webnovel

Niat Terselebung

"Biar aku tebak, pasti Denny dan Indra yang menyuruhmu datang secepat ini, kan?" tanya orang itu tanpa Arya ketahui namanya.

Sedangkan Arya baru saja berhenti di depannya, namun orang tersebut bukan memperkenalkan diri dengan baik. "Hahaha, sepertinya Anda benar. Mereka berdua benar-benar mengerjaiku."

Mendengar ucapan Arya terlalu formal, laki-laki berumur 20-an tahun tersebut juga mengerutkan keningnya. "Kau tadi bilang 'Anda'? Jangan terlalu formal padaku. Meskipun umurku memang masih di atasmu, tapi aku jauh lebih muda dari mereka berdua."

Arya mengangguk mengerti, merasa terlalu menghormati orang yang baru ia kenal. "Apa Kak Denny dan Kak Indra selalu seperti itu?"

"Yah, kalau mereka berdua kami sendiri juga tak kaget. Kelihatannya mereka berdua memang bukanlah senior yang paling diagungkan pemain lainnya. Hanya saja mereka selalu bertingkah bodoh, eh, maksudku konyol. Bahkan aku saat baru menjadi pemain baru juga terkena jebakannya." Kemudian pemuda itu tertawa mengingat kejadian yang menimpa dirinya tak jauh berbeda dengan Arya.

"Saat itu aku berangkat cepat-cepat, takut ketinggalan bus mengingat Coach Greg sama sekali tak suka orang yang terlambat, kecuali ada kendala penting di baliknya. Sampai saat itu aku benar-benar muak pada mereka sebab banyak peralatan yang belum sempat aku masukan tas dan berujung beli di toko olahraga di samping stadion."

Arya menaruh tangannya di dagu. Cerita orang itu sama sekali tak membuat Arya tertawa, melainkan merasa kasihan. Yah, karena tak ingin terlalu kaku di depan orang yang belum dikenal dengan baik, tak ada salahnya ikut tertawa meskipun terpaksa.

Setelah mereka saling berbincang satu sama lain, alhasil mereka sama sekali tak mendengar diskusi Coach Greg dengan pemain lainnya. Tak hanya sekali orang itu diperingati sang pelatih bahkan sampai terkena hukuman lari memutari stadion sebanyak 2 kali. Sedangkan Arya sama sekali tak terkena imbasnya karena Coach Greg tahu sedari tadi Arya hanya sesekali membuat mulutnya dan fokus mendengarkan apa yang pelatihnya bicarakan.

Mengingat mereka yang terlibat dalam staff dan pemain yang akan mengikuti turnamen satu persatu mulai berdatangan, saat itu pula Coach Greg menyuruh mereka memasuki bus tanpa harus dibimbing. Barisan mulai berantakan dan ada pula yang harus ke kamar mandi terlebih dulu. Di lain sisi Arya sama sekali tak tahu pergi ke mana terlebih dulu, hingga ia memutuskan langsung berjalan ke arah bus, bersama Indra dan Denny yang sudah mendahuluinya.

Namun ketika menaiki anak tangga di dalam pintu bus, tahu-tahu saja ponsel Arya berdering keras, tak hanya mengejutkan pemiliknya. Spontan Arya langsung turun kembali lalu sedikit menjauh dari kerumunan sebelum ia menatap layar ponselnya. Ini pasti suara telepon, pikir Arya tak ragu.

Lantas ia tak pernah mengira jika yang menelpon pacarnya yang belum ia tinggal lebih dari 24 jam.

"Amel?" gumam Arya pelan lalu menjawab panggilan darinya. "Halo, Mel. Ada apa?"

"Halo, Arya. Kamu sudah sampai di Jakarta? Kenapa suara di sekitarmu terdengar bising?" tanya Amel memastikan.

Arya memandang sekeliling, namun tak ada suara apapun yang benar-benar bising di telinganya. "Mungkin karena aku di luar ruangan. Dan aku belum sampai di Jakarta."

"Oh, begitu. Kapan kau akan berangkat? Apa aku bisa bicara denganmu?"

"Tapi kita baru saja bertemu kemarin. Sekarang teman-temanku sudah mulai memasuki bus, kami sebentar lagi berangkat."

"Benarkah? Astaga, aku pikir kau sudah sampai Jakarta. Kalau begitu kirim pesan padaku kalau kau sudah sampai."

"Oke, aku janji."

Kemudian Arya menutup panggilan itu tanpa menunggu jawaban dari pacarnya. Sejenak Arya sempat tersenyum kecil lalu kembali mendekati bus. Detik berikutnya, ia baru sadar suatu hal yang benar-benar mengganggu pikirannya sekarang.

"Obrolan kami tadi… sama sekali tak terdengar seperti sepasang kekasih." Arya menggaruk kepalanya lalu cepat-cepat melupakan hal tersebut. Arya hanya takjub pada dirinya sendiri yang sudah terbiasa berbicara dengan Amelia, begitu juga berlaku untuk sang pacar. Sedangkan saat itu mereka berdua masih sedikit malu-malu walau tangannya sama sekali tak bisa berbohong.

Para rekan dan staff yang sudah memasuki bus telah duduk di tempat masing-masing. Pada turnamen ini hanya menggunakan satu bus saja dengan menggunakan bus dengan kapasitas lebih dari 40 kursi. Arya tak punya pilihan selain duduk di paling belakang bersama dua seniornya yang baru saja mengerjainya beberapa menit lalu.

Ingin menghindar pun juga tak bisa, tangannya tiba-tiba ditarik ketika ia memilih duduk di depan bersama pemain-pemain lainnya.

"Kau jangan menghindari kami, ya. Aku tahu kau kesal karena datang seperti orang bodoh tapi angggap saja semuanya sebagai candaan."

"Denny benar, Yak. Yang menjadi korban tak hanya kau saja, sebelumnya orang yang bicara denganmu tadi jauh lebih parah dibanding kau yang masih diperlakukan baik oleh Coach Greg."

Arya menggeleng pelan lalu duduk di tempat yang belum terpakai. Disampingnya tak ada siapapun, namun di seberangnya sudah ada dua orang yang paling heboh menurutnya. Arya pikir ini sudah lebih dari cukup agar dirinya terhindar dari keramaiannya yang semakin menjadi.

***

Helaan napas keluar dari mulut gadis seumuran dengan Arya. meskipun napasnya terdengar panjang, namun tak ada rasa kesal atau marah di raut wajahnya. Bahkan ketiga teman dekatnya sampai heran melihat perubahan mukanya yang begitu drastis.

"Perasaan tadi muka lo suram, tapi kok tiba-tiba jadi ceria begini?"

"Tidak apa-apa. Kelihatannya lo juga penasaran apa yang terjadi sama gue."

"Sudah pasti! Kita sudah berteman lama dan baru kali ini melihat wajah lo seperti itu? Lo habis bicara dengan siapa tadi?"

"Bukan urusan lo juga. Orang yang gue telepon itu orang yang paling lo berdua benci."

"Orang yang kami benci? Memang siapa?"

"Enggak usah sok bodoh. Coba lo berdua pikir siapa orang yang paling dibenci tapi sangat dekat dengan Amel?"

Lantas atas suruhan temannya, kedua gadis lainnya berpikir keras, mencari tahu siapa sosok yang dimaksud Amel. Tak sampai 10 detik, mata mereka berdua sama-sama terbelalak saking tak menyangkanya.

"Orang yang dekat sama lo tapi kami paling benci… bukannya orang itu? Yang pernah coba nyium-nyium gue?"

"Menurut lo?"

Mereka berdua spontan saling memandang sembari menganga, lalu kembali memandang Amelia yang sedari tadi menahan tawanya.

"Gila lo, ya! Bisa-bisanya orang mesum kayak dia bisa bikin kayak gini! Lo diapain sama dia sampai jadi begini?!"

"Benar, tuh! Jangan-jangan lo justru suka sama orang mesum kayak gitu dan menyuruhnya nyium lo juga?! Dih, najis banget sumpah!"

"Sialan lo! Gue enggak semurahan itu juga! Selagi dia jadi pacar gue, kayaknya gue enggak keberatan kalau dia nyium gue?"

"Haa! Lo sama orang itu pacaran?!" sontak terkejut kedua temannya itu