia menutup mulutnya saat memandangi apa yang tersaji di hadapannya.

"Yo....?" ia tak tahu harus berkata apa.

Aku gemetar, nafasku tersenggal, yang keluar dari mulutku hanya, "Ta, bagaimana ini?"

Anita mendekatiku, dan mencoba menenangkanku dengan kedua telapak tangan yang menangkupi pipiku yang bergetar.

"Ayo kubur dia!" ujarnya.

*

Ada bunyi petir yang menembus dinding rumahku yang gelap. Aku berharap jika aku bisa menghangus jika saja petir itu menyambar rumahku. Aku ingin hilang, takut, menyesal, semua hal timbul setelah tangan ini melakukan pembunuhan yang sebenarnya. 

Apa yang ku lakukan. Itu adalah pertanyaan yang gemanya menyusup ke dalam tempurung kepalaku. Ternyata, pembunuhan tidak semudah ketika kita menulis di atas kertas. 

Aku masih merasa takut. Jantung ku berdegup kencang. Perutku melilit. Keringat dingin membuat nafasku tersenggal-senggal. 

Selepas kami mengubur mayat pelaku terror itu, aku, Mira, dan Anita berjanji agar hal ini menjadi rahasia kami hingga kami mati. 

Setelah itu kami menghubungi polisi untuk sekedar memberitahu jika Mira sudah ditemukan, dan membubuhkan beberapa kebohongan untuk menutupi pembunuhan yang terjadi. 

Tapi apa itu cukup? Polisi tidak sebodoh itu, kan? Bagaimana jika mereka sadar bahwa aku membunuh seseorang? Mungkin alasan bahwa aku membela diri bisa jadi alasan yang cukup baik, tapi tetap saja, aku akan merasakan jeruji penjara karena itu. Pembunuhan bukanlah sesuatu yang mudah dimaafkan di negeri ini. 

"Ta, aku takut." Aku mencoba bercerita dengan apa yang ku rasakan. Namun sepertinya tanggapan Anita berbeda dari apa yang seharusnya bisa ku dapat. 

"Apa yang kau lakukan?" Balasnya. "Ini rahasia, dan berhentilah menghubungiku."

"Maaf." ujarku. 

Lama Anita tak membalas, "Mari bertemu di rumahku besok."

Aku mendesah, menggulung diriku di sudut kamar. Ada suara petir yang kembali menemani, namun sayangnya, petir itu tak membuat rasa takutku hilang bersama hilangnya ia. Aku masih merasakan ramuan ketakutan itu menenggelamkanku. 

***

Sudah tiga puluh menit semenjak aku menjejakkan kaki di rumah Anita. Ada keterkejutan yang datang ketika ku lihat Anita bahkan masih bisa tersenyum, dan berbicara sebagaimana biasa. Ia tak tampak gugup, dan gemetar. Berbeda dengan aku yang justru sudah menggigil, dan tak kuasa menutup mataku seharian ini karena rasa cemas yang hadir.

"Minumlah!" Anita meletakkan es teh yang basah sisi gelasnya ke hadapanku. Aku menenggaknya seakan telah lama tenggorokan kering ini tak disiram air.

Mata Anita mengamatiku yang menggulung ujung taplak meja. Mataku tak fokus, dan berulang kali bibirku terlihat gemetar.

"Ta...," aku mencoba bersuara. Anita menjawab dengan tolehan kepalanya. "Apa tidak sebaiknya aku menyerahkan diri ke polisi saja?"

Anita terkejut, namun dia mampu menahan diri untuk tak menjerit.

"Kau takut, Yo?" aku tak bersuara. Tanganku masih sibuk menggulung taplak yang tak membantuku meredakan rasa galau ini. "Tatap aku, Yo?" aku bisa merasakan tangan Anita meraih wajahku. Matanya begitu tenang dan dalam. Aku baru sadar jika warna matanya mirip warna almond, dan ada tahi lalat kecil yang membuat ujung matanya cantik. "Yo, kau tak salah dengan semua ini. Kau hanya membela diri," ujarnya, "ia pantas mati, Yo, tapi menyerahkan diri ke polisi hanya akan membuat dirimu jadi tampak lebih buruk."

Suaraku gemetar sebelum keluar jadi kata-kata. Ada iringan tangis yang tersenggal di sana. "Aku, aku takut, Ta. Aku tak pernah membunuh." aku memandangi telapak tanganku yang basah oleh keringat. "Ini berbeda dari saat aku menulis sebuah cerita. Masih ada rasa dari pemukul itu. Ada sensasi seperti membentur balok es, namun balok es itu menjerit. Ia terluka, dan menahan sakit itu, Ta. Lalu ia mati. Darahnya,  Ta..., darah itu basah di bebatuan sekitar, aku, aku.... "

"St.... " telunjuk Anita menghentikan ucapanku. Pelan, ia memeluk tubuhku yang gemetar, aku terisak dan menggigil, dan ia tahu bahwa jiwaku sedang butuh perlindungan. "Ada aku, dan Mira yang akan membantumu."

"Membantu?" aku setengah berteriak. "Membantu apa, Ta? Semua ini tak bisa membantuku, aku pembunuh sekarang.... "

Anita merasa kasihan, dan kembali memelukku, ia hendak mengucapkan sesuatu, sebelum akhirnya seseorang membuka pintu.

"Hai!" Mira masuk dan melambaikan tangan. Ia lalu duduk di sofa lain yang di atur agar berada di seberangku. "Aku kepikiran tentang hal yang saat itu kita lewati."

Pandanganku sayu menatapnya. Aku mengerti jika rasa trauma di dirinya lebih mendalam, namun wanita hebat itu lebih cepat pulih dari pada seseorang sepertiku.

"Kita hanya harus menutup mulut, teman-teman." Anita mencoba meyakinkan.

"Sampai kapan, Ta?" ujarnya.

Kami bertiga terdiam. Kepala kami menimbang-nimbang semua kemungkinan. Tapi jawaban itu tak ada. Kalaupun ada, beranikah kami melakulannya.

"Aku akan membuatkan es teh yang baru." Anita pergi disusul Mira yang hendak menggunakan kamar mandinya.

Aku harap, aku setegar wanita-wanita itu. Namun aku tak sanggup.

Aku salah selama ini. Ku kira membunuh tak menyisakan trauma sedalam ini. Aku yang hanya tahu bau darah dari luka kecil, dan nampaknya tak bisa mengatasi darah yang berliter-liter mengalir akibat ulahku sendiri.

Trauma itu bergema setiap detiknya, seperti perekam yang berulang kali memutar hal yang sama dan memaksaku untuk menggila karena melihatnya.

Ada suara piring pecah, membuatku terkejut dan lekas menghampiri dapur dimana Anita berada. Aku sudah akan menghinggapi tempat itu, namun suara debat Anita, dan Mira mengurungkan langkahku agar aku menjaga jarak.

"Kita harus memberitahunya, Ta!" Mira merendahkan nadanya, namun masih sangat jelas bisa ku dengar. Suara sapu, dan piring pecah yang bergesekan hadir di antara mereka.

"Lalu membuat kita masuk penjara? Aku tak mau." ujar Anita ketus.

"Kasihan Ryo, Ta!" Mira masih hendak membujuk, dan kalimat setelahnya menyadarkanku tentang siapa dalang dari semua ini.

"Lemah!" Anita benada sinis dengan kejujuran Mira. "Kau sama lemahnya dengan Ryo?" ia mendesis, "Dia hanya mampu membunuh di dalam tulisan, dan sekarang ia seperti seorang yang hampir mati karena patah hati."

"Jika saja kita tak merencanakan hal ini." Mira merasa amat menyesal, dan kejujuran itu terungkap. Ia membeberkan rencana yang ia, dan Anita buat untuk mengerjaiku.

"Lalu kau mau apa?" tanya Anita, "kau mau dia tahu bahwa pria yang ia bunuh hanyalah suruhan kita? Bahwa penculikanmupun hanya sandiwara yang kita mainkan?percuma Mir, Ryo pasti hanya akan menyeret kita lebih jauh ke dalam penjara."

Ada denyut yang meremas jantungku. Aku bisa menyimpulkan apa yang terjadi pada diriku. Tentang bagaimana penculikan itu kemudian membawaku pada situasi ini.

Aku tak menyangka jika dua orang yang ku percaya justru punya pikiran sehina itu, mereka bahkan berani menutupi pembunuhan yang terjadi akibat ulah mereka.

Aku mundur teratur, ku raih jaket, dan kunci mobilku agar pergi dari tempat yang hawanya terasa tak nyaman ini.

"Yo!" Anita berlari, dan memanggilku, nampaknya suara mesin mobil yang berpacu menyadarkan Anita, dan Mira bahwa aku secepatnya pergi dari mereka.

"Jangan-jangan dia mendengarkan apa yang kita bicarakan. Bagaimana ini, Ta?"

Anita masuk ke dalam kamar setelah menimbang isi otaknya. "Kita susul dia. Ayo masuk mobil!"

Mini Cooper Anita berpacu, melewati gerbang, lalu menyusulku. Aku bisa melihatnya dari cermin bahwa akselerasi mobil itu akan membawaku untuk dekat dengan mereka, dan aku tak mau itu terjadi. Jadi, ku belokkan mobil itu di satu gang kecil, memarkirnya sembarangan, dan memanggil seorang tukang ojek. Motor ini akan membawaku ke tempat sempit yang tak akan mampu mereka jamah.

"Sial!" Anita memukul kemudinya. Ia tak menyangka aku akan jauh lebih cerdik, tapi dia tentu saja tidak akan semudah itu menyerah.

Anita memundurkan mobilnya dan berpacu dengan kecepatan yang dua kali lebih tinggi. Ia berbelok dan mengambil satu jalan ke sebelah kanan. Dan sialnya, cara itu berhasil mengejarku yang muncul di satu sisi jalan yang dilalui Anita, dan Mira.

"Pak, ngebut Pak! " jeritku agar supir ojek memacu kecepatannya.

Telat.

Bibir mobil Anita menabrak motor yang ku tumpangi, menggilas kami, dan membuatku sekarat selama beberapa waktu.

Kepalaku berputar, ada rasa besi yang bercampur pasir di mulutku. Lalu pandanganku menghitam.

Bersambung