"Aku tidak pernah menyangka, cerita yang aku tulis untuk dramaku, akan menjadi sebuah kenyataan. Cerita yang belum sempat aku selesaikan itu, menjadi bumerang bagi diriku sendiri. Benar, kata banyak orang. Jika ucapan adalah doa. Pun aku tak pernah menduga, jika itu semua benar-benar terjadi. Bedanya hanya satu. Mila.. Dia bukan sahabat baikku. Juga bukan teman dekatku. Kami.. Seperti ujung magnet yang sama. Saling bertolak belakang. Mila, yang membuatnya seperti itu. Entah, karena iri padaku. Entah, karena dia suka dengan Hara. Atau memang dia terlahir dengan watak seperti itu. Iri hati.
Aku dan Hara sudah saling kenal sejak SMA. Semakin dekat, saat kami memutuskan untuk keluar dari kampus di tengah-tengah semester. Bukan karena bengal, tapi, karena kami tidak memiliki cukup biaya. Aku dan Hara di besarkan oleh panti asuhan yang berbeda. Aku tidak begitu paham, kenapa dia berakhir di panti asuhan. Mungkin karena ibunya, tidak mampu untuk merawatnya. Atau mungkin seperti aku, yang kelahirannya sangat tidak di inginkan oleh ibuku. Aku di temukan di depan panti asuhan. Di dalam kardus bekas. Tanpa sehelai benang pun yang menutupi diriku. Itu yang dikatakan Camelia. Kepala panti asuhan. Ibuku brengsek, pikirku. Setidaknya, dia harus memberiku selimut.
Hara.. Dia laki-laki yang jauh dari kata sempurna. Kulitnya kuning langsat. Rambutnya pendek di bagian bawah. Dan bergelombang di bagian atas. Selalu terlihat acak-acakan. Hidungnya kecil. Tidak bisa dikatakan mancung. Tidak bisa juga dikatakan pesek. Matanya.. Sangat menawan. Sedikit sipit. Netranya coklat cemerlang. Bibirnya.. Oh, seksi sekali. Apalagi, saat dia menyunggingkan senyum. Siapapun, akan jatuh hati melihatnya. Ciri khasnya selalu mengenakan jaket jeans pemberianku 5 tahun yang lalu, yang sudah robek di beberapa titik. Penuh dengan tambalan dengan gambar-gambar macho. Telinga kanannya terpasang tindik hitam.
Well, meskipun penampilannya urakan. Tapi, dia tidak seburuk itu. Dia baik. Bicaranya halus. Tidak pernah menyakiti wanita. Itu persepsiku, sebelum aku melihat kejadian yang sangat membuat hatiku terpukul.
"Kau... Menghamilinya?"
Hara berdiri secepat mungkin. Berjalan selangkah ke arah Diara. Kemudian berhenti.
"Jangan mendekatiku!" Diara menunjukkan telapaknya dengan marah. "Jawab.. Apa maksudnya ini? Kau, benar-benar menghamilinya?"
"Ra.. Itu-"
"Iya, benar. Aku.. Sedang mengandung anak Hara," sahut Mila, dari arah belakangku.
Diara menengok dengan kemuakan.
"Kau, masih berani bicara? Setelah melakukan ini padaku?"
Senyuman Mila yang tanpa merasa bersalah, mengintimidasi Diara.
"Melakukan apa? Aku berbuat salah padamu?" lanjut Mila. Melipat tangan. Arogan.
Diara mendengus. "Kau tidak hanya jelek, tapi, bodoh juga, ya?"
Mila mengernyit kesal. "Jaga mulutmu, ya!"
"Untuk apa aku menjaga mulut pada gadis murahan sepertimu?! Kau tidur dengan kekasih orang!"
"Tanya, tunanganmu! Aku yang ajak dia atau dianya mau sendiri!"
Diara diam sejenak. Menatap Hara yang bingung bersikap. "Kenapa kau diam? Jelaskan. Si Jalang ini yang mengajakmu tidur atau kau dengan senang hati mengajaknya tidur?!"
Hara memejam kesal.
"JAWAB!"
"AKU TIDAK TAHU!" Hara ikut berteriak.
"Kau tidak tahu? Kau tidak tahu apa pura-pura tidak tahu?!" Diara mengambil alat tes kehamilan. Mengibaskannya dengan cepat. "Ini apa? Hah? INI APA?!!"
"Diara.. Dengarkan dulu!"
"AKU TIDAK MAU MENDENGARMU!"
"LALU, AKU HARUS BAGAIMANA?!"
Nafas Diara menggebu. Otot pelipisnya semakin terlihat. "Kau yakin, dia sedang mengandung anakmu?"
Hara menelan ludah gugup. "I-itu.."
Diara kembali mendengus. "Aku sudah tahu jawabannya."
"Ra.. Bukan seperti itu!"
"KAU TIDUR DENGANNYA! KARENA ITU KAU TIDAK BISA MENJAWAB! Kalau kau bisa menjawab TIDAK, kau tidak mungkin tidur dengannya. Terima kasih, Hara. Hari ini.. Aku belajar darimu. Penampilan seseorang menunjukkan kualitas dirinya."
Diara berjalan pergi. Membuang alat tes tersebut begitu saja. Melewati Mila yang mencibirnya. Merasa dirinya menang. Di detik selanjutnya, ia kembali. Memukul keras-keras kepala Mila. Membuat Mila terhuyung.
"Jalang!" kata Diara, kembali berjalan. Menutup pintu kencang.
"Ra.."
Selly yang sejak tadi diam, akhirnya bicara. Mengikuti Diara yang berjalan cepat.
"Jangan bicara padaku dulu. Aku sedang tidak mood."
"Tapi.. Ini soal sponsor, Ra."
Diara menghentikan langkah.
"Ada apa?"
"Rendi mengirim pesan, kalau tuan Darel mencabut sponsornya."
Diara terbelalak. "Kenapa? Apa alasannya?"
"Tuan Darel tidak memberitahunya. Dia buru-buru pergi kata Rendi."
"Kau kembali ke studio. Aku akan pergi menemui tuan Darel."
Hari yang buruk, bertambah lagi satu masalah. Mungkin saja, Diara sedang sial. Katanya, porsi kesialan masing-masing orang itu berbeda. Bisa jadi, hari ini porsi kesialan Diara sudah habis. Seperti kata ibu Kartini. Habis gelap. Terbitlah terang. Setelah badai. Pasti ada pelangi. Meski, perasaannya sedang campur aduk, Diara harus profesional. Jika, ia harus menuruti kata hati.. Bagaimana dengan anggota teater yang menggantungkan nasibnya dalam cerita ini? Sebagian dari mereka adalah anak-anak putus sekolah. Buruh pabrik yang di PHK.
Diara memang sengaja mengumpulkan mereka dan mengajari mereka cara berakting dengan baik. Well, sekalipun upahnya tidak begitu besar. Setidaknya, mereka punya tempat untuk berteduh. Punya sahabat untuk berbagi suka dan duka.
Taksi yang di tumpangi Diara berhenti di depan sebuah gedung bertingkat. Di atasnya tertulis PH Corp. Sebuah perusahaan yang di pimpin Direktur muda, memiliki sifat yang dingin. Berperilaku semena-mena. Sayangnya, tampan.
Diara mendongakkan kepala. Mendesah panjang. Lalu berjalan masuk. Sebenarnya, ia malas berurusan dengan orang kaya tak tahu diri. Banyak kenangan buruk di dapatkannya dari orang-orang berdompet tebal. Salah satunya, pria pendek nan gendut yang berprofesi sebagai pemilik perusahaan percetakan.
Diara yang saat itu baru saja membuat pementasan untuk pertama kali, harus jatuh bangun demi mendapatkan sponsor. Singkat cerita, Mila memperkenalkan pria gendut itu kepada Diara. Katanya, pria tersebut adalah kenalan ibunya. Diara sangat bersemangat sekali. Sampai-sampai menempuh jarak yang cukup jauh. Harus berganti bus 3 kali. Untuk tiba di perusahaan tersebut. Di sana ia di sambut dengan baik. Pria gendut itu murah senyum. Mudah akrab. Saking akrabnya, ia duduk di sebelah Diara. Mengelus lengannya. Bahkan hampir memeluk Diara, jika saja ia tidak menggeser duduknya. Kernyitan kesal tak pelak mampir pada dahinya.
"Kau— tidak ingin mendapatkan sponsor?" tanya pria gendut itu.
Diara mengangguk kikuk.
"Kalau begitu.. Kau harus bersikap baik padaku. Buat hatiku senang," kata pria gendut itu. Menggeser duduknya, mendekati Diara.
"Maksudnya?"
"Kau masih baru, ya di dunia ini? Kau, tidak tahu cara mendapatkan banyak sponsor. Cara menyenangkan hati para sponsor itu— menyanyi, minum dan—tubuhmu."
Diara terperanga. Tak percaya dengan apa yang di katakan pria yang seharusnya pantas jadi ayahnya. Mendengus kesal. Berdiri dengan kemuakan.
"Aku rasa.. Aku salah pilih tempat."
Diara berjalan.
"Kau yakin tidak apa-apa? Perusahaan kami sudah banyak memberi sponsor pada kelompok teater seperti itu. Dan mereka sukses besar. Tidak mudah untuk cari sponsor asal kau tahu."
Diara diam. Menghentikan langkah. Berbalik. Menatap pria gendut yang tersenyum menjijikkan. Diara melangkahkan kakinya.
"Kau berubah pikiran, kan? Tenang saja, aku akan main dengan sangat lembut. Pasti tidak akan sakit."
Diara menarik sudut bibir kanannya ke atas.
"Kau tahu? Ada satu hal yang sangat aku benci. Tapi, kinj bertambah satu lagi. Orang kaya yang sombong. Dan— pria tua mesum sepertimu."
Diara mengangkat cangkir kopi, yang ada di atas meja. Menuangkannya di atas kepala pria itu. Dengan perlahan.
"Kalau ingin menjadi sampah, seharusnya sekalian saja kulitmu hitam dan kotor seperti ini."
Di lemparkannya cangkir tersebut ke sisi kanan. Pecah menabrak tembok. Kemudian ia keluar. Mengabaikan teriakan pria berlumuran kopi itu.
Setelah kejadian itu, ia lebih selektif untuk mencari sponsor. Dan beruntungnya, Darel si Direktur muda itu tiba-tiba menawarkan kerja sama. Dengan sistem 70:30. 70 untuk A Little Big. 30 untuk PH. Tanpa berpikir panjang ketika itu, Diara menyetujui usulan tersebut. Tanpa membaca surat perjanjian terlebih dahulu. Dimana tertuliskan, Jika Pihak pertama yaitu PH sewaktu-waktu dapat menarik sponsor tanpa persetujuan dari pihak kedua yaitu A Little Big.
"Pak, Anda tidak bisa seperti itu. Kita sudah 2 tahun bekerja sama. Kenapa Anda tiba-tiba menariknya?"
Diara sudah berada di ruangan Darel. Duduk berhadapan.
"Makanya, dulu aku sudah bilang, kan? Baca dulu surat perjanjiannya agar kau tak menyesal."
Diara mendesah pendek. "Sebenarnya apa alasannya?"
"Ada dua alasan aku menarik sponsor untuk teatermu. Pertama. Pendapatanmu 6 bulan terakhir menurun."
"Itu karena siklusnya, pak. Dimana-mana juga sedang sepi."
"Pebisnis sepertiku tidak bisa menerima alasan klasik itu. Kau sebagai pelaku usaha, harus bekerja lebih keras. Bagaimana caranya, agar tiketmu terjual habis," jelasnya. "Kau harus mengosongkan studio itu. Besok siang, aku pergi ke sana. Jika, barang-barangmu masih berada di sana— anak buahku tak akan segan menghancurkannya."
"Apa tidak ada kesempatan lagi? Beri saya waktu."
"Bagiku, waktu adalah uang. Tidak bisa membuang-buang uang begitu saja."
Diara menunduk lemas. Ingin rasanya berargumentasi, tapi, hasil akhirnya tidak akan berubah. Ia paham betul sifat Tuan Darel. Ia berdiri dan berjalan tanpa daya.
"Kau tidak penasaran apa alasan keduaku?" Tuan Darel kembali bicara. Menyilangkan kaki dengan arogan.
Diara kembali menghadapnya.
"Karena kau membenci orang miskin seperti kami?"
Tuan Darel terkekeh. "Sempit sekali pikiranmu. Kau— kenal Mila, kan?"
"Mila?"
"Ya. Anggotamu."
"Apa hubungannya dengan dia?" Kernyitan heran muncul di dahinya.
"Hemm.. Apa—wajahku dan Mila tidak mirip?"
Diara diam. Berpikir lama. Menatap Tuan Darel lamat-lamat. Melebarkan mata kemudian.
"Anda-"
"Ya.. Aku kakak Mila. Gadis yang kau pukul di apartemennya tadi."
Terkesiap. Hanya itu ekspresi yang ia tunjukkan. Lagi-lagi Mila. Hari ini, Mila seperti bom bunuh diri bagi Diara.
"Itu alasanmu mencabut sponsor?" Diara mendengus kesal.
"Wah, benar kata Mila. Kau ini gadis yang tidak tahu tata krama. Apa karena kau di besarkan tanpa Ayah Ibu?"
"Setidaknya, aku jauh lebih baik di banding kau dan Mila! Kalian punya orang tua. Kaya. Tapi, sayang.. Kalian tidak punya otak. Kau tahu?! Adikmu itu-"
"Minta maaflah."
"Apa?"
"Minta maaf pada Mila. Maka, aku akan memberikan sponsor lagi padamu."
Diara mendengus sekali lagi. "Kau pikir aku mau melakukannya. Jangan mimpi. Aku tidak akan berlutut di hadapan Mila, meski kau mematahkan kakiku!"
"Aku tidak menyuruhmu berlutut. Minta maaf saja sudah cukup. Sejak kecil, dia tidak pernah sekalipun di tampar oleh Ayah Ibu. Tapi, gadis rendahan sepertimu.. Beraninya memukul adikku!"
"Kau tidak tahu apa yang di lakukan adikmu, kan?"
"Memang apa? Karena laki-laki miskin itu? Oh, ayolah. Untuk apa memperebutkan pria tak bermodal begitu."
"Tidak semudah itu! Dia sudah melewati batas!"
"Memang, apa yang di lakukannya?"
"Tanya sendiri adikmu!"
Diara membalik badan.
"Pilihan ada di tanganmu, Diara. Kalau kau memilih tangan kananmu.. Maka sponsor akan ku berikan lagi padamu. Tapi, kalau kau memilih tangan kirimu.. Bersiap saja kau dan anggotamu akan hancur."