Setelah menerima serangan pertama dari pasukan Langit, para Dubalang Parisai mulai berjalan maju, perlahan menuju musuh jauh di depan sana. Langkah tegas mereka membuat bumi bergetar, menggelegarkan suara layaknya letupan petir. Pasukan Langit tetap tiada hentinya menghantam mereka dengan sihir, walau sayang, tak satupun mampu menyisakan gores.
"Apa-apaan perisai berlian itu!? Bukankah berlian setipis dan selebar itu tak seharusnya sesusah ini untuk di pecahkan!? Mereka bahkan lecet saja tidak!" Salah seorang Manshira mengoceh panik, keringat terus bercucuran dari kepalanya.
"Itu berlian dari intan suci, bukan berlian biasa. Berlian itu sungguh kuat hingga hanya kekuatan elemen tanah saja yang mampu mengangkat mereka dari tambangnya."
Parjanya turut melontarkan sihir bersama pasukan lainnya, namun raut wajahnya sama sekali tak tergoyahkan. Ia seakan sadar akan betapa tiada artinya segala penembakan ini.
"Bukankah ini tak adil Profisa!?"
"Tak ada yang namanya keadilan dalam perang, dek... ah tunggu." Mendadak Profisa muda itu bergeming. "Apa yang aku pikirkan? Kita tidak sedang berperang di dalam kota!"
Kini tersadar akan kelebihan pasukannya, Parjanyapun mengirimkan regu Angin Muticus (pasukan penyihir Angin) untuk berteleportasi ke belakang perisai para Dubalang dan menembakkan sihir mereka, semenjak angin adalah kelemahan utama Ambawak.
"Sekarang!"
Mengikuti arahan sang Profisa, sekumpulan cahaya abu-abu muncul dari tanah tempat Muticus berpijak, seketika cahaya itu mengkilat dan mereka tak lagi berpijak di sana.
Dari balik pasir dan debu yang terbawa angin, para Muticus seketika muncul di belakang Dubalang Parisai, dengan masing-masing dari mereka menyalakan sihir angin tingkat 5 ke atas yang memiliki dorongan besar guna merusak kekokohan barisan para raksasa tanah itu.
Misil-misil, tornado, ombak angin pun dengan cepat melesat, menerjang punggung terbuka para Dubalang.
*Sffh!*
Namun tiba-tiba saja, perisai-perisai cahaya muncul dan menghentikan tiap jerih upaya mereka.
"Apa!? Musisi-musisi sialan itu!" Melihatnya Parjanya menggeram, menghentakkan kakinya kesal ke tanah.
"Hah...? Suara ini?" Para penyihir angin yang baru saja melompat mendengar letupan panas dari getaran angin yang merambat di belakang mereka.
Tak lama pun, terlihatlah ratusan cahaya oranye berkilau dari atas tembok Sfyra.
*Shiu* *Shiu* *Shiu*
Peluru-peluru api datang menembus badan-badan rentan para Muticus dalam sekejap mata. Semua Ilmuan Langit Muticus tersadar akan reaksi angin di sekeliling mereka dan berhasil kabur dari hujan maut tersebut. Akan tetapi banyak dari para klon yang tumbang begitu saja.
Di sisi lain, barisan Dubalang Parisai masih merayap tegap menuju barisan pasukan Langit. Dan selebihnya lagi, Amartya sudah lenyap dari pandangan, menyisakan sekumpulan kupu-kupu api berterbangan pada tempatnya sebelumnya berada. Di ruang strategi pasukan Daratan, kumpulan lain dari kupu-kupu api datang, yang kemudian bersatu menjadi sebuah kobaran yang memunculkan Amartya.
"Nampaknyo penyambutan berjalan cukup baik Tuan Penguasa." Ucap Cronus yang dapat dengan jelas mendengar kegaduhan di luar ruang strategi.
"Ya, bisa dibilang." Dari kedatangannya, Amartya langsung merapihkan sekumpulan logam di atas meja pada pusat ruangan ini.
"Naema, tolong buatkan replika medan pertempuran di meja strategi."
Mengangguki permintaan itu, embun-embun dingin pun muncul dan lekas membeku, membentuk replika medan pertempuran dalam skala kecil namun tepat dan bergerak secara langsung.
"Rancaknyo! Bagaimana bisa tepat sekali, padahal kamu hanya melihatnya dari satu sisi." Rhea tampak terkagum-kagum.
"Salah satu dari kesembilan Manguni terhubung langsung dengan kelurga utama, dan semenjak Naema kini telah menjadi istriku, dia juga mampu melihat dari mata Manguni ini." Jelas Amartya.
"Burung Manguni benar-benar luar biasa ya."
"Ya aku bisa bilang apa... mata Manguni melihat segalanya."
"Tunggu,deh… jangan bilang kakanda ingin cepat menikah hanya untuk ini!?"
Amartya tersentak panik, ia memalingkan pandang bersama keringat dingin bercucuran deras dari wajahnya. Namun di antara kecanggungannya, kemudian terdengarlah suara gagang pintu ruang strategi ditarik kuat.
"Ei… alun mulai." Muncullah dari baliknya sesosok pria besar dengan rambut coklat meliputi dagu, wajah dan kepalanya.
"Sebenarnya Anda sedikit terlambat Yang Mulia."
Pria itu berjalan dengan lebarnya mendekati meja strategi. Badannya begitu besar, menempatkan kepala Amartya hanya sejajar dengan pahanya. Lengan dan kakinya keras dipenuhi otot-otot yang menggunung, bahunya lebar dan mengintimidasi, dan setiap langkahnya membuat bumi bergetar.
Kepalanya memajangkan mahkota berlian yang memancarkan tujuh warna, tubuhnya terselimutkan pakaian bertabur ratna yang berkilauan, dan punggungnya menyeretkan jubah yang berajutkan berbagai ukiran berlian. Ia melihat ke arah Amartya dengan mata hijaunya, sementara rambut dan janggut coklatnya terayun-ayun karena gerak kepalanya yang massive.
"Bagaimana perkembangannya, nak?"
"Pasukan Langit memulai penyerangan terlebih dahulu (ya walau aku duluan yang ngebunuh orang mereka), namun kini kita sudah membawa para Dubalang Parisai untuk maju ke barisan depan lawan."
"Kamu jadikan orang-orangku tameng kalian? Kamu ingin mengorbankan mereka atau bagaimana?"
"Yang Mulia tahu sendiri kan, para Dubalang tak akan menjadi korban utama di pertempuran ini?"
"Apa!? Bagaimana jika mereka terluka atau mati begitu saja?"
"Yakin hal itu akan terjadi?" Amartya menatap wajah Raja Alam dengan penuh sindiran, walau ia jelas kesulitan melihat ke atas karena perbedaan tinggi mereka yang teramat jauh.
Sang Raja menghela nafas, lalu terpampanglah seuntai senyuman lebar, "Seberapa hatam kah dirimu mengenai Dubalang, nak Amartya?"
"Lebih hatam dari Anda pastinya." Pemuda itu tersenyum menantang, ia jelas merendahkan pria raksasa itu.
"Hohoho? Kalau begitu tahukah kamu akan ini?" Sang Raja memasang alat komunikasi magnetik dan mulai berbicara.
"Tanduak barlian, menarajang bagai kabau!"
"Dimengerti, Yang Mulia! MENARAJANG BAGAI KABAU!"
Parisai para Dubalang mendadak memunculkan dua tanduk kerbau berlian raksasa mencuat di mukanya. Di saat yang sama, sekujur kuda-kuda mereka berubah dan bergegas berlari menerjang ke arah pasukan Langit.
"Wah mengapa terburu-buru Yang Mulia, perlukah Anda membuat situasi menjadi sedemikian menarik secepat ini?"
"Pertanyaanmu terlalu naif, nak Amartya?"
Pasukan Langit seketika menjadi panik, dan para penyihir es segera berbondong-bondong memasang dinding-dinding es tebal untuk menghalangi terjangan para Dubalang.
"Setidaknya ini akan cukup untuk mengurangi momentum mereka, tambah dinding lagi di belakangnya!"
Melihat upaya pertahanan dari lawannya, Amartya lekas mengontak Ester dan meminta para Sarma untuk memperkuat daya hantam perisai Dubalang.
"Laksanakan, Kang Amartya."
Gadis-gadis Alam itu kemudian mengangkat telapak kanan mereka, dan mengarahkannya pada barisan para raksasa yang tengah menerjang.
[Sihir Penguat]
[Tingkat 4 Ekstensi]
"(Perkuat Hantaman)"
"Collisia Enchantra!"
Cabang pepohonan pun menjalar pada perisai Dubalang, darinya tumbuh bunga yang mengeluarkan kunang-kunang merah muda. Mereka memberkahi para Dubalang dan membuatnya berkilauan cahaya yang sama.
*KRASH!*
Dengan kokohnya, Dubalang Parisai lalu menabrak dinding-dinding es yang dihadapkan pada mereka. Dinding-dinding itu pecah dan melontarkan serpihan mereka ke segala penjuru. Para Dubalang berhasil menerobos, akan tetapi pergerakan mereka melambat akibat tabrakan tersebut.
♪ A Tempo… ♪
Jam ungu mendadak berputar di atas kepala para Dubalang Parisai, dan seketika itu juga kecepatan mereka kembali seperti sedia kala, dan kini mereka lanjut menerjang ke arah lawan. Musik DiVarri memperbaiki keadaan.
"Musisi biadab benar-benar merepotkan!" Geram si Profisa, ia menggenggam tongkatnya erat, seakan ingin meremuknya hingga patah.
"Panggilkan aku kembali para Muticus!"
"B-Baik, Profisa!"
Mengikuti perintah Parjanya, penyihir-penyihir angin pun meniupkan angin kencang ke arah para Dubalang, yang mendobrak balas perisai mereka. Kini para raksasa itu terjebak berjalan di tempat, berusaha melawan dorongan dari sang angin yang gayanya terlalu kuat untuk dilawan perisai dengan luas permukaan sedemikian luasnya.
"Apa-apaan itu!?" Terkejut lah sang Raja.
"Wah Parjanya, aku terkesan, seperti apa yang diharapkan dari seorang Ilmuan sesungguhnya." Meski apa yang diucapkannya, raut wajah Amartya sama sekali nampak tak terhibur dengan angin yang menerjang ke arah mereka.
"Onde mande, terus gimana sekarang?"
"Tenanglah Yang Mulia, angin itu mungkin menghentikan Dubalang saat ini, namun nampaknya Parjanya tidak mengerjakan PRnya dengan benar."
"Mukasuiknyo?"
"Ya lihat saja."
Amartya meminta Dubalang untuk mendorong balik angin itu sekuat mungkin dan terus berusaha menerjang ke garis depan pasukan Langit. Lalu setelah sekian lama mendorong, akhirnya mereka mencapai puncak daya dorong mereka dan mulai mampu untuk maju selangkah demi langkah.
"Kamu ngapain nak? Iya mereka maju tapikan gak akan ada efek ke barisan lawan."
"Percaya saja padaku yang muli—" Namun tiba-tiba saja jidat Amartya mengkerut.
"Oksigennya… Maliani— tak ada waktu, ADINDA!" Amartya menunjuk tajam ke arah salah satu barisan Dubalang Parisai, menghantam jarinya pada replika medan tempur di atas meja strategi.
Naema membuka mulut hendak menjawab, namun melihat rautnya ia turut sadar, ia bahkan tak punya waktu untuk membalas.
[Sihir Es]
[Tingkat 3]
"(Perisai Es)"
"Is Kelung!"
Tiba-tiba saja terdengar suara ledakan yang teramat besar menggelegar dari arah barisan Dubalang. Tempat itu sekejap dipenuhi debu dan serpihan-serpihan tanah yang ikut meledak. Para penyihir angin memaksakan gelombang tekanan yang kuat sehingga terbentuk ledakan tanpa api berkecimpung di dalamnya.
Debu yang menggumpal pun akhirnya pudar, namun betapa kagetnya Parjanya melihat perisai-perisai Es hadir melindungi para Dubalang dari ledakan.
"Lah! Kok mereka bisa tahu?" Parjanya kembali menggurutu dalam kekesalan.
"Aku dengar Genka mampu melihat pergerakan oksigen, Profisa."
"Tetap saja, seharusnya mereka tidak bisa merespon secepat—" Tiba-tiba Parjanya menghentikan ocehannya dan tersadar akan satu faktor yang membuat salah langkahnya.
"Ah... tentu saja, perempuan sial itu, kenapa sih dia harus terlahir ke dunia ini!? perang ini ada karena dia!"
Tanpa mereka sadari tanah yang hancur mulai kembali ke letak awalnya, dan karenanya, Dubalang Parisai pun terus melanjutkan langkah mereka.
Sementara itu di ruang strategi, Amartya dan Raja Alam terkapar lemas di lantai dengan nafas terengah-engah, setelah panik melihat ledakan tadi. Naema yang bingung melihat tingkah 2 pria dewasa di hadapannya itupun, tak kuasa menahan diri tuk bertanya pada raksasa di sampingnya.
"Uhh, ngomong-ngomong Rhea… apakah Amartya dan Raja Alam memiliki hubungan yang dekat?"
"Hm? Bisa dibilang. Yang aku jelas tahu Abak dan Amartya sering berduel strategi semenjak kecil."
"Maksudmu? Berduel strategi bagaimana?"
"Kamu tahu kan, manusia cenderung kebal terhadap elemennya, karena hal ini, Amartya dan Abak sering bersimulasi perang menggunakan para Dubalang, ya kayak catur hidup gitu."
"Kalau begitu, bukannya seharusnya Amartya memiliki pengetahuan luas mengenai Dubalang, mengapa dia terlihat seperti baru bertemu Dubalang ketika berbicara soal perlengkapan perang dengan mereka?"
"Mungkin dia hanya mengetes seberapa percaya mereka terhadap pemimpin baru, karena saat ini adalah masa perpindahan tenaga militer dari generasi ke dua ke generasi ke tiga, jadi bisa dibilang seisi pasukan di sini menghadapi perang perdana mereka."
"Begitu… sepertinya hanya para Jawara dan musisi yang memiliki pengalaman langsung berperang." Ujar Narma.
"Atau, mungkin juga Amartya hanya iseng dan berusaha menakut-nakuti para Dubalang muda." Rhea tertawa geli.
"Lalu, dari duel strategi ini, sudah berapa kali kakanda kalah?"
"Tentu saja..."
"Nol."