webnovel

Konflik

"Aku menambahkan beberapa hal yang mengalir di kepalaku pada karyamu." Anita menyodorkan file rombakannya kepadaku.

Aku membacanya dengan teliti. Membalik halaman dijital yang sudah tidak lagi murni milikku. "Kau ingin penulisnya mati?" aku terkejut.

Ku lihat bibir Anita yang tersapu lipstik coklat itu melengkung. "Kenapa? Kalau ia tak mati maka cerita ini tak akan bisa tamat."

"Kenapa tak kau buat ia bertobat?" ujarku.

"Semudah itu?" ia menyesap tehnya. "Setelah ia menghancurkan seluruh korbannya secara tidak bermoral, kau masih menginginkannya hidup?"

Kernyit di keningku tak memudar. "Tapi manusia bisa saja berubah, kan?" Aku tak sungguh-sungguh. Aku tahu manusia bisa berubah, tapi tak semuanya setuju pada perubahan. Kadang ia menolak hanya agar tidak disebut tak punya kepribadian. Pembunuh juga begitu.

"Dia sakit, Ryo. Kau ingin memanusiakan seseorang yang pikirannya hanya dipenuhi dengan darah? Lagi pula, ini hanya sebuah karakter cerita" lalu ia menambahkan di sela jedaku meminum air mineral. "Besok lembar pertamamu akan terbit, kau harus membacanya."

Aku sungguh terkejut. "Kau tak memberitahuku sebelumnya."

"Kejutan!" Anita tersenyum dengan amat manis. "Akan banyak pertanyaan di emailmu besok. Maaf kalau aku juga menyertakan identitasmu."

Aku tak suka diberi kejutan. Kejutan selalu membuat perutku mulas, dan ada reaksi kimia dari dalam tubuh yang merubah isi perutku jadi diare. Namun ini berita bagus, jadi aku harap hal ini tak begitu mempengaruhi tubuhku.

Aku benar-benar terkejut. Anita sungguh tak bisa dibaca. Ia memberiku banyak kejutan yang bahkan tak sempat ku terima sebelumnya. Yah, aku tak sepenuhnya menerima ulahnya yang merombak paksa ceritaku. Tapi, hey, kami berkolaborasi, kan?

Oh, ya, soal kolaborasi.... "Anita, apa kau menyertakan identitasmu juga?"

Ia menggeleng, "Kau yang harus terkenal oleh karya ini. Jadi, aku tak akan ambil alih sesuatu yang bukan milikku."

Anita kembali melontarkan kalimat yang hanya mengalir dalam benaknya. Entah dia hanya ingin aku terkenal, ataukah ia hanya mengasihaniku yang lebih membutuhkan rupiah dibanding dirinya. Aku tak tahu.

Kami kembali berpisah setelah obrolan, dan gelas-gelas yang mengering di tenggorokan kami. Apapun yang Anita ucapkan, ku harap ini yang terbaik.

Keesokan harinya, tepat pukul setengah satu, beberapa pesan masuk ke emailku. Dentingnya terdengar begitu girang, entah karena aku salah pendengaran, ataukah aku yang terlalu bersemangat ketika menerima pesan sebanyak ini.

Rata-rata isi email yang masuk adalah email dari penggemar yang sudah membaca tulisanku. Mereka memuji tulisanku, memberi kritik, atau sekedar mencari cara untuk bisa tembus ke meja redaksi. Sesuatu yang masuk akal menurutku. Ada juga ucapan selamat dari Anita, dan Mira. Mereka memberondong emailku dengan pujian, dan doa-doa. Wanita memang selalu punya energi berlebih jika itu masalah kata.

Lalu sebuah pesan masuk dalam emailku. Seseorang bernama Steve mengirimiku foto dengan wajah yang disamarkan.

"Kau belum pernah merasakan pembunuhan yang asli, bukan?" Tulisnya. Aku seperti tertarik pada pembukaan dari sebuah pesan yang tak biasa.

Lalu sebuah foto kepala tanpa tubuh muncul. Aku terkejut, aku berpikir tentang apa sebenarnya yang terjadi dan mengapa aku harus mendapatkan sebuah foto sadis seperti ini. Mata dari kepala itu kosong, mungkin saja itu boneka dari seseorang yang mencoba mengerjaiku, tapi bagaimana jika itu kepala asli?

"Prank, ya, mas?" jawabku. Aku berharap orang di ujung email ini tidak seserius itu, dan jika itu sebuah candaan, ku harap dia berhenti dengan candanya.

"Kau harus tahu bau darah yang sebenarnya sebelum menulis tentang psikopat sakit jiwa." Orang itu terus mengirimiku pesan, dan foto-foto berbagai potongan tubuh. Aku tak mual, aku justru penasaran dengan apa yang ada dalam pikiran orang ini.

Aku hendak bertanya tentang apa yang ia lakukan, dan apakah tubuh itu asli, namun seseorang menekan bel rumahku. Mungkin pengantar paket, atau tagihan yang berjubel seperti setiap bulannya.

Aku lekas meninggalkan laptopku yang masih menyala, dan lantas membuka pintu.

Kosong. Yang muncul hanya sebuah kotak coklat yang dibalut paksa. Yang mengherankan adalah, tak ada alamat pengirim, dan nampaknya kotak ini basah oleh sesuatu yang sangat mencurigakan.

Aku lekas membuka kotak seukuran kotak sepatu, dan melihat isinya.

Lalu tanpa diduga, muncul sebuah telinga manusia dengan anting berwarna perak di sana. Seseorang menghilangkan telinga orang lain dan dengan sengaja memperlihatkannya padaku. Aku lekas membuang benda itu menjauh.

Pikiranku berputar. Apa, dan bagaimana ini terjadi padaku? 

Aku memacu langkahku ke dalam rumah, mengambil gawai, dan menelepon polisi untuk memeriksa paket yang datang. Lalu mataku tertuju pada email yang terakhir ku baca. Ada email baru di sana yang bertulis, "Nikmati baunya, itu darah dari telinga asli, kau akan tahu rasa membunuh seperti apa setelah kita mengenal lebih jauh nanti."

***

"Aku tak tahu, pak. Paket itu tiba-tiba muncul setelah seseorang mengetuk pintu rumah. Saya sendiri tidak bertemu langsung dengan pengirimnya." Aku mencoba menjelaskan kronologi yang aku alami. Mendapatkan paket serupa potongan tubuh merupakan sebuah terror, bahkan untuk penulis bermental pembunuh sepertiku.

"Ada yang kau curigai, atau mungkin ada hal aneh yang mungkin membuatmu curiga?" tanya polisi itu. Beberapa dari mereka memeriksa bagian dalam rumahku, kelompok yang lain mengamankan barang bukti yang masih berlumuran darah segar.

Otakku sendiri mulai bekerja, mencoba mengingat apakah ada hal aneh yang terjadi kepadaku belakangan ini. Satu-satunya yang membuatku curiga adalah, sebuah pesan yang masuk ke emailku. Namun entah bisikan dari mana, hati ini mengekang keinginan untuk memberitahukannya pada polisi.

"Tak ada," jawabku.

"Apa kau tinggal sendiri?" polisi itu kembali bertanya.

"Aku tinggal bersama anakku, tapi dia ada di rumah orang tuaku, dan baru akan datang pekan depan."

Polisi itu menatapku sekilas. Pikiranku meracik alasan, jika saja polisi itu mrncurigaiku. Namun aku salah. Ia bergegas memerintahkan anak buahnya yang tengah mengumpulkan barang bukti untuk berkemas, dan pergi dari rumahku. 

"Ada baiknya anda mencari tempat lain yang lebih ramai, dan aman." aku tersenyum, saran yang tak akan pernah ku lakukan. Buat apa? Aku justru menghindari keramaian untuk menyelesaikan pekerjaanku. "Tolong beritahu kalau ada kejadian aneh lain. Untuk sementara, kami akan memeriksa barang bukti yang ada." lalu kumpulan polisi itu meninggalkanku kembali dalam kesendirian.

Aku cepat-cepat menghampiri laptopku, menyalakan sambungan internet, dan masuk ke email.

"Apa, yang kau lakukan? Siapa kau?" aku berusaha mengirim pesan pada manusia mencurigakan itu. Mungkin terlalu berani, tapi aku sungguh penasaran dengan rencana sosok di balik email itu.

Ada emoticon senyum yang terkirim, juga sebuah foto lain berupa tulisan yang dibuat dengan cat merah, atau mungkin darah. Foto itu diambil di sebuah dinding rumah yang disemen kasar.

"Apa rasanya mendebarkan? Kau harus tahu rasa yang didapat para korban psikopat, sebelum akhirnya ia mati." jawabnya.

"Kau mau membunuhku?" Rasanya seperti seseorang tidak hanya mengerjaiku, mungkinkah ada niatan jahat yang ia tujukan padaku? "Apa yang kau mau?"

"Tenang! Tarik nafasmu! Aku hanya mengajarkan padamu tentang realita. Kau harus tahu rasanya menjadi korbanmu. Kau belum bisa disebut penulis jika tak merasakan rasa sakit, dan takut yang korbanmu terima." aku hendak membalas surat itu, namun satu kalimat muncul kembali. "Secepatnya kau akan merasakan rasanya jadi pembunuh."

Tengkukku dingin, dan bulu kudukku meremang. Manusia di seberang sana sedang bermain-main dengan hidup. Ia tahu bagaimana cara menakuti, dan menciptakan terror pada diri manusia.

Aku meremas tepi meja. Seharusnya ini jadi hal yang salah. Seharusnya aku mencari perlindungan, dan lekas menyudahi kekejaman ini sebelum terlambat. Tapi, sepertinya sosok setan merasukiku, aku malah tersenyum, dan tertawa sejadi-jadinya. Aku baru menyadari, ini bukanlah rasa takut. Ini rasa tertarik. Rasa membutuhkan yang lebih dari sekedar ingin.

Aku kembali berkutat pada laptopku. Mengetik beberapa kalimat untuk korbanku di dunia fiksi. Ia harus ketakutan, ia harus menangis karena terror di sekitarnya. Bukan hanya mengerang, dan berteriak karena sakit. Ia harus meringkuk, ia harus bingung, dan hilang fokus, sebelum akhirnya menumpahkan darah untuk dirinya sendiri.

Aku mulai mengetik, seakan tak peduli dengan ancaman lain yang mengawasi hidupku sejak itu.

*

"Kau ingin mengubah ceritamu? Kenapa?" Anita terkejut dengan ucapanku. Kualitas kamera Anita sangatlah bagus, kulitnya jadi lebih cantik ketimbang biasanya.

"Aku hanya ingin menambahkan detil sedikit. Tidak akan berpengaruh dengan garis besar cerita." jawabku.

Anita mendesah, "Kalau tidak berpengaruh, kenapa harus berubah?" tanyanya. Namun sepertinya tanya itu hanya gumaman dalam bibirnya, karena ia lekas mengiyakan permintaanku.

Dan aku sendiri seperti seorang yang menyepelekan apa yang terjadi padaku. Bukannya mencari tahu tentang terror yang ku alami, aku malah asik bekerja, dan membuat beberapa tulisan dari satu pengalaman yang ku dapatkan. Terror itu membimbing langkahku.

Sebuah denting muncul. Ada email yang merengsek masuk ke smart phoneku. Aku sudah menduga jika pembunuh itu tak hanya berhenti di satu email. Dan bodohnya aku yang tak segera melaporkan kejanggalan ini, dan malah bertukar pesan dengannya seakan kami kawan lama.

"Bagaimana kau tahu emailku." Aku mencurigai jika ia hanya orang iseng yang kenal denganku.

"Koran," jawabnya, "kau menyertakan email, dan jati dirimu di koran."

Sial! Karena Anita semua ini terjadi.

"Lalu kau mau apa denganku? Apa aku mengusik hidupmu, sehingga kau menerrorku dengan semua ini?" jika ia tahu, nada bicaraku saat ini adalah percampuran dari geram, dan tertarik.

"Tapi kau menikmatinya, kan?" jawabnya.

"Mari bertemu!" aku ingin mendesaknya. Aku begitu penasaran hingga lupa rasa takut.

Ia lantas membalas, "lalu mengirimku ke penjara? Ku rasa tidak, bung!" belum lagi emailnya ku balas, satu email masuk, "Kecuali kau ingin merasakan sensasi terror sebenarnya!"

Manusia itu seperti mencoba mengetesku. Aku bisa membaca kalau ia meremehkanku. Ia mencoba berkata bahwa ceritaku tak seseram itu, seperti jika ia sudah membunuh manusia sungguhan lebih banyak dari jumlah cerita horror yang pernah ku ketik.

Ah, bodohnya aku. Telinga berdarah itu bukti bahwa ia memang pernah membunuh. Apa yang ku lakukan? Aku bermain petak umpet dengan seseorang yang merupakan psikopat asli. Permainan konyol apa yang sedang ku lakukan ini?

Bersambung