Hari kedua di Perbatasan. Semalam, Yuuka dan Ririka mengigau dan memperebutkanku sebagai bantal peluk. Ririka sih masih hanya memeluk, kalau Yuuka berputar seperti gasingan tiap beberapa menit, sehingga aku tidak bisa tidur sama sekali.
Sepertinya aku memang tidak bisa merasakan sakit, akan tetapi rasa lelah masih ada. Jadi bukan hanya lapar, tapi kita juga bisa lelah ya?
Aku sudah beberapa hari sulit tidur setelah kehilangan orang tuaku, tapi masih setidaknya empat jam per hari. Baru semalam pertama kalinya aku bisa tertidur kurang dari satu jam sebelum Yuuka mulai berputar seperti gasingan.
"Ohayou, Mii-nee," sapa Ririka yang menengadah ke atas melihat wajahku. Dia terlihat masih mengantuk.
"Ohayou," balasku.
"Sekarang, kita sama-sama korbannya Onee-chan."
"Iya. Kamu hebat sekali bisa sabar selama ini. Aku saja tidak bisa tidur setelah dia mulai... berputar?" kataku.
Ririka menggelengkan kepala, lalu berkata "kami tidur di kamar sendiri-sendiri, semenjak datang ke tempat ini. Sedekat apa pun, aku tidak pernah bisa tidur nyenyak dengannya," balas Ririka. Bahkan orang terdekat pun tidak bisa tahan, aku rasa orang yang akan menikah dengan Yuuka harus memiliki mental dan kesabaran yang kuat. "Semalam, aku bisa tidur, karena Mii-nee sangat hangat dan sangat lembut. Sangat nyaman. Ini pertama kalinya aku merasa seperti ini, meski tidur dengan Onee-chan," lanjut Ririka.
"Ternyata selama ini itu yang kamu pikirkan, Lily(リリー)!? Jadi itu alasan kenapa kamu mendadak minta tidur sendiri-sendiri!?" Yuuka sepertinya sudah terbangun dan sempat mendengarkan keluhannya Ririka.
Yuuka memanggil adiknya seperti itu dalam katakana karena terdengar seperti nama bunga, dan untuk menghindari kebingungan karena nama Ririka(花) hanya terdiri dari satu kanji yang sama persis dengan satu kanji dari namanya Yuuka(優花).
"Salah Onee-chan sendiri," Ririka memeluk lenganku dan membuang muka dari Yuuka, kemudian balik melihatku. "Iya kan, Mii-nee?"
"... Ahahaha..." karena canggung, hanya tawa seperti itu yang bisa keluar dari mulutku.
"Nozomi-nee dan aku, mana yang lebih kamu suka!?" Yuuka berteriak, langsung ke telingaku. Yang ingin kamu tanya Ririka, jangan malah teriak di telingaku!
Tapi... uwah, aku sering sekali mendengar Mama melakukan itu ke Papa saat cemburu karena Papa terlalu lama memanjakanku dan tidak memberikan waktu untuk Mama. Biasanya di Sabtu malam pada pekan itu, mereka pergi keluar berdua dan menyuruhku menjaga rumah. Pagi hari biasanya mereka pulang, Mama menempel ke Papa, sedangkan Papa terlihat cukup lelah dan mengantuk. Meski begitu, Papa tetap menemaniku menonton Pengendara Bertopeng pagi sebelum akhirnya tergeletak di atas kasur seharian.
Aku tidak tahu apa yang mereka lakukan, tapi aku sangat senang tiap kali mereka berbaikan. Akan tetapi aku juga tidak pernah mendengar Papa menjawab pertanyaannya Mama dengan jelas di hadapanku.
"... Onee-chan... jahat..." Ririka yang kebingungan jawab, mulai terisak. Sepertinya dia tidak bisa menjawab.
Yuuka berdiri dan melompat ke sisi Ririka, dan memeluknya. "Waah, maaf! Iya, iya, Onee-chan yang salah! Jangan menangis lagi, dong!" Ternyata dia bertingkah seperti seorang kakak, lebih dari yang aku kira.
Ririka masih menangis untuk beberapa saat, dan di tengah-tengahnya aku merasa kalau dia berkata... "... gampangan..."
... Aku merasa mendengar sesuatu yang seharusnya tidak aku dengar. Ternyata anak ini tahu benar cara memanfaatkan posisinya sebagai adik. Benar-benar menyeramkan.
"Kalau begitu, aku akan masak. Kalian berdua mandi dulu dan ganti baju, ya."
""Baiiik!""
Aku menuju ke dapur, meninggalkan keduanya untuk memasak.
<X >
Karena di pagi hari, aku akan buat makanan yang ringan.
Masih ada sisa dari kemarin malam di dalam mesin penanak nasi. Masih empuk, tapi dingin. Bisa dihangatkan, akan tetapi nasi yang dihangatkan ulang dua kali tidak terasa seenak nasi yang baru matang.
Kebetulan juga aku sudah meminta Kazu-oji-san untuk membeli beberapa bahan makanan yang umum kemarin sampai kulkas terisi separuh.
Kebetulan ada pot nabe di dalam lemari... yang agak berdebu, jadi aku segera mencucinya.
"Sepertinya aku harus memasak itu."
Aku meletakkan pot nabe di atas kompor, kemudian menyetel api dengan cukup tinggi supaya bisa mendidih lebih cepat. Begitu mendidih, aku mengeluarkan semua nasi yang masih empuk dari mesin penanak nasi dan memasukkannya ke dalam pot nabe. Aku juga memasukkan miso1 putih dan kaldu ikan bonito secukupnya, serta irisan-irisan sosis ayam. Aku mengecilkan api ke rendah, dan mulai mengaduk-aduk nasi menggunakan sendok sayur. Proses ini dibutuhkan setidaknya setengah jam bila dimulai dari beras, akan tetapi karena nasi sudah lembut, aku hanya memakan waktu 15 menit.
Aku memotong daun bawang dan meletakkannya ke dalam mangkuk kecil supaya nanti bisa ditambahkan sesuai dengan selera.
"Jadilah, bubur miso dengan sosis ayam! Walau mungkin rasanya akan sedikit lebih kuat dari yang aku perkirakan..."
"Baunya harum!" seru seorang laki-laki.
Sepertinya aku terlalu fokus, sampai aku tidak sadar bahwa Reiji sudah duduk menanti di meja makan kalau dia tidak mengatakan itu. Situasinya kebalikan dari kemarin, apakah dia membalasku untuk yang kemarin...?
... Tidak, dia sudah menunggu dengan sendok di tangan. Dia hanya ingin makan.
"Anu... maaf soal kemarin, ya." Aku meminta maaf untuk jaga-jaga.
"Tidak masalah! Apakah sudah jadi? Apakah aku boleh makan?" Dia membawa mangkuk yang kusiapkan di meja, dan mendekat ke kompor, berniat mengambil sendiri.
Aku menepis tangannya dengan pelan sebelum dia bisa memegang sendok sayur. "Masih belum boleh, lidahmu bisa terbakar! Beda dengan kare kemarin yang cuma dihangatkan, ini benar-benar masih panas!" tegurku.
"Tapi aku sudah la-"
"Meski kamu lapar, aku sudah mencoba menyendok saat air masih hangat. Kulit tidak bisa merasakan panas, akan tetapi lidah bisa merasakannya. Dalam kata lain, entah kenapa organ kita untuk makan masih bekerja di sini. Aku tidak ingin ada yang terluka karena makanan yang panas, dan aku ingin kalian menikmati karena aku sudah menghabiskan waktu untuk membuatnya!" kataku dengan cepat, tidak memberikannya waktu untuk protes.
Reiji terdiam sejenak, sebelum akhirnya bilang "Kamu sangat laki-laki sekali! Baru pertama kali ini aku melihat perempuan sepertimu!"
"Aku senang kamu berpendapat demikian..." karena aku sendiri suka Pengendara Bertopeng... "Akan tetapi itu bukan suatu pujian yang tepat untuk perempuan."
"Laki-laki sekali, Shishou! Sosokmu memasak sangatlah keren! Tolong ajari juga aku cara memasak!" katanya dengan semangat.
"Hentikan! Juga, apa maksudmu dengan 'Shishou2'!?"
"Aku belajar dari adegan di manga koleksi Kazu-nii."
"Maksudmu... dia membeli barang pribadi dengan sesuatu yang dia sebut 'poin' itu?"
"Lebih tepatnya, kamarnya untuk saat ini selalu terbuka setelah makan siang sampai malam sebagai perpustakaan untuk semuanya, selain meja belajar dan kasur. Tidak hanya manga, novel dan light novel juga ada. Kudengar dia membeli buku-buku tersebut atas rekomendasi dari beberapa penghuni sebelumnya."
"Oh... jadi begitu..." kataku dengan nada lesu karena aku masih belum begitu paham cara kerjanya 'poin' ini. Mungkin aku akan tanyakan nanti.
"Semuanya terkesan baru untukku. Maksudku, aku hampir tidak punya akses untuk sesuatu yang umum. Semua hal yang kutahu berasal dari semua orang yang terlibat dengan sekte itu... sampai aku bisa melihat hantu dan tahu bahwa aku sebagai anak bungsu, ternyata dibesarkan hanya untuk ditumbalkan dalam ritual."
... Berat...! Aku penasaran kenapa Reiji bisa sesemangat ini membicarakan sesuatu yang wajar, tapi cepat sekali pertanyaanku terjawab. Aku benar-benar lupa sesaat soal latar belakangnya, terlalu berat untuk menolaknya...
"Satu-satunya kenangan indah adalah saat aku di rumah teman sekelasku, menonton acara pahlawan di minggu pagi, dan lewat DVD. Kami beberapa kali main meniru adegan dan pose perubahan. Sayang sekali aku segera dilarang main dengan teman sepulang sekolah oleh ayahku."
... Meski semuanya berakhir di sini karena kehilangan semangat hidup, semuanya pasti memiliki kenangan yang indah. Acara pahlawan di minggu pagi adalah yang terbaik untuk memulai hari minggu, dan menikmati karya-karya dulu lewat DVD bersama Papa juga sangatlah seru... kami juga sama-sama bermain meniru adegan dan pose perubahan...
"Tunggu, Pengendara Bertopeng!?" tanyaku begitu sadar, karena pikiranku terlalu fokus memikirkan kalimat apa yang harus aku katakan setelah mendengar ceritanya yang berat.
Dia juga tampak terkejut dan membuka matanya lebar-lebar. "Jadi gaya rambutmu itu juga..."
Aku mengangguk beberapa kali dengan cukup cepat, dan menyetel sedikit rambutku ke samping kiri. Reiji mulai tersenyum lebar melihatku... kemungkinan aku juga.
<X >
Peraturan Perbatasan sejauh ini:
1. Anak-anak yang kehilangan semangat hidup bisa masuk ke sini.
2. Tidak bisa terluka secara fisik maupun mati. Entah kenapa organ untuk makan masih bisa merasakan panas.
3. Ada listrik, perabotan, dan bahan makanan.
4. Kebahagiaan penghuni bisa menjadi poin untuk belanja di supermarket online instan tanpa kurir.
5. Penghuni punya kamar masing-masing, dan pintu kamar hanya bisa dibuka oleh pemilik kamar.
Memang rasa gemas saat melihat anak-anak sulit untuk ditahan. Rasanya ingin mendengar mereka tertawa bahagia.
Btw, maaf karena masa lalu Reiji berat. Akan tetapi penggambarannya akan lebih mengerikan nantinya.