webnovel

Bab 6 Pilih Jurusan Lain

"Apa yang dimaksud dengan program sarjana delapan tahun, program magister dan doktoral dengan sepuluh siswa per kelas?" Esther baru kali ini mendengar Clara mengatakan rencananya di masa depan. Tetapi dia tidak mengerti maksud anak itu. Jadi dia meminta penjelasan sepupunya.

Wajah Lina dan Dimas berubah menjadi merah karena kesal.

"Sudah, tidak perlu membuat teh. Sebaiknya kalian pulang saja." Lina melambaikan tangan karena marah.

Benar-benar anak yang kasar dan tidak tahu sopan santun. Dia tidak mendengarkan saran tetua. Tidak ada gunanya melanjutkan pembicaraan ini.

Esther tercengang, dia tidak mengerti kenapa Lina dan Dimas merasa tersinggung. Clara tidak berkata buruk tentang orang lain. Gadis itu hanya mengatakan keinginannya di masa depan.

'Sepupuku ini bodoh atau apa?' Lina tiba-tiba curiga. Clara bilang dia pasti diterima di fakultas kedokteran terbaik dan ingin menempuh program sarjana, magister dan doktoral di sana. Bukankah mereka memandang rendah Brian yang sedang kuliah di fakultas kedokteran terbaik di propinsi mereka? Wajar saja jika dia dan suaminya marah besar.

Jika Fakultas kedokteran Universitas Garuda adalah fakultas kedokteran terbaik di propinsi mereka, maka Universitas Nasional di Jogja memiliki fakultas kedokteran yang terbaik di negara mereka. Program studi sarjana, magister dan doktoral di universitas itu menjadi incaran banyak siswa. Mereka bahkan menerima mahasiswa asing. Jadi, persaingan untuk menjadi siswa di sana sangat kompetitif.

"Silakan pulang dan pikirkan saran suamiku," Lina memberi saran pada sepupunya dengan sungguh-sungguh.

Tuan rumah telah meminta mereka pulang, jadi Esther segera pamit. Sebelum pulang, Lina mengembalikan buah jeruk yang dibawa oleh sepupunya.

"Sebaiknya kamu membawa jeruk-jeruk ini pulang. Aku tahu keadaan ekonomi di keluargamu tidak terlalu bagus. Aku juga ingin mengingatkan kalian. Sekolah kedokteran itu membutuhkan banyak biaya, terutama di awal. Keadaan ekonomi kalian sungguh tidak memungkinkan. Kalau Clara bekerja di puskemas, gaji yang dia terima pasti sedikit. Tidak ada gunanya belajar kedokteran." kata Lina sebelum berpisah.

Perkataan Lina membuat Esther lemas. Dia benar-benar berpikir Clara sebaiknya mengurungkan niatnya untuk kuliah di jurusan kedokteran.

'Tidak ada gunanya sekolah kedokteran jika Clara hanya menjadi dokter di puskemas.' pikir Esther.

Clara tampak tenang ketika meninggalkan rumah kerabatnya.

"Rara, bagaimana pendapatmu? Perkataan tante dan pamanmu barusan cukup masuk akal. Bagaimana kalau kamu mengubah jurusan? Kita tidak perlu mendaftar ke fakultas kedokteran." Esther meminta pendapat putrinya.

"Mami, kita akan membicarakan masalah ini ketika nilai ujian nasional dan UMPTN diumumkan." Clara tahu tidak ada gunanya membahas masalah ini sekarang. Dia akan menggunakan hasil ujian untuk menunjukkan posisinya.

"Tapi tantemu bilang kamu tidak akan lulus ujian," Esther menggelengkan kepala dengan sedih. Tampaknya dia telah dicuci otak oleh Lina dan suaminya.

'Kalau Mami mengerti tujuan Tante Lina dan suaminya yang sebenarnya, dia pasti terkejut.' pikir Clara dalam hati.

Lina selalu memandang rendah Esther karena memiliki pendidikan rendah dan menikah dengan seorang sopir truk. Mereka merasa lebih superior karena memiliki profesi sebagai dokter.

Setelah sepupunya pergi, Lina mengobrol bersama suaminya.

"Sayang sekali, Clara tidak mungkin menjadi dokter. Dia memiliki wajah yang cantik, mungkin sebaiknya dia belajar menyanyi dan menjadi artis."

Dimas mendengar perkataan istrinya. Dia harus mengakui bahwa istrinya memiliki hati yang jahat. Bukankah dia sedang pamer dan merendahkan kemampuan orang lain?

Lina berpikir dalam hati. Jika Clara mengandalkan wajah cantiknya untuk mencari pekerjaan, dia tidak perlu khawatir anak-anaknya dikalahkan oleh anak seorang sopir truk. Dia pasti akan kesal jika Clara menjadi dokter dan mengalahkan putrinya yang tidak diterima di fakultas kedokteran.

Suara dering telepon memecah keheningan di ruang tamu.

"Dimas, malam ini ada kejadian menghebohkan di IGD." kata suara di ujung telepon.

"Memangnya ada apa?" tanya Dimas.

"Ada seorang dokter muda di IGD yang mendiagnosis pasien dengan aneurisme aorta pecah menggunakan mata telanjang!"