webnovel

Anita, Mira, dan Polisi

"Bagaimana kabarmu, Yo?" Aku baru saja tersadar, walau kesadaran yang muncul hanya seperti kerjap terputus-putus yang menangkap sosok Anita di sampingku. Tangannya memainkan pisau pada apel di keranjang buah yang sepertinya ia bawa.

Aku ingin mengucapkan beberapa kata, tapi rasanya linglung sekali saat ini. Dadaku masih terasa tertekan, dan mulutku pahit, dan kering.

"Makan apel ini." Anita menjejalkan sepotong kecil apel ke mulutku. "Kunyah sebelum kau mampu berkata-kata, dan sembari mengunyah, aku ingin kau melupakan apa yang terjadi bagaimanapun caranya. Kau harus jadi pembohong, dan masalah di antara kita selesai." ia kembali menjejalkan apel, mengunyah sisanya, dan mendekatkan wajahnya hingga sosok Anita jadi terlihat aneh, dan menyeramkan di mataku. "Aku akan mengunjungimu lain kali, sampai jumpa." lalu bayangan itu meninggalkanku.

Aku tak tahu apakah aku bisa gemetar, yang jelas air mata yang begitu deras membanjiri pipiku, dan ku rasakan celanaku basah karena air seni.

Belum pernah aku setakut itu, namun sosok Anita adalah hal yang lebih horror dari apapun yang aku tulis.

Polisi, aku harus melapor pada polisi.

Ku coba menggerakkan tubuh ini untuk meraih tombol yang menghubungkan hal itu dengan perawat jaga. Panik, takut, aku harus segera bertemu siapapun untuk memberitahu bahwa sumber bahaya bernama  Anita harus segera dipenjarakan, seumur hidup kalau perlu. Wanita itu sakit, dan bertingkah seperti tak ada apapun yang terjadi.

"Pak, Pak Ryo, ada apa, Pak?" Suara berpakaian putih menyerbuku, beberapa dari mereka menenangkanku yang mulai meronta dan menjerit.

"Beritahu polisi! Cepat beritahu mereka! Penjahatnya Anita! Dia yang menyiksa, dan menyekap kami!" aku histeris. Nama Anita ku ulang dalam sebutku, berharap jika bantuan benar-benar datang. Persetan dengan semua cerita seram yang ku buat, realita lebih sakit dari semua horror yang tertulis.

Perawat baik itu membantuku untuk tenang. Ia membimbingku agar bisa bernafas dengan benar, dan itu berhasil. Mereka meyakinkanku agar menunggu para polisi kembali, dan mereka yakin bahwa apa yang akan ku ceritakan pasti didengar.

Aku berharap itu benar. Tapi perut ini tergerus gelisah. Aku tak kuat. Aku takut. Maut itu mengiris emosiku dengan cepat. Tak jarang aku menangis, dan bermimpi buruk. 

Keluargaku datang menjenguk sesekali, tapi tak ada yang bisa membuatku nyaman, sampai Anita mendapatkan ganjaran yang setimpal.

Polisi datang setelah beberapa kali diyakinkan. Tapi anehnya kumpulan itu meremehkan apa yang ku laporkan. Aku harap itu hanya delusiku karena beberapa kali terkena serangan panik, tapi perkiraan sembarangan itu nyatanya benar.

"Maaf, tapi apa yang anda sampaikan tidak bisa kami terima." ujar salah seorang dari pria yang mengenakan seragam polisi dari balik jaket kulitnya.

Aku terkejut. "Maksud Bapak apa?" polisi itu bertukar pandang dengan kawannya. "Pak, saya korbannya, saya yang mengalami kejadian itu, saya bahkan punya saksi hidup atas semua yang saya alami." Aku tak bisa menahan jerit yang meluap ini, bagaimana bisa mereka mengabaikan apa yang korban ucapkan.

"Jika yang anda maksud adalah pernyataan dari saudari Mira...," ia mengisyaratkan jarinya agar para polisi itu lekas meninggalkanku. "Ia sudah lebih dahulu melaporkan kasus penculikan kalian, dan setelah penyelidakan menyeluruh tentang ciri tersangka, penjahat itu ditemukan bersama mobil anda yang ia curi. Mobil itu masuk ke jurang dan meledak, dan sudah pasti pelakunya tewas di tempat"

Aku mengernyitkan kening, "Tidak, Pak...," aku menatap mereka dengan bingung, "Anita masih hidup, ia bahkan menjengukku, dan...."

"Mira berkata bahwa pelakunya bukan Anita, saya rasa Anita orang baik, tidak seperti yang anda laporkan, bahkan ia membantu mengurus administrasi rumah sakit kalian, dan membantu Mira membereskan barang-barangnya saat pulang."

Mulutku tergagap. Rasanya sulit sekali mencerna laporan itu.

"Pak, bagaimana bisa? Sudah jelas kami adalah korban Anita, bapak harus memeriksa wanita itu! Dia pelakunya, Pak!" aku menjelaskan dengan menahan seluruh sakit pada tubuhku, namun kelompok aparat itu tidak memberikanku sedikitpun keuntungan. Lalu mereka pergi meninggalkanku dalam ketakutan.

Aku bingung, sejak saat itu, setiap hari yang ku lalui adalah horror. Anita masih hidup, dan apa yang ia kerjakan mengingatkanku pada psikopat gila yang tetap bisa meneruskan hidupnya walau telah menghancurkan banyak orang.

Anita, aku harus membuatnya mengakui apa yang ia perbuat. Tapi itu artinya aku juga akan terseret dalam kasus ini.

Tunggu dulu. Jadi begitu. Jadi inilah yang Mira pikirkan saat merubah status pelaku di diri Anita menjadi orang tak bersalah. Mira tak mau ikut terseret karena bagaimanapun kami juga melakukan kejahatan yang serupa dengan Anita. Kami pernah berkelompok dalam memusnahkan seseorang. Sial!

Aku memutar otak. Selang infus yang menempel di tubuhku ku cabut paksa saat berpura-pura mandi. Aku mengenakan pakaianku, dan berusaha selicin mungkin untuk kabur dari rumah sakit. Jika polisi tak bisa membuatku aman, maka tak ada tempat aman bagiku.

***

Mini cooper berpenumpang dua orang wanita bergerak pelan menerobos senja yang sebentar lagi padam. Mereka tak bersuara, kaku dengan pikiran masing-masing.

Kalut rupanya sudah terlalu  membuncah di otak masing-masing mereka, takdir tak sehat yang mereka lalui membuat mereka tak lagi punya norma untuk jujur tentang kejahatan yang mereka lakukan.

Dimulai dari terbunuhnya orang suruhan Anita, hingga tragedi penyekapan yang entah bagaimana berlalu saja seperti tak ada apa-apa.

Sampai Ryo pergi menciptakan kalut yang baru. Pria itu menghilang, dan bukan tak mungkin akan menjerumuskan mereka dalam tirai penjara yang membesi.

"Aku sudah menyerah, Ta." Akhirnya Mira membuka suara, setelah sebelumnya hanya mampu termenung menopang dagu di jendela mobil. "Semua ini jadi bumerang yang kembali mengejar kita. Cepat atau lambat kita akan mendapat bayarannya."

Ujung bibir Anita tertarik sinis. "Tak semudah itu, Mir. Aku percaya bahwa dunia hanya punya keadilan jika kita mati. Dan selagi hidup, kita masih bisa menang melawan semua ini."

"Ku pikir, menyewa seorang kriminal untuk melakukan lelucon itu seru, aku salah." pandangan Mira buram. Ia menarik nafas, dan mengatur kursi mobil agar bisa menopang tubuhnya yang ingin berbaring. Setiap masalah yang ia lalui dengan cepat akhir-akhir ini membuatnya mudah lelah. Ia menimbang tentang bayaran apa yang harus ia bayar kelak. Rasanya seperti membanjiri paru-paru dengan tangis. Sungguh menyesakkan.

Alur mobil kecil Anita melambat saat memasuki rumah Mira. Tapi ia tak bergegas untuk membantu kawannya itu membenahkan barang bawaannya. Ia lantas ikut berbaring, dan memejamkan mata.

"Kadang aku juga ingin menghentikan apa yang sudah ku lakukan, Mir." ia seperti berbisik. "Aku juga punya rasa bersalah, dan lelah dengan semua yang ku lakukan. Dan mungkin, aku akan lebih tenang jika menyerahkan diriku saja."

Mira menarik nafasnya tanpa berusaha menimpali ucapan sahabatnya itu.

"Tapi, Mir, bagaimana dengan semua yang sudah kita bangun? Bagaimana dengan karir, dan orang-orang di sekeliling kita? Bagaimana dengan semua hal yang bisa saja rusak, dan tak akan lagi kembali seperti semula? Jika aku memikirkan semua itu, rasanya aku rela jika harus jadi kriminal selamanya."

Lalu mereka kembali terdiam, tak mencoba mengusik satu sama lain. Tidak untuk membenarkan, atau menyalahkan satu sama lain. Mereka berharap, yang berlalu sudah selesai, dan menjadi mimpi buruk yang terlupakan.

Lalu jendela mobil diketuk cepat.

Wajah Ryo yang menempel pada kaca membuat kedua wanita itu terkejut. Anita hendak membuka pintu mobilnya tapi tertahan. Bagaimana jika Ryo kalap, lalu menyerang? Apakah sebaiknya Anita kembali menghidupkan mesin mobil, dan pergi menjauh, atau menghantamkan saja mobil itu pada tubuh Ryo?

"Mundur, dan letakkan semua barang, yang menempel pada tubuhmu!" Anita setengah menjerit.

Ryo memberi simbol ok dengan jarinya, dan mundur lima langkah dari mobil. Tak lama, Anita dan Mira keluar, namun mereka tak berani mendekati pria itu.

"Aku ingin kalian menyerahkan diri." Ujar Ryo. Kedua teman wanitanya saling berpandangan. "Dengar! Semua trauma yang aku lalui bersama kalian membuatku gila. Aku ingin melepaskan beban ini jauh-jauh."

"Kami berbeda darimu, Yo! Kami punya banyak hal yang tidak bisa kami jadikan tumbal." Anita bersikeras, "Aku tak mau jika harus jadi pesakitan di balik jeruji."

Ryo kecewa, "Ini ulahmu, Ta. Kau yang menyewa kriminal itu. Kau yang membuatku membunuhnya."

"Kecilkan suaramu, Yo!" Anita menjerit lebih keras.

"Bisa-bisanya kau memintaku mengubur mayatnya begitu saja, dan menculik aku, dan Mira."

"Diam, Yo!"

Ryo menggeleng, nafasnya tersenggal untuk bisa melegakan hatinya. "Kau bahkan berencana membunuh kami saat itu, kan? Kau harus mengaku, Ta!"

"Ya, Tuhan!" Mira memukul pintu mobilnya.

Tiga orang itu saling memandang satu sama lain. Tak ada yang ingin jadi pesakitan, tapi mengakui kesalahan juga tidak mudah.

"Yo," Anita berusaha tenang. "Aku tahu, kita bertiga sudah terlibat dalam pembunuhan ini. Tidak, tepatnya aku yang membuat kita seperti ini." Anita berjalan mendekati teman sejawatnya itu. "Tapi coba pikirkan lagi, selama kita mau menutup mulut, kasus ini tidak akan terendus polisi, Yo." ia menatap dalam mata Ryo yang bergetar. " Ingat juga keluargamu, apa kau ingin anakmu diejek temannya karena ayahnya seorang kriminal? Pikir, yo!"

Ryo menepis tangan Anita yang menyentuh pundaknya. Ia memundurkan langkah, dan mengambil kembali barangnya. "Aku sudah dapat yang aku inginkan. Aku pergi!" 

"Tunggu, Ryo! Mau kemana kau!"

"Ryo melompat mundur sebelum menunjukkan layar smartphone yang sedang melakukan panggilan."

"Ryo?" Anita terkejut.

"Pak Polisi, aku sudah melakukan bagianku, terimakasih karena mau meluangkan waktu. Aku akan menyerahkan diri sebentar lagi." lalu gawai itu berhenti melakukan panggilan.

Anita terduduk karena lututnya yang lemas, sedangkan Mira mulai meraung-raung karena kejutan tiba-tiba dari Ryo.

Dengan cepat, latar berganti pada ruang lain di suatu siang, mrmperlihatkan sosok Ryo, Anita, dan Mira dalam sebuah persidangan.

Puluhan pasang mata, dan kalimat yang bergulir bergantian menghakimi mereka, hingga akhir persidangan memutuskan sisa hidup mereka harus berakhir di dalam penjara.

*

21 april, 2020

Aku menulis cerita ini dari jeruji yang mengurungku. Aku harap kalian yang sudi membaca cerita ini bisa mengambil pelajaran, bahwa sebuah pembunuhan bukanlah kesenangkan yang bisa engkau rayakan. Bahwa fiksi tentang psikopat gila tak pantas engkau sanjung karena akan banyak tangis, trauma, dan kepahitan yang menjadi beban tokohnya.

Kau mungkin berpikir untuk menutup mulut orang yang kau benci dengan pisau, membakar, atau menguliti setiap manusia yang membuatmu jijik. Tapi pernahkah kau bayangkan ketakutan, dan beban mental yang kalian tanggung jika hal itu menjadi nyata. Percayalah, kau tak akan mau melaluinya.

Tapi semua ada di tangan kalian, wahai pembaca. Aku tak bisa menulus kehendak yang menjadi takdir hidup kalian, pun saran pada cerita ini tak pantas kau sanjung, tapi aku punya kewajiban untuk mencegah kalian jadi sama sepertiku.

Terimakasih sudah mau jadi pembaca cerita yang ku tulis.

Peluk cium

Ryo, tanpa Dewanto

Tamat