Diara kembali ke studio dengan wajah lesu. Mendesah singkat, sepanjang kakinya melangkah. Sementara, di dalam studio—para anggotanya sudah menunggu dengan cemas. Selly, yang berjalan mondar-mandir. Randy, yang menggigit kuku jari. Sisanya, duduk saling berdampingan. Dengan perasaan gelisah, tentunya.
Melihat Diara masuk ke dalam studio—Selly dan Randy segera berlari kecil, ke arah Diara. Yang lain, berdiri.
"Bagaimana, Ra? Apa jawaban Tuan Darel?" tanya Selly.
Diara mendesah pasrah. Selly dan Randy saling bertatapan.
"Jadi, dia sungguh ingin mencabut sponsor dari kita, Ra?" kini Randy, yang bertanya.
Diara mengangguk. Desahan singkat terdengar bersahutan.
"Apa alasannya?" tanya Selly.
"Kita berkumpul dulu di panggung."
Para anggota duduk, bersilang kaki di lantai kayu. Pun, dengan Diara.
"Tuan Darel—adalah kakak kandung dari Mila."
Para anggota terkesiap. Saling berbisik satu sama lain.
"Mila—anggota teater kita? Mila, yang selingkuh dengan Hara? Benar dia?" tanya Selly, dengan nada tak percaya.
"Iya."
Selly mendesah panjang kemudian.
"Apa karena kamu menamparnya tadi? Itu yang membuat Tuan Darel mencabut sponsornya?"
Diara mengangguk kali ini.
"Astaga. Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang? Tanpa sponsor—kita tidak dapat tampil," cetus Randy.
Perempuan yang duduk di samping Selly mengangkat tangan dengan ragu.
"Katakan, Ivy," kata Diara.
"Maaf, kalau aku lancang. Tapi—apa tak sebaiknya Kak Diara meminta maaf? Mungkin saja, nanti Tuan Darel mengurungkan niat, untuk mencabut sponsornya."
"Akal mu sudah hilang? Hah?! Mila yang berbuat salah! Kenapa Diara yang harus meminta maaf?!" pekik Selly, berdiri seketika.
"Selly.. tidak perlu emosi. Duduk," pinta Diara.
Selly kembali duduk. Mendesah kesal. Sembari melirik Ivy—gadis yang rambutnya di kepang menjadi satu. Bermata sipit. Pipi putihnya, ada bintik-bintik hitam yang menyebar.
"Ivy.. gelas mu aku pecahkan secara sengaja. Dan, kakiku terluka. Apakah, yang harus meminta maaf adalah kau? Si pemilik gelas? Atau, aku? Yang sengaja memecahkan gelas itu?"
"Ka-Kak Diara, yang harus meminta maaf."
"Good, Ivy."
"Tapi, Kak— untuk situasi seperti ini, kita tak perlu melihat siapa yang salah atau tidak. Posisi kita terancam," celetuk Giselle. Gadis dengan satu gigi gingsul di kanan.
"Aku tahu—kalian semua cemas dan bingung. Tapi, aku mohon—percayakan semuanya padaku."
"Sekarang, semuanya boleh pulang. Kita bahas lagi masalah ini esok hari," tambah Randy.
Anggota yang berjumlah 10 orang itu—tidak termasuk Randy, Selly, dan Diara, segera berdiri. Dan, semburat pergi.
Sementara, Selly dan Randy mendekat kepada Diara.
"Hiraukan saja, kata-kata Ivy tadi," kata Selly.
"Iya. Jangan di pikirkan. Kau harus mementingkan hatimu. Hubunganmu hancur, karena Mila," tambah Randy.
Diara menundukkan kepala.
"Rasanya, aku berjalan di taman labirin. Tanpa tahu, di mana pintu keluarnya."
"Jadi—Hmm, kau akan bercerai dengan Hara?" tanya Randy, dengan ragu. Menaikkan alis kirinya.
"Randy! Kau ini bicara apa?!" seru Selly. Memukul punggung Randy.
Kini Randy menggeliat kesakitan. Sementara, Diara hanya menghela napas pendek. Berdiri kemudian.
"Aku mau mencari udara segar dulu," kata Diara.
"Mau aku temani?" tawar Selly.
"Tidak usah. Aku sedang ingin sendiri."
Lantas, Diara berjalan dengan langkah lemas. Menuju ke depan studio.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang? Bagaimana kalau teater ini bubar?"
Suara Ivy terdengar di luar studio. Diara menghentikan langkahnya. Bergeser ke samping. Bersembunyi di balik pintu.
"Ya. Aku juga sedang memikirkan hal itu," sahut Giselle. "Ah, kenapa semua ini terjadi di saat yang tidak tepat!"
Helaan napas Giselle terdengar berat.
"Kau—ada masalah?" tanya Ivy.
Giselle mengangguk. "Ibuku—sedang sakit keras. Akhir bulan ini, aku janji akan membawanya ke rumah sakit, untuk pemeriksaan penuh. Tapi, kalau begini jadinya—entahlah."
"Sakit apa?"
"Akhir-akhir ini, dia mengeluhkan dadanya yang sakit. Terlebih, saat ia melakukan aktivitas berat."
"Astaga.. Aku ada uang simpanan. Tak banyak. Tapi, bisa kau pakai dulu."
"Hei, tak usah. Kau juga harus membayar sewa kontrakan rumahmu, kan?"
"Iya. Tapi, aku bisa undur dulu. Kebutuhanmu lebih penting."
Giselle mendesah singkat. "Aku harap, Kak Diara segera mendapatkan jalan keluarnya."
"Aku juga berharap begitu."
Diara hanya menghela napas singkat, mendengar percakapan itu. Dan, kembali berjalan masuk.
"Eh? Cepat sekali," tanya Selly.
"Aku mau pergi dulu."
Diara naik ke panggung. Mengambil tas selempang, yang di tinggalkannya tadi.
"Mau kemana?"
"Menyelesaikan masalah."
Diara pergi dengan raut wajah serius.
"Menyelesaikan masalah? Apa maksudnya?" gumam Selly.
"Apa mungkin, dia akan pergi ke apartemen Mila?" ucap Randy.
Selly terkesiap. "Oh, sial!"
Selly berlari keluar. Randy juga menyusul.
**
Diara sudah berada di depan pintu apartemen Mila. Meremas tali tasnya. Mendorong udara keluar dari mulut. Lalu, menekan bel. Berulang. Hingga, pintu terbuka.
Diara mendengus, melihat seseorang yang membuka pintu untuknya.
"Kau masih di sini rupanya," kata Diara.
"Diara.. Kenapa kau kembali kemari?"
"Kenapa? Tidak boleh? Apa aku mengganggumu?"
Hara mendesah singkat. "Diara.. Ayo pergi dari sini. Kita bicara baik-baik."
Diara berjalan masuk. Menyenggol Hara dengan kasar.
"Aku tidak ingin bertemu denganmu."
Diara masuk tanpa melepas sepatunya. Melihat Mila tengah duduk di sofa, dengan bersilang kaki secara anggun. Minum jus jeruk, dari gelas kaca berkaki ramping. Namun, gemuk di bagian atas. Menggoyang-goyangkan gelas. Seolah dia tengah minum anggur.
"Well, akhirnya kau kembali lagi."
"Kau.. benar-benar brengsek rupanya."
Mila mendengus. "Sepertinya, bukan itu yang ingin aku dengar."
"Diara.. kontrol emosimu. Ayo, kita keluar dari sini."
Hara menyentuh tangan Diara, yang kemudian di hempaskan oleh Diara secara kasar.
"Jangan sentuh aku!"
"Diara.."
"Kau diam dulu!" seru Diara. Kemudian, berkacak pinggang.
"Jadi, selama ini kau membohongi kami?" tanya Diara.
"Tidak juga. Aku hanya, tak ingin di perlakukan istimewa saja." Mila menyunggingkan senyum. "Bukankah.. itu berarti aku perempuan yang baik?"
"Baik menurut versi mu. Tidak menurutku."
"Kau sudah bertemu kakakku, kan? Jadi, apa keputusannya? Dia.. mencabut sponsornya?"
Hara mengernyitkan dahi. "Mencabut sponsor? Apa maksudnya?"
"Dan, kau di sini.. untuk meminta maaf padaku. Agar—kakakku tidak berhenti mensponsori A Little Big."
"Tunggu sebentar. Kakakmu? Jadi, Tuan Darel adalah Kakakmu?"
Mila mengangguk pada Hara.
Diara memejamkan mata sejenak. Mendorong udara keluar dari mulut. Mengepalkan tangan. Kemudian, berlutut dengan perasaan kesal. Membuat Hara terbelalak.
"Diara.."
"Maafkan aku."
"Hah? Apa? Aku tidak dengar."
"Maafkan aku."
"Ck. Suaramu kecil sekali. Aku-"
"MAAFKAN AKU! SUDAH? KAU DENGAR?!"
Mila terkekeh sombong kemudian. "Wah, si hebat Diara—akhirnya tertunduk juga padaku."
"Jadi, aku mohon. Bilang pada kakakmu, jangan mencabut sponsor."
"Well, janji adalah janji. Aku akan sampaikan itu padanya. Ah.. seharusnya aku rekam tadi permohonan maaf mu. Lucu sekali."
Diara berdiri. "Tepati janjimu. Karena, ini menyangkut semua anggota teater."
"Ya. Tentu saja."
Diara berjalan pergi setelah itu. Hara bergegas mengikutinya.