Ada rasa perih di pipiku, rasanya seperti tengah terseret pisau tajam, panas, nyeri, hal-hal yang tak mau cepat menghilang seperti itu.
Kelopak mataku juga memberat, namun mata kananku masih bisa menangkap bayang Anita yang mondar mandir, dan suara terisak Mira.
"Ini ide yang buruk, Ta." suara Mira serak, jelas saja, mengingat ia sudah menangis dari awal aku siuman.
Anita memandang diriku yang mulai gusar karena ikatan tangan yang terlalu kencang. Ia membiarkan Mira, dan melangkah mendekati tubuhku.
"Kau sudah sadar, Yo?" tanyanya. Ia melepas sumbat mulutku. Aku sendiri tak punya banyak kekuatan yang habis karena luka, dan rasa tegang. "Kau mengerti situasinya sekarang, kan?" Tanya Anita. "Dengar, aku juga tak mengira kalau hal ini akan jadi begitu rumit. Sumpah, Yo, aku hanya ingin berbagi pengalaman denganmu. Kau tahu, kan? Pendalaman karakter, cerita, dan lainnya. Tapi..., aku tak menyangka akan ada yang sungguhan terbunuh."
Aku mendengar denging di kepalaku. Suara Anita terdengar jelas, namun aku masih tak cukup berkonsentrasi karena sakit yang mulai meluap. Ada darah di celanaku, dan bagian sobek di punggungku seperti panas, dan berdenyut. Ku lihat sekelilingku berwarna redup, namun ada bau kayu yang timbul dari dinding tua. Entah milik siapa tempat ini, tapi yang jelas, hawa suram dan tegang telah menyelimutinya.
"Aku menyukai caramu menulis. Bagiku kau potensial. Kau hanya perlu pengalaman, dan ini akan berhenti sampai cerita yang kau buat selesai. Aku jamin itu. Sampai orang yang ku suruh terbunuh. Ya Tuhan.... "
"Ba, ji, ngan.... " terbata mulutku berucap.
Anita nampak terkejut. Tangannya ringan menampar pipiku yang sudah nyeri. "Kau pikir aku mau? Aku juga tak menyangka akan begini." ia berjalan mondar-mandir. Sesekali ia meraup wajahnya yang sudah tak lagi bermakeup. "Berjanjilah, kau akan diam!" ungkapnya.
"Aku tak punya pilihan, kan?" tak ada lagi yang bisa ku lakukan selain menurutinya.
Anita meniupkan angin untuk mengurangi beban di hatinya. "Kau mau air?" ia berjalan menuju meja, dan menuangkan air, sementara Mira melonggarkan ikatanku.
Mira terisak. Ia ketakutan, dan merasa tak berdaya. "Bagaimana jika kita ketahuan, Ta. Ta, aku takut. " kalimat itu ia ulang-ulang hingga ku bisa melihat kerut tajam di mata Anita. "Ini sudah masuk tindak kriminal. Bahkan kita sudah menghilangkan nyawa manusia. Aku tak mau ada di sini, Ta. Aku tak mau seperahu denganmu."
Taliku lepas. Ku peluk tubuh gusar itu, namun isaknya tak surut juga. Aku paham apa yang ia rasakan, semua yang ia ungkapkan tentang rencana iseng mereka untukku yang berdampak besar, yang kemudian sangat ia sesali.
Namun sesuatu yang tak diduga terjadi. Anita muncul di belakang Mira, dan memukulnya dengan sebuah balok kasar, dan berat. Aku terkejut saat menyaksikan Mira rubuh karena pukulan itu.
"Ta! Kenapa dipukul?" suaraku kembali karena kejutan ini.
"Dia terlalu banyak bicara. Aku mulai tak bisa percaya padanya." ia lalu memandangku, "Dan kamu sepertinya juga tak berbeda." secepat kilat, sabetan kayu melumpuhkanku. Aku mengerang karena sakit yang lagi-lagi timbul.
Yang ku rasa adalah, tanganku kembali jadi satu dengan ikatan di belakangan tubuhku. Sedangkan Anita melepas selang gas, dan menghidupkan api yang membesar karena pancaran gas itu. Tak butuh waktu lama hingga api yang timbul mulai membakar meja, lalu merembet menjadi unggun besar. Suara mobil Anita berpacu, meninggalkan ke dua tubuh korbannya dalam lalapan api.
Saat api meninggi, aku siuman untuk ke dua kalinya. Hawa panas dan sesak menyergap, memancing panik yang luar biasa tak dapat ku sangkal. Hal pertama yang harus aku lakukan adalah membangunkan Mira, dan membuatnya melepas ikatan kami.
Mira yang tengah lemah berusaha beringsut. Syukurlah Anita tak mengikatnya, jadi aku bisa memanfaatkan lengan bebas itu untuk melonggarkan ikatanku. Kami beringsut keluar, mencoba mencari jalan, namun berulang kali yang kami hadapi hanya gundukan panas, dan api yang memanggang kulit kami.
"Yo, ada jendela." Mira menunjuk pada jendela yang terbuat dari kayu. Kami berusaha menjebolnya dengan menumbuk jendela itudengan benda yang lebih keras. Kakiku sakit, wajahku pedih, semua hal yang tidak mengenakkan membuat kepalaku serasa melayang, terlebih asap yang semakin menyesakkan, sungguh, jebolnya jendela hanya merupakan satu dari banyak pertolongan yang kuasa, dan itu membuat kami bersyukur.
Kami mencoba menggeret langkah kami menjauhi tempat dimana kami disekap, menajamkan indra kami dari sinyal pertolongan yang mungkin saja bisa membantu kami. Dan benar saja, sebuah sinar muncul saat tubuh kami menjebol hutan ke pinggir jalan raya, lalu kami dengar decit ban, dan suara panik yang keluar dari tubuh Mira yang melemah. Kami selamat.
Yang terakhir ku dengar, sampai roda ranjang rumah sakit mengantar tubuh kami untuk diobati adalah sekumpulan orang yang menanyai, dan ku jawab sekenanya, tentang apa yang bisa kami utarakan sejujur-jujurnya, agar kami terlepas dari beban yang semakin membelenggu kami. Tentang aku, Anita, dan Mira. Tentang dosa kami. Tentang hal yang seharusnya tidak pernah kami lakukan sehina apapun pikiran kami.
Tamat.
Sungguhkah tamat?
Aku tersenyum. Akhir klasik yang membuatku jenuh tertuang juga dalam cerita bersambung yang aku, dan Anita racik. Kami yakin akan rupiah yang kami dapat, namun hati kami menolak rasa jemu ini. Kisah ini tak akan berhasil hanya karena ini sebuah kisah, masih ada kaitan lain yang akan ku sampaikan di luar cerita cerita ini, cerita fiksi yang menggila karena sebuah email rahasia.
Oh, ya. Pengirim email itu ditemukan. Ia seorang pemburu liar yang membabati hutan untuk mengambil daging simpanse. Tingkah gilanya memperkuat aksiku pada satu lembar cerita yang aku buat. Terimakasih, tapi tidak terimakasih untuknya, dia guru dalam horror, juga pesakitan yang harus bersedia menghabiskan hari-harinya dipenjara.
Tamat.
Aku berharap begitu, namun apa yang ku pikir adalah sebuah kenyataan, ternyata tak lebih dari sekedar mimpi di siang bolong. Silau dari langit-langit rumah sakit membuat sisa luka di kepalaku berdenyut. Apa yang ku pikir benar selama ini adalah kesalahan. Pembunuhan tidak pernah jadi manis, siapapun pelaku dan korbannya.
Dari balok tembok ruangan dimana aku terbaring lemah, bisa kudengar suara kedua orang tuaku yang tengah terisak, begitu pula anakku. Namun ada satu hal yang membuat emosi dalam diriku memuncak, sesuatu yang tak lebih dari sebuah bayangan tubuh Anita di balik jendela yang membuat degup di dadaku serasa meledak. Wanita kejam itu menatapku,sudut bibirnya tersenyum. Aku tahu, cerita ini masih akan terus berlanjut.
Bersambung