Lima tahun berlalu semenjak bereinkarnasi.
Anka bersama Gorgori sedang berburu di hutan selatan desa Ruca. Bukan tanpa alasan Gorgori membawa Anra untuk berburu, anak umur lima tahun tidak sepantasnya untuk melakukan itu, namun Anra berbeda. Bakatnya dalam ilmu pedang sudah terlihat saat umurnya tiga tahun, Gorgori juga mengakuinya sebagai anak yang berbakat. Hingga dia melatih Anka selama dua tahun terakhir, tentu dengan porsi latihan yang wajar untuk anak seusia Anra. Gorgori juga tidak ingin melatihnya dengan keras, dia menyayangi Anra sebagai cucunya dan tidak mau memaksa Anra jika tidak dari kemauannya.
"Sesuai dengan rencana yang kita bicarakan tadi. Aku akan memancing mereka keluar, sementara kau yang akan menghadang mereka dan membunuhnya! Babi hutan bukan lawan yang susah kan untuk mu?"ucap Gorgori pada Anra disampingnya.
Dihadapan mereka sudah ada dua babi hutan yang sedang berjalan.
"Tentu saja kek! Mereka tidak lebih dari semut dihadapan ku!"balas Anra percaya diri.
"Jangan terlalu percaya diri, nanti kau bisa lengah saat melawan mereka."ucap Gorgori pergi ke sisi berlawanan.
Gorgori berlari ke sisi lain, lalu keluar dari semak-semak untuk memberi kejutan pada dua babi hutan. Kedua babi hutan yang terkejut lantas berlari menjauhi Gorgori, Gorgori mengejar mereka sambil menakut-nakuti dengan pedang yang dia pukulan ke perisai.
Seratus meter, lima puluh meter, hingga tiga puluh meter dari tempat Anra bersembunyi. Dia keluar dari semak-semak memberi kejutan, dua babi hutan sempat terkejut, namun mereka terus berlari mengarah Anra. Dari jarak sepuluh meter terakhir, Anra menarik pedang dari sarungnya, lalu dalam satu kedipan mata, dia menebaskan pedangnya dengan tiga kali ayunan. Tiga tebasannya tepat mengenai kedua tubuh babi hutan, saat sudah tidak berdaya, Anra langsung menusuk mereka yang terbaring di tanah.
"Kerja bagus Anra!"ucap kakeknya memeluk, gembira.
"Kakek, bisa lepaskan sekarang! Tubuh kakek penuh dengan keringat."ucap Anra mencoba melepaskan diri.
"Ayo kita pergi menuju desa."ucap Gorgori melepas pelukannya.
Mereka pergi keluar hutan dengan hewan buruan yang sudah didapat. Seperti biasa Gorgori disapa baik oleh para penduduk sekitar, Anra juga sering disapa oleh mereka, terkadang mencubit pipinya karena lucu, yang membuat Anra merasa kesal setengah mati.
Sesampainya di rumah, Gorgori pergi ke dapur dengan membawa babi hutan yang mereka tangkap. Mengulitinya lalu dimasak untuk dimakan saat siang.
Anra juga ikut membantu setelah babi hutan selesai dikuliti. Tugasnya adalah mencincang daging hingga menjadi halus, sementara Gorgori yang menyiapkan api dapur.
Daging babi yang sudah dihaluskan, Anra beri bumbu dan bawang yang sudah dihaluskan. Adonan daging dia aduk secara merata agar bumbu menyebar, setelahnya adonan di bentuk menyerupai bola dan dipipihkan. Anra terus melakukan hal yang sama, sampai semua adonan daging membentuk lingkaran pipih.
Gorgori mengambil semua daging yang sudah dibentuk, dia lalu memasukkannya ke wajan panas yang sudah dilumuri minyak sebelumnya. Tiga menit berlalu, dia membalik daging ke posisi lain. Aroma daging susah meresap di hidung mereka, meski hanya menggunakan bumbu-bumbu sederhana, tapi aromanya sangat menusuk saat dihirup. Tiga menit berikutnya, daging diangkat dari wajan, lalu diletakan di piring yang sudah diisi oleh beberapa roti. Warna coklat mengkilat tanda daging matang merata, minyak yang keluar dari pori-pori daging membuat mereka tidak sabar untuk mencobanya.
Di meja makan ruang dapur, makanan yang sudah disiapkan disusun dengan rapi.
"Kakek tidak menyangka bisa memakan ini setiap hari!"ucap Gorgori sambil melahap daging makanan mereka."Sebelum kakek hanya makan roti dengan daging buruan keras dan sulit digigit . Semua berkat Anra yang menemukan cara untuk membuat ini!"tambahnya dengan mulut penuh.
"Tapi besok kakek tidak boleh makan daging, terlalu sering makan daging bisa berbahaya untuk kesehatan, terlebih kakek sudah tua!"ucap Anra santai memakan daging.
"Tidak mau! Kakek mau makan ini lagi besok. Kakek juga tidak tua!"ucap Gorgori seperti bocah.
"Berhentilah bersikap seperti anak-anak dihadapan ku! Apa kakek tidak malu mengeluh pada anak kecil?"
"Iya-iya!"balas Gorgori terlihat murung. Dia terlihat seperti bocah daripada Anra.
Satu jam setelah makan siang, di lapangan kosong. Anra dan Gorgori sedang berlatih pedang dengan cara berduel.
"Kakek, tolong lebih serius saat melawanku nanti!"ucap Anra dengan pedang kayu di tangan kanannya dan perisai di tangan satunya.
"Apa kau serius? Kakek mungkin sudah tua, tapi kakek bukan orang biasa saat serius!"balas Gorgori memastikan.
"Tentu saja serius! Kalau kakek terus menahan diri, aku jadi bosan saat berlatih."ucap Anra percaya diri.
"Kalau terluka jangan nangis ya."
"Aku tidak akan terluka."ucapnya tegas.
"Lagi pula aku tidak mungkin terluka saat terkena serangan fisik, semua berkat permintaan dari Dewi. Aku sudah mencobanya, dan itu memang benar."ucapnya dalam benak.
"Bersiaplah!"ucap Gorgori sambil melempar batu ke udara."Saat batu menyentuh tanah, berarti pertarungan dimulai.
Bruuuk...Batu mendarat keras menghantam tanah. Anra dan Gorgori juga sudah menerjang ke depan. Braaak... Pedang mereka saling bertabrakan, kekuatan terjangan mereka sama kuatnya, berkat permintaan pada Dewi. Kekuatan Anra dapat setara, walau tubuhnya masih kecil, tidak masuk akal anak lima tahun dapat beradu kekuatan dengan Gorgori yang memiliki otot tegas, meski dia sudah tua sekalipun.
"Cucuku, kau bukan hanya berbakat. Tapi juga bisa menyamai kekuatan kakek. Apa kau manusia yang terlahir seribu tahun sekali?"ucap Gorgori menahan pedang Anra.
"Mungkin benar seperti itu."balas Anra mendorong pedangnya.
Kedua belah pihak melompat mundur, menjaga jarak. Lalu kembali menerjang sama seperti sebelumnya, namun kali ini Anra tidak menebas vertikal, dia menebas dengan arah horizontal, mengincar sisi perut Gorgori.
Gorgori bukan seseorang yang dapat dikecoh, dia dengan mudah menangkis menggunakan perisainya dan balik menyerang dengan pedangnya, menebas lurus menuju pundak Anra.
Selama dua tahun terakhir berlatih bersama Gorgori, membuat Anra dapat membaca tebasan pedang yang menuju pundaknya. Perisai ditangannya dia angkat, pedang ditangkis dengan mantap, lalu dia kembali mundur menjaga jarak.
"Apa gerakan kakek cuma segini saja, selama dua tahun ini kakek hanya mengulang gerakan yang sama saat kita berlatih."ucap Anra memasang kuda-kuda.
"Jangan remehkan kakek mu ini, kalau kamu yang meminta, aku akan menunjukan ilmu pedang yang belum pernah kamu lihat!"ucap Gorgori mengubah kuda-kuda.
Gorgori memegang erat gagang pedang dengan kedua tangannya, tubuhnya tegak dengan kedua tangan ke depan, kakinya hanya memiliki sedikit celah, kuda-kuda yang sempurna. Cahaya ungu muncul melapisi pedang kayu, cahayanya semakin besar dan tegas melapisi pedang, aura pedang bergelombang siap sepenuhnya.
"Ini adalah Ilmu Pedang Aura! Kakek tidak pernah lagi menggunakannya semenjak pensiun, apa kamu masih mau mencobanya."ucap Gorgori memastikan.
Alih-alih menjawab kakeknya, Anra malah mengikuti langkah-langkah yang dilakukan Gorgori. Mulai dari menegakkan badan, meluruskan tangan ke depan sambil memegang pedang, dan memasang kuda-kuda sama seperti Gorgori lakukan sebelumnya. Pikirannya fokus pada pedang yang dia pegang, tanpa disangka Aura pedang muncul menyelimuti pedangnya, sama persis dengan milik Gorgori, hanya saja berwarna biru.
Gorgori langsung berhenti memasang kuda-kuda, dia mendekati Anra.
"Anra, sejak kapan kamu mempelajari Sword Aura?"tanya Gorgori masih tidak percaya.
"Aku hanya meniru apa yang baru saja kakek lakukan. Ternyata itu tidak terlalu sulit!"jawabnya santai.
"Apa yang kau katakan? Sword Aura bukan ilmu pedang yang bisa dipelajari siapa saja, tapi kamu bisa menggunakannya hanya dengan meniru. Cucuku ternyata bukan manusia yang terlahir seribu tahun sekali, tapi sepuluh ribu tahun sekali!"ucap Gorgori gembira.
"Kita pulang sekarang! Kakek akan memberikan buku yang Kakek buat sendiri saat muda. Isinya tentang mempelajari Sword Aura."tambahnya menggendong Anra sambil memeluknya. Anra seperti biasa selalu ingin melepaskan diri.
Pertarungan mereka berhenti sampai situ, dengan kegembiraan Gorgori yang meluap-luap saat melihat Anra cucunya begitu berbakat, tidak bukan berbakat. Tapi seorang jenius!