"Kenapa kau tega? Kau tega melakukan hal itu?!" Bentak gadis berambut coklat panjang.
"Amanda, Dengarkan aku! Dengarkan penjelasanku!" Sahut pemuda yang ada di depannya.
"Dia sahabatku, Bobby! Sahabatku!! Dan, kau? Kau adalah tunanganku! Kenapa begitu mudahnya kau tidur dengannya?!"
"Itu sebuah kesalahan, Amanda!"
Amanda mendengus. "Kesalahan? Hingga dia hamil, kau sebut itu kesalahan? Lalu, kau akan minta maaf padaku? Dan, berharap aku melupakan semuanya?"
"Aku akan menyelesaikan masalah ini. Kau jangan khawatir."
Bobby membalik badan, berniat untuk pergi.
"Bagaimana caranya? Kau akan menggugurkan kandungannya? Kau akan membunuh darah dagingmu?"
"Itu masih janin!" Kata Bobby, seraya menghadap Amanda.
Amanda kembali mendengus.
"Hanya janin? Wah, aku benar-benar tak menyangka.. lelaki yang ingin kunikahi ternyata lebih busuk dari berton-ton sampah yang berada di tempat pembuangan!"
"Lalu, apa yang harus aku lakukan?!"
"Kenapa kau tanyakan itu padaku?!"
"Kau.. ingin aku bertanggung jawab?"
Amanda bungkam. Bernafas berat.
"Kau ingin aku menikahi dia?" Sekali lagi Bobby bertanya.
Amanda tetap diam. Kali ini Bobby berjalan mendekatinya.
"Tatap mataku, Amanda! Haruskah aku melakukan itu?"
Mata memerah Amanda yang dibanjiri air mata, menatapnya.
"Ini akhir dari hubungan kita, Bobby."
"Kau tidak mencintaiku?"
"Tidak."
"Kau bohong. Matamu mengatakan kau bohong."
Amanda kembali bungkam.
"Jika memang kau sudah tak mencintaiku, maka biarkan aku membuktikannya."
"Apa-"
Belum selesai Amanda berbicara, Bobby dengan cepat mencium bibirnya.
"Lihat.. hatimu masih berdebar untukku," kata Bobby.
Riuh tepuk tangan terdengar saat kata-kata itu diucapkan. Panggung menjadi gelap. Pertunjukan teater satu setengah jam itu selesai untuk hari ini.
Dua kali pertunjukkan dari tujuh hari, di gedung yang tidak begitu besar juga terapit dua gedung lainnya. Meski, panggung mereka hanya sebesar sepuluh langkah kaki, tapi kelompok teater mereka cukup terkenal di kota itu.
Diara adalah ketua kelompok teater yang biasa disebut "A Little Big". Dia juga yang memerankan sosok Amanda bersama sang kekasih, Hara. Keduanya selalu menjadi pemeran utama dalam cerita yang dikarang oleh Diara. Tidak ada yang protes selama ini.. kecuali,
"Aku juga ingin mencoba peran utama," kesal gadis berambut bob pendek. "Kalian tidak bosan? Melihat Diara menjadi pemeran utama wanita selama berbulan-bulan?"
Mereka yang berkumpul di dekatnya hanya diam. Ada sebagian yang menggeleng.
"Ayolah, jangan takut. Meski, Diara ketua kelompok kita, tidak seharusnya dia mengambil peran utama itu secara menerus! Aku yakin para penonton akan bosan melihatnya! Mereka juga ingin melihat sesuatu yang baru."
"Kau benar," sahut Diara, yang berjalan dari arah belakang gadis bermata lebar itu. "Setelah kita menyelesaikan cerita "Janji Tuhan" ini, kau akan menjadi pemeran utamanya, Mila."
"Ide bagus. Kita juga bisa mengadakan audisi untuk pemeran yang lainnya," sahut Hara.
"Kau yakin? Aku bisa jadi pemeran utamanya?" tanya Mila, melirik Diara.
"Kata-katamu sangat meyakinkan tadi. Kenapa kau sekarang jadi tidak percaya diri?"
Mila berdeham. "Baiklah. Aku pasti bisa."
Diara tersenyum. "Baiklah, kerja bagus untuk hari ini. Kalian boleh berkemas. Ingat, dua hari lagi kita latihan seperti biasa."
Mereka kompak menjawab, lalu semburat pergi.
"A Little Big" terbentuk sejak lima tahun yang lalu. Selaras dengan usia hubungan Diara dan Hara. Kelompok itu terbentuk karena keduanya. Sama-sama menyukai akting. Itu satu sebabnya. Sekalipun tiket belum pernah terjual habis, tapi keyakinan mereka kuat, jika suatu saat mereka akan banyak disorot oleh banyak kamera.
"Kau tidak ingin mampir?" tanya Diara, sesaat setelah turun dari motor Hara.
"Lain kali saja. Kita sama-sama lelah. Lebih baik kita cepat beristirahat."
"Baiklah."
Diara melepaskan helm, menyerahkan pada Hara. Menyisir rambut coklat blonde panjangnya dengan jemari.
"Hara.. kau tidak lupa kan?"
"Apa?"
"Lima hari lagi.."
"Lima hari lagi? Ada apa?"
"Ck! Ya sudahlah, cepat pergi."
Hara tertawa. "Tentu saja aku ingat, sayang. Pesta pernikahan kita, kan?"
Diara tersenyum malu, mencubit pelan lengan sang kekasih.
"Cepat pergi."
Deru motornya terdengar kencang, lalu perlahan menghilang.
9 Hari Kemudian
Diara gelisah, berjalan kesana-kemari, menggenggam ponselnya. Para anggota teater hanya mendesah singkat seraya menatapnya.
"Sebenarnya kemana dia? Aku pergi ke rumahnya, tidak ada. Di rumah teman-temannya juga tidak ada."
Diara dan Hara memang sudah menikah secara Agama. Namun, secara hukum—mereka belum terdaftar. Karena itu, mereka belum tinggal dalam satu atap.
"Mila juga tidak datang beberapa hari ini," sahut Randy, salah satu anggota.
"Diara.. coba lihat ini," kata Selly, anggota yang lain juga sahabat Diara.
Selly menunjukkan sebuah foto di akun SNS Mila. Foto yang cukup membuatnya mengernyit lalu melebarkan mata.
"Antar aku ke apartemen Mila."
Beberapa puluh menit kemudian, keduanya turun dari taksi. Berjalan masuk ke sebuah gedung apartemen. Masuk ke dalam lift dan pergi ke lantai 6 kamar 307.
Sembari menekan bel, raut wajah Diara sangat terlihat gelisah.
"Tidak mungkin.. ini tidak mungkin."
Dia meyakinkan dirinya sendiri. Bel terus berbunyi, namun sang pemilik kamar tak kunjung membuka pintu. Dengan garangnya, jari telunjuk Diara tak henti membunyikan bel, hingga Mila membuka pintu.
"Diara?? Kau-"
"Minggir!"
Diara mendorong Mila ke samping. Berhenti sejenak menatap sepasang sepatu yang tak asing baginya. Sepatu yang sama, yang ia lihat di akun SNS Mila. Sepatu yang sama, yang ia berikan pada laki-laki tersayang, di hari ulang tahunnya. Tanpa melepas sepatunya, dia masuk ke dalam dengan nafas memburu. Lalu berhenti seketika.
"Kenapa kau disini?" Tanya Diara.
Laki-laki berponi tersebut terkejut dan berdiri dengan cepat.
"Diara? Kenapa kau ada disini?"
"Jawab pertanyaanku! Kenapa kau ada disini?!"
"Aku-"
"Kau tidur dengannya?"
"Apa?"
"Kau tidur dengan gadis brengsek itu?!"
"Diara.. dengarkan aku."
"Jangan membuat alasan, jawab saja pertanyaanku!!"
Mata Diara memerah, melihat tak tentu arah. Tak sengaja, ia melihat sebuah alat yang hanya wanita bersuami yang memilikinya. Dia mengambil alat tersebut. Terkesiap saat dua garis merah terpampang di alat itu.
"Kau.. menghamilinya?"
**
Diara menangis di dalam kamarnya, yang gelap. Membiarkan TV yang menyala, dengan kebisingannya.
"Rasanya.. Aku ingin memutar waktu saja. Andai, aku bisa kembali pada masa ketika belum bertemu dengan laki-laki brengsek itu—aku ingin menjauh darinya."
Air mata Diara terus menetes tanpa henti. Ia menundukkan kepala. Di detik selanjutnya, ia mengangkat kepala. Melihat ke arah TV. Di mana, film favorit dirinya bersama Hara, tengah di putar. Film jadul tahun 1991, dengan genre komedi.
Kesedihan semakin memuncak. Ia turun dari ranjangnya. Berjalan perlahan, mendekati TV. Jemarinya bergerak pelan, menyentuh tabung TV. Dan—lampu berkerlap-kerlip. Diara tersedot masuk.
**
Pasar rakyat di pinggiran kota itu sangat ramai pengunjung. Lampu dari setiap wahana berkerlap-kerlip. Warna-warni. Gulali kapas. Gorengan. Martabak telur. Mainan plastik. Kios kaset radio. Musik dari salah satu penyanyi ternama kala itu terdengar keras.
Jenuh aku mendengar..
Manisnya kata cinta
Lebih baik sendiri
Bukannya sekali
Sering ku mencoba
Namun, ku gagal lagi..
Usianya baru 14 tahun, tapi dia sudah terkenal di mana-mana. Tapi, sayang keberuntungan hidupnya tak seperti keberuntungannya di dunia musik. Ia meninggal dalam kecelakaan saat usianya masih terbilang sangat muda.
Langit di bulan Juni terlihat cerah. Bintang tersebar. Gugusan bintang beberapa terlihat. Musim kemarau tahun ini cukup membuat kerongkongan selalu kering. Pun daun-daun banyak yang berubah cokelat.
Bunyi deru motor yang buas memekakkan telinga. Ngeri. Tapi, banyak orang yang melongokkan kepala melihat. Memegang erat pembatas kayu di depannya. Agar tidak jatuh ke bawah. Sementara sang pengendara motor berputar-putar pada tembok kayu di depan penonton. Dari bawah, memutar ke atas. Begitu mencapai puncak, penonton mengibar-ibarkan selembar uang kertas yang nantinya akan diambil oleh si pengendara. Seru. Orang-orang menyebutnya tong edan.
Di luar, anak kecil merengek meminta dibelikan balon pada ayahnya.
"Kau, kan tadi sudah beli pistol."
"Aku mau balon. Pokoknya, aku mau balon biru."
Anak itu menangis kencang. Si Ayah hanya mendesah panjang, menggandeng tangannya. Diara muncul dari balik Ayah dan anak tersebut. Mengedarkan pandangan.
"Di mana aku?" gumamnya.
Sementara itu, dari belakang Diara— ada seseorang berlari cepat. Menyenggol bahu Diara. Untuk sesaat mereka saling bertatap muka.
"Randy?" gumamnya, dengan mengernyitkan dahi.
Seseorang itu kembali berlari. Diara pun mengikutinya.
Rambut pendek rapi seseorang itu, basah karena keringat. Entah berapa lama dia berlari. Mimik wajahnya, tampak takut. Dia terus berlari hingga menjauh dari pasar rakyat. Berlari ke jalanan yang sudah sepi. Berhenti di telepon umum, pinggir jalan. Merogoh kantung celananya dengan gemetar. Memasukkan koin pada lubang di atas angka. Menekan beberapa nomor setelah itu. Matanya melihat sekitar.
"Halo.. Siapa ini?"
Suara pria di seberang telepon menjawab.
"Y-yang di katakan Sinta benar. Sepertinya, detektif itu berbohong. Sinta tidak bunuh diri. Tapi, dibunuh!"
"Apa maksudmu? Kau di mana sekarang?"
Pria yang mengenakan kacamata itu diam. Terbelalak. Melihat seseorang berdiri, di bawah penerangan jalan. Separuh wajahnya tertutup kain hitam. Tangannya memegang sebuah golok. Ia menelan ludah berat. Berlari kemudian. Meninggalkan gagang telepon yang menggantung ke bawah.
Angin dingin malam, tak membuat tubuhnya segar. Keringat terus menetes di pelipisnya. Kini ia bersembunyi di belakang gedung bioskop yang sudah sepi. Menangkup mulutnya rapat-rapat. Air matanya terbit. Otot merah halus di matanya mulai terlihat. Nafasnya sangat gugup. Terdengar suara khas sebuah besi yang di gesekkan pada tembok. Mengerikan. Pria itu mulai menangis dalam diam.
"Tolong. Jangan kesini. Jangan kesini," katanya dalam hati.
Siulan tak bernada menambah kengeriannya. Dia semakin menekuk tubuhnya. Dan sunyi. Tiba-tiba saja, suara-suara itu menghilang. Bola matanya bergerak tak jelas. Memasang telinga. Mungkin saja, terdengar langkah kakinya. Tapi, tidak terdengar apa pun. Dia memejam takut. Meyakinkan diri, kalau si pengejar sudah berlalu pergi. Diangkat tubuhnya perlahan. Selangkah. Lagi selangkah. Si pengejar yang akan menjadi malaikat mautnya itu, mengulurkan kepala. Menatap pria itu.
Pria tersebut berteriak. Melangkah mundur. Terjebak.
"Sebenarnya, siapa kau?! Kenapa kau mengincarku? Apa salahku?!"
Si pengejar yang mungkin saat ini bisa di sebut sang pembunuh terus melangkah maju. Tanpa bicara.
"Tolong, jangan lakukan ini. Maaf, kalau aku ada salah denganmu. Aku, mohon lepaskan aku."
Si pembunuh justru memegang erat-erat gagang golok. Di ayunkannya golok tersebut. Bersamaan dengan teriakan menggema dari pria itu.
Darah segar mengalir begitu cepat. Melewati sepatu putih dengan garis 3 warna milik si pembunuh. 2 biru dan 1 merah, di dekat talinya. Pria itu tergeletak dengan mata terbuka. Lehernya hampir putus.
Diara terkesiap. Menutup mulutnya dengan kedua tangan. Berjalan mundur. Dan, menabrak tembok, yang di tempeli poster. Lalu, menghilang.
Keesokan harinya, gempar seluruh kota. Pembunuhan dengan cara yang sama. Di gorok lehernya menjadi pemberitaan hangat. Kali ketiga, pembunuhan seperti ini terjadi. Dalam kurun waktu 3 minggu.