webnovel

Azvara : Magic Forest

Kehidupan Lila berubah seratus delapan puluh derajat saat memasuki tahun kedua di akademi penyihir. Ia yang lamban, susah mencerna materi, dan pemalas harus tertinggal karena nilai total semesternya tidak mencukupi. Kalau hal ini terus terjadi, ia bisa saja tidak naik ke tingkatan berikutnya. Baik dari sisi Lila maupun para penyihir senior di akademi tidak ingin hal itu terjadi. Akhirnya, setelah berunding, kepala akademi penyihir memutuskan untuk mengirim Lila sebagai perwakilan akademi penyihir desa Magus dalam perlombaan bulan merah di Hutan Azvara. Hutan itu terkenal akan makhluk-makhluk abnormalnya. Dan lagi, Lila harus bertahan di hutan itu selama tiga hari bersama Cia dan Aliga. Apa saja yang akan ditemukan Lila kelak?

Yumazthaqil · Fantasie
Zu wenig Bewertungen
40 Chs

(6)

"N-ngomong-ngomong, aku tidak yakin dengan keputusanku untuk mengikuti perlombaan itu."

Ucapan Lila memecah keheningan koridor gedung junior ini. Tanpa ada yang menyangka, suara lirih keluar dari mulut gadis berambut pirang itu. Matanya berkaca-kaca dan mulutnya bergetar ketika mengatakan hal tersebut.

Cia terkejut lalu seketika menoleh ke arah Lila yang memasang muka sedih dan kecewa. "Kenapa?" tanyanya setelah memahami sebaris kalimat yang diucapkan oleh temannya itu. Bukan tanpa alasan gadis kutu buku itu terkejut. Padahal, sejak keluar dari ruangan kepala akademi penyihir tadi hingga sekarang, Lila tampak bersemangat dan antusias sekali mengenai perlombaan itu. Namun tiba-tiba, keadaan hatinya berubah drastis secara cepat dan tanpa aba-aba.

"Aku tidak tahu," ujarnya, "sepertinya benar kata pria yang ada di ruangan kepala akademi bersama kita tadi. Aku nantinya hanya akan menjadi beban saja bagi kalian. Untukmu, perlombaan itu mungkin tidak menjadi masalah. Tapi untukku? Tadi saja aku sudah berbohong kepadanya tentang aku yang bisa menerbangkan sapu terbang. Huaa, Cia, bantu aku!"

Koridor gedung junior sepi dan lengang sekali saat ini. Tidak ada siapa pun di sini kecuali mereka berdua. Kelas-kelas sudah dikunci menggunakan mantra sihir sehingga suara dari luar tidak akan bisa terdengar oleh orang yang berada di dalam kelas. Karenanya, Lila merengek sejadi-jadinya saat ini. "Cia, ajari aku sihir!"

Cia menatap lekat-lekat kedua iris mata Lila. Netra mereka bertumbuk dan sekedipan mata kemudian, Cia memberikan Lila sebuah senyum sehangat mentari. "Tentu saja, Lila."

Lila merasa terharu dengan reaksi yang diberikan oleh Cia. Ia pun langsung menyambar tubuh gadis yang ada di hadapannya dan langsung memeluknya erat. Tubuh Cia yang tidak siap langsung oleng dan terjatuh ke lantai bersama dengan Lila yang kini telah menimpanya. "Huaa, Cia, kau memang sahabatku! Kukira kau akan menertawakan ucapanku tadi lalu mengejekku sampai puas seperti yang sering aku lakukan kepadamu sejak dulu. Huaa, Cia memang orang paling baik yang pernah kukenal," tutur Lila sembari kembali mengeratkan pelukannya.

Cia ikut terenyuh dengan ucapan Lila. Walaupun bodoh, sahabatnya itu memang selalu mengerti dirinya. Setidaknya, meski gadis itu selalu membuatnya jengkel, ia tetaplah sahabat yang paling mengerti isi hati gadis kutu buku itu seutuhnya.

Kedua gadis itu ingin tetap berpelukan seperti ini namun Cia sadar bahwa posisi mereka berpelukan luar biasa janggalnya. Dua orang gadis junior yang sedang berpelukan dengan mesra di lantai tidak akan menjadi halaman utama yang menarik di majalah khusus akademi penyihir. Karenanya, Cia buru-buru berdiri dari posisinya sebelum ada orang lain yang melihat mereka. Lila ikut tersadar, namun responnya jauh lebih lambat daripada Cia.

Adegan berpelukan mereka sangat tidak penting namun waktu banyak terbuang hanya karena satu adegan itu saja. Sebentar lagi waktu istirahat akan tiba dan mereka sama sekali belum masuk ke kelas mereka yang berada di ujung koridor. Dengan cepat, mereka pun meluncur ke kelas mereka.

Sebenarnya, mereka masih diizinkan untuk masuk ke kelas setelah waktu istirahat berakhir. Namun, poin kehadiran mereka tidak akan dihitung dan mereka hanya akan mendapat letihnya saja jika mereka tetap kekeuh untuk memasuki kelas setelah waktu istirahat berakhir.

Tentu saja kedua gadis itu masih menginginkan poin kehadiran dan karenanya, setelah menyadari adanya peraturan tersebut dan juga ditambah dengan waktu yang semakin lama semakin mendekati garis mati, mereka berdua menambah kecepatan lari mereka.

Ting tong!

Bel istirahat berbunyi dan semua mantra yang ada pada pintu kelas telah dihilangkan secara serentak. Murid-murid akademi penyihir berbondong-bondong untuk keluar dari kelas dan koridor yang tadinya sepi sekarang menjadi ramai. Sialnya, Cia dan Lila belum mencapai kelas mereka ketika bel tersebut dibunyikan.

Cia menangis dan menjerit dalam hati. Jika saja adegan haru biru tadi tidak terjadi, poin kehadirannya akan aman dan tidak akan ada lagi konsekuensi yang menantinya kelak. Sementara itu, Lila terlihat biasa-biasa saja seperti tidak menyadari bahwa dirinya telah menimbulkan masalah yang baru lagi kali ini.

Tapi, tak lama kemudian, Lila sadar bahwa ia sudah membuat masalah lagi dan terlebih, Cia terlibat di dalamnya. Ia menunduk dan merasa bersalah karena telah merugikan Cia akibat perbuatannya yang terlampau ekspresif tadi. Namun, Cia bisa menangkap dari ekor matanya jikalau Lila merasa bersalah. Oleh karena itu, tidak ada salahnya baginya untuk menyenangkan hati sahabatnya itu.

"Sudahlah. Karena sudah kepalang basah, lebih baik kita tidak usah masuk kelas saja sampai pulang nanti. Lagipula, kajian setelah ini adalah tentang membuat ramuan sihir, bukan? Aku tidak suka dengan kajian itu. Bagaimana kalau kita berlatih kekuatan sihir saja di lapangan asrama? Sekalian mengajarimu cara menerbangkan sapu terbang juga nantinya. Bagaimana menurutmu?" saran Cia.

Rasa sedih dan perasaan bersalah Lila hilang seketika setelah mendengar perkataan Cia. Senyumnya kembali merekah dan untuk yang kedua kalinya di hari ini, gadis itu kembali memeluk Cia dengan hangat.

"Cia, terima kasih banyak!"